Prestasi tim bulu tangkis putra Indonesia meraih Piala Thomas pada 17 Oktober 2021 melemparkan ingatan saya ke masa 19 tahun lalu. Saat itu, Indonesia juga baru saja membawa pulang piala bergengsi tersebut.
Oleh
Yuniadhi Agung
·4 menit baca
AFP/RITZAU SCANPIX/CLAUS FISKER
Para pemain dan pelatih tim Indonesia merayakan kemenangan Jonatan Christie atas pemain China Li Shi Feng, 21-14, 18-21, 21-14, pada partai ketiga babak final Piala Thomas di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Indonesia menjadi juara setelah menang dengan skor 3-0.
Prestasi tim bulu tangkis putra Indonesia meraih Piala Thomas pada 17 Oktober 2021 melemparkan ingatan saya ke masa 19 tahun lalu. Saat itu, tim bulu tangkis putra Indonesia juga baru saja membawa pulang piala bergengsi itu.
Saya ingat persis, hari Rabu, tanggal 22 Mei 2002, piala itu diarak keliling Jakarta. Kebetulan, saya salah satu fotografer di kantor yang ditugasi untuk meliput peristiwa itu.
Begitu pun perasaan bangsa Indonesia kala itu, bangga, gembira, dan terharu, menyaksikan tim bulu tangkis putra Indonesia yang berhasil menggondol Piala Thomas.
Sungguh, minggu itu adalah pekan bersejarah buat saya karena untuk pertama kalinya turun ke lapangan setelah selama empat bulan sebelumnya ”mendekam” di kelas mengikuti pendidikan calon wartawan Kompas.
Tentu saja saya gembira karena foto-foto yang akan saya ambil punya peluang besar untuk dimuat di koran Kompas. Foto pertama saya yang dimuat di koran adalah foto tentang peringatan Hari Asma. Rasanya tak tergambarkan ketika melihat foto itu terpampang di koran. Gembira, bangga, terharu, jadi satu.
Begitu pun perasaan bangsa Indonesia kala itu, bangga, gembira, dan terharu, menyaksikan tim bulu tangkis putra Indonesia yang berhasil menggondol Piala Thomas.
KOMPAS/YUNAS SANTHANI AZIS
Tim Indonesia dengan Piala Thomas yang dipertahankan lima kali berturut-turut setelah mengalahkan Malaysia di Guangzhou, China, tahun 2002.
Dua hari setelah kemenangan, piala itu pun sudah berada di Jakarta. Dan menurut rencana, pada hari Rabu, 22 Mei 2002, rombongan tim bulu tangkis putra akan diterima Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Merdeka. Piala Thomas pun akan dikirab melintasi jalan protokol Ibu Kota.
Redaktur foto Kartono Ryadi meminta saya untuk membantu memotret kirab. Saat itu, di kantor Kompas Jakarta baru ada beberapa fotografer, seperti Julian Sihombing, Eddy Hasby, Johnny TG, Alif Ichwan, Danu Kusworo, dan Agus Susanto.
Deretan ini ditambah saya yang baru ”keluar kandang” dan seorang rekan fotografer yang masih dalam masa pendidikan di kelas, yakni Lasti Kurnia. Sebenarnya ada seorang fotografer lain yang tidak jauh di atas angkatan saya, yakni Iwan Setiyawan. Namun, ia kemudian dikirim bertugas ke Biro Jawa Timur.
Oleh karena kirab baru akan dilaksanakan sore hari, pagi harinya saya pergi berkeliling Jakarta dulu untuk mencari foto metropolitan. Menjelang sore, barulah bersama bersama para fotografer lain, saya berjaga di jembatan penyeberangan orang di kawasan Sudirman, jalan protokol Ibu Kota.
Singkat cerita, iring-iringan kirab Piala Thomas kemudian melintasi tempat saya berada. Suasana tidak terlalu ramai saat itu karena kirab berlangsung pada jam kantor sehingga sebagian warga masih sibuk bekerja.
Pada masa itu, saya masih memakai kamera manual dan bukan digital, sehingga harus menggulung dulu film negatif Fuji Superia ASA 200 yang sudah berisi foto-foto metropolitan yang saya peroleh sepagian. Saya pasang rol film baru di kamera agar nantinya tidak perlu mengganti film saat memotret kirab Piala Thomas.
Arak-arakan tim Piala Thomas Indonesia mendapat sambutan meriah dari masyarakat Ibu Kota ketika melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (22/5/2002).
Segera saya abadikan melintasnya rombongan dengan kamera Nikon F90 dan lensa Nikkor 80-200 milik pribadi. Saya baru akan menerima alat tugas kamera dari kantor setelah menyelesaikan masa magang satu tahun dan diangkat menjadi karyawan tetap.
Seusai memotret, saya bergegas kembali ke kantor karena masih harus memproses film negatif di studio cetak foto yang terletak di pojok kanan lantai dasar gedung redaksi di Palmerah.
Setengah jam kemudian, saya membawa film negatif itu ke ruang redaksi di lantai 3, lalu melanjutkan pekerjaan memindai negatif foto. Beberapa foto dari kirab Piala Thomas saya pilih dan saya tambah dengan keterangan foto. Setelah itu, giliran saya memindai foto-foto metropolitan yang ada di rangkaian film negatif berbeda.
Selesai mengerjakan itu semua, saya segera meluncur ke kantin untuk makan malam. Di sana, saya bertemu dengan teman-teman pendidikan sesama calon wartawan Kompas. Seru sekali obrolan kami di sela-sela makan. Salah satunya, cerita pengalaman saya hari itu meliput kirab Piala Thomas. Maklum, kami sedang ”hangat-hangat”-nya liputan.
Kembali ke lantai 3 untuk menyelesaikan pekerjaan, saya bertemu Pak KR, sapaan akrab Kartono Ryadi, di pintu masuk ruang desk foto. Ia menyampaikan, foto kirab Piala Thomas jepretan saya akan dipasang sebagai foto headline (HL) di halaman muka koran Kompas.
Setengah melongo mendengarnya, segera saya ucapkan terima kasih kepada Pak KR. Saya pribadi sebenarnya merasa foto-foto itu tidak istimewa karena bukan foto dramatis, yang misalnya berhasil merekam histeria massa saat menyambut kirab Piala Thomas. Namun, tak urung saya tetap merasa gembira sekali. Itulah foto HL pertama yang berhasil saya buat.
Foto kirab Piala Thomas karya Yuniadhi Agung yang menjadi foto headline halaman muka koran Kompas edisi 23 Mei 2002.
Selang waktu 19 tahun kemudian, rasa gembira itu kembali muncul ketika menonton Jonatan Christie diserbu rekan-rekan setimnya seusai memastikan angka kemenangan tim Indonesia atas China di final Piala Thomas 2021.
Lalu, saya pun teringat kembali dengan kegembiraan saat melihat foto saya untuk pertama kalinya dipasang di halaman pertama harian Kompas, hanya lima hari setelah saya mulai terjun liputan di lapangan.