Merasakan Bali nan Sepi di Tengah Erupsi
Di tengah jalanan yang gelap gulita, hujan turun. Saya memutuskan berhenti di depan sebuah rumah yang tampak kosong. Tiba-tiba, terdengar ramai salakan anjing. Karena gelap, saya kesulitan mencari arah sumber suara....

Pohon meranggas di Pantai Kuta, Bali, Senin (11/10/2021). Pariwisata di Bali mulai bergeliat setelah sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Saat pandemi melanda, perekonomian Pulau Bali yang bertumpu pada pariwisata hancur. Sempat ditutupnya penerbangan, baik dalam maupun luar negeri, juga diberlakukannya pembatasan kegiatan sosial besar-besaran untuk menekan penyebaran Covid-19, membuat Bali yang ramai menjadi sunyi.
Sunyinya kegiatan pariwisata Bali sebenarnya pernah terjadi beberapa kali, antara lain setelah peristiwa bom Bali dan erupsi Gunung Agung.
Bali yang kehilangan hiruk pikuknya pernah saya rasakan tahun 2017, yakni saat erupsi Gunung Agung. Saat itu, saya sempat datang dua kali untuk meliput, pada Oktober dan November-Desember 2017.
Gunung Agung pernah erupsi pada 17 Maret 1963 yang menelan korban jiwa hingga 1.000 orang lebih.
Merespons meningkatnya aktivitas vulkanologi Gunung Agung yang saat itu masuk Siaga Level III, sejumlah media, termasuk harian Kompas, menyiagakan wartawannya untuk mengantisipasi kondisi terburuk. Gunung Agung pernah erupsi pada 17 Maret 1963 yang menelan korban jiwa hingga 1.000 orang lebih.
Foto-foto peristiwa tersebut sempat dipajang di depan pos pengamatan Gunung Agung di Rendang, Karangasem, sebagai pengingat akan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh erupsi Gunung Agung.
Berbeda dengan kedatangan pertama saya di Bali pada Oktober yang lancar-lancar saja karena naik pesawat, perjalanan kedua pada November membutuhkan waktu 13 jam perjalanan, dari seharusnya tidak sampai 10 jam.

Pengungsi membuat hunian sementara dari bambu saat abu vulkanik tebal kembali terlihat dari puncak Gunung Agung, dilihat dari Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, Kamis (7/12/2017).
Material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Agung ke udara menyebabkan penerbangan dalam dan luar negeri ke Denpasar atau sebaliknya ditutup.
Saya pun terpaksa melakukan perjalanan darat dari Surabaya karena tidak ada kepastian kapan penerbangan ke Bali akan kembali dibuka. Beruntung ada satu bus tujuan Bali yang siap berangkat saat saya tiba di Terminal Bungurasih, Surabaya.
Saat masuk melalui pintu belakang, hampir semua penumpang menengok seraya mengucapkan terima kasih. ”Wah, akhirnya berangkat,” ujar beberapa penumpang lega.
Kedatangan saya dan seorang rekan jurnalis dari kantor berita Perancis dianggap sebagai ”penyelamat” mereka karena bus menunggu jumlah penumpang tertentu baru berangkat. Maklum, ada penumpang yang mengaku telah menunggu sejak pukul 07.00 pagi. Bus akhirnya meninggalkan terminal pukul 11.00 WIB.
Namun, harapan untuk segera tiba di ”Pulau Dewata” rupanya masih jauh panggang dari api. Sang sopir kesulitan memacu bus dengan kecepatan maksimal. Faktor usia menyebabkan bus sulit melaju dengan cepat. Dalam keputusasaan menyadari betapa leletnya bus, lewat jendela terlihat bus-bus lain dengan gesit menyalip bus yang saya tumpangi. Seperti meledek saja.
”Payah nih, jam berapa nanti sampai di Bali,” gerutu saya. Teman perjalanan saya terlihat memejamkan mata walau saya yakin ia tidak tidur. Ia tampak mempunyai keresahan dan kekecewaan yang sama.
Baca juga: ”Abang Jago” Membuat Saya Mempertanyakan Pilihan Hidup

Pemandangan Gunung Agung dilihat dari Desa Amed, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali, Senin (9/10/2017). Gunung Agung saat itu berstatus Awas dan diberlakukan jarak aman radius 12 km dari puncak.
Sudah jalannya lambat, tambah molor lagi perjalanan karena bus harus berhenti untuk istirahat makan di Situbondo dan menyeberang Selat Bali.
Alhasil, setelah 13 jam kemudian baru tiba di Terminal Mengwi di Badung. Saya langsung menuju Kantor Kompas Biro Bali di Denpasar yang berjarak 1 jam perjalanan dengan mobil sewaan.
Di sana, saya hanya sempat beristirahat 10 menit sebelum kemudian memacu sepeda motor sewaan dengan kencang. Sayangnya, pengalaman 15 hari liputan pada bulan Oktober tidak membuat saya hafal jalan. Jadilah saya sempat berputar-putar dulu di Kota Denpasar sebelum akhirnya menemukan jalur lingkar untuk menuju Karangasem.
Jalanan saat itu begitu sepi dan gelap karena telah masuk dini hari. Hanya beberapa truk melintas, entah mengangkut apa. Suasana seperti ini mungkin terasa menakutkan bagi sebagian orang, termasuk saya. Namun, dorongan ingin mengabadikan momen Gunung Agung melontarkan lava pijar berhasil mengalahkan ketakutan.
Perjalanan paling sulit menuju daerah Kubu yang saya tuju adalah selepas Kecamatan Amlapura, ibu kota Kabupaten Karangasem. Jalanannya berkelok-kelok dan berbukit-bukit nan sempit, menyulitkan saya yang terbiasa bersepeda motor di jalanan kota yang lurus dan lebar.
Kubu yang berada di kaki Gunung Agung adalah daerah paling rawan terdampak erupsi karena aliran lahar mengarah ke wilayah tersebut. Namun, dari Kubu yang berbatasan langsung dengan laut inilah, Gunung Agung terlihat paling dekat dan jelas.
Baca juga: Menemukan ”Rumus Ajaib” Kemampuan Milenial Beli Rumah

Pemandangan Gunung Agung saat erupsi dilihat dari Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, Kamis (30/11/2017) dini hari.
Retsleting jaket pun saya tarik tinggi-tinggi untuk menghalau dinginnya udara yang merasuk masuk melalui leher, lalu terasa seakan menusuk-nusuk tulang.
Untunglah, perjalanan penuh tantangan selama tiga jam itu tidak sia-sia. Gunung Agung dengan puncaknya yang mengeluarkan material vulkanik kemerahan, kini di depan mata. Namun, apakah kerja selanjutnya mudah?
Dalam kondisi gelap, saya mulai memasang tripod, pinjaman dari seorang rekan wartawan di Bali. Namun, ternyata ada satu bagian sangat penting yang tidak terbawa, yaitu bagian ballhead yang mengunci kamera ke tubuh tripod agar tidak goyang.
Saya langsung teringat, ballhead ini masih terpasang di bawah kamera teman tersebut. Akibatnya, bisa dibilang tripod yang saya bawa menjadi tidak berguna karena tidak ada ballhead-nya. Mau marah, tapi sama siapa? Di lokasi hanya ada saya dan Gunung Agung jauh di hadapan.
Demi mengejar waktu karena pagi mulai menjelang, akhirnya benda apa pun yang ada, saya coba sebagai ganjalan. Mulai dari bagian jembatan, tas, hingga batu. Namun, hasilnya masih kurang maksimal.
Kondisi ini diperparah dengan rasa lapar yang menyerang akibat belum makan sejak semalam. Tangan pun terasa gemetaran. Alhasil, banyak foto yang saya ambil hasilnya goyang. Tak terasa, matahari pun muncul.
Baca juga: Kisah Atlet PON I Solo, Tidur Beralas Kasur Jerami

Umat Hindu saat melaksanakan Upacara Penyeeb Brahma di Pura Kiduling Kreteg yang berada di Kawasan Rawan Bencana III Erupsi Gunung Agung, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, Minggu (3/12/2017).
Kejadian semalam merupakan keberhasilan sekaligus kegagalan. Berhasil tiba di lokasi tujuan, tetapi gagal dalam tugas karena tidak maksimal akibat alat yang dibawa tidak lengkap.
Untungnya, liputan ke Bali saat itu tidak hanya bertemu kegagalan. Ada banyak hal lain yang bagi saya cukup menyenangkan.
Saat tengah makan di Pantai Amed yang tidak jauh dari Kubu, sepinya wisatawan membuat seorang warga yang saya temui ”memaksa” saya untuk menginap di homestay-nya.
”Mas bayarnya bebas, yang penting ada uang buat anak-anak yang jaga penginapan,” ujarnya ramah.
Kami pun mengobrol tentang sepinya pariwisata. Banyak hotel telah merumahkan karyawan karena sedikitnya wisatawan yang datang.
Saat itu, di Pantai Amed, hanya terlihat beberapa wisatawan asing. Pantai-pantainya yang menawarkan sejumlah titik penyelaman juga sangat sepi. Saya sampai merasa bak pemilik pantai saking sepinya.
Baca juga: Jumat Keramat yang Berujung Sabtu Kelabu di KPK

Penginapan di Pantai Desa Amed, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali, Senin (2/10/2017). Turunnya jumlah wisatawan sejak Gunung Agung berstatus Awas membuat banyak penginapan di kawasan tersebut tutup.
Malam harinya, berbekal petunjuk jalan dari orang yang saya temui di Pantai Amed, saya menuju homestay miliknya dan menginap di sana. Saya hanya perlu membayar Rp 200.000 untuk penginapan yang biasanya dibanderol Rp 600.000 per malam.
Kelelahan akibat perjalanan panjang membuat saya langsung terlelap diiringi suara katak yang bernyanyi di sawah, tidak jauh dari kamar yang saya inapi.
Pada kesempatan lain, saya menyusuri jalur alternatif dari Kecamatan Rendang di Karangasem menuju Kintamani di Kabupaten Bangli.
Saya mendapati jalan-jalan yang sepi. Hanya terlihat beberapa penduduk yang melintas. Tiba di Gunung Batur juga hanya terlihat beberapa wisatawan asing. Foto suasana sepi obyek wisata itu saya abadikan dan kirim ke kantor.
Baca juga: ”Nonton” The Police di Paris Bareng Nidji

Wisatawan menikmati keindahan kawasan wisata Geopark Gunung Batur di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, Rabu (4/10/2017). Banyak wisatawan berkunjung ke kawasan tersebut setelah beralih dari tujuan semula Gunung Agung yang tengah erupsi.
Saat hendak kembali, saya mengambil rute yang berbeda. Saya ingin singgah di Ubud. Salah satu tujuan utama wisata di Bali itu ternyata juga sangat sepi. Dengan leluasa, saya susuri jalan-jalannya yang dalam kondisi normal sesak oleh turis.
Satu kali saya kembali ke kawasan Pantai Amed untuk suatu liputan. Setelah dirasa cukup, saya bergegas ke Klungkung untuk bergabung dengan beberapa wartawan Kompas yang tengah sama-sama bertugas meliput erupsi Gunung Agung.
Saat itu sore telah menjelang. Untuk menghemat waktu, perjalanan yang seharusnya melewati Kubu saya putuskan melalui jalur alternatif, yaitu melewati Sidemen. Beberapa teman wartawan Bali sempat menyarankan untuk menghindari rute tersebut karena jalanannya yang berkelok-kelok.
Di tengah perjalanan, saya dapati banyak kampung sepi karena ditinggalkan penduduknya mengungsi. Di tengah jalanan yang gelap gulita, tiba-tiba hujan turun. Saya memutuskan berhenti di depan sebuah rumah yang tampak kosong.
Tiba-tiba, terdengar ramai anjing-anjing menyalak. Karena gelap, saya kesulitan mencari arah sumber suara gonggongan tersebut. Untung saja anjing-anjing itu tak menancapkan taringnya di kaki. Setelah selesai menggunakan jas hujan, saya pun kembali memacu sepeda motor.
Perjalanan saya rasakan begitu panjang karena tak juga segera tiba di Klungkung. Seperti hanya berputar-putar di daerah yang sama. Rasanya saya hanya melintasi kampung-kampung yang gelap, areal persawahan, dan perkebunan salak. Begitu terus seakan tiada habisnya. Hingga akhirnya kesabaran menipis dan berganti kekhawatiran.
Baca juga: Menunggu daripada Soeharto di Rumah Sakit

Petani salak Ketut Nana memperlihatkan salak hasil panen di Desa Sibentan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali, Jumat (8/12/2017). Hujan abu vulkanik Gunung Agung yang melanda kawasan tersebut membuat petani salak mempercepat panen yang seharusnya dilakukan pada Januari.
”Apa saya tersesat?” pikir saya.
Dua jam lebih tidak juga bertemu dengan ”peradaban” hingga terpikir untuk menyudahi itu semua.
”Pokoknya kalau ada satu saja rumah yang menyala, saya akan izin bermalam di sana,” ujar saya dalam hati, tercekam oleh rasa takut dan dingin akibat hujan.
Beruntung, sebelum itu terjadi, tiba-tiba saya bertemu beberapa pengendara sepeda motor lain yang bisa dijadikan teman perjalanan walau awalnya mereka sempat takut karena khawatir saya pembegal.
Dari kejauhan perlahan mulai terlihat pendar lampu dari permukiman. Pengalaman yang baru saya lewati itu mendapat acungan jempol dari teman-teman wartawan Bali. Entah karena dianggap berani atau sindiran atas kekonyolan pilihan saya.
Total 12 hari saya berada di Bali dari 15 hari yang direncanakan. Saya memutuskan pulang lebih awal karena anak saya demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit. Pengalaman penuh suka duka itu begitu membekas.
Kelak, jika ada kesempatan, saya akan kembali menyusuri jalan-jalan yang pernah saya lewati. Bukan untuk bekerja, melainkan liburan bersama keluarga, membayar waktu selama ini yang banyak tersita karena sibuk bekerja.