Menemukan ”Rumus Ajaib” Kemampuan Milenial Beli Rumah
Hampir saja kami harus melakukan penjiplakan manual terhadap puluhan ribu potongan gambar peta. Sampai akhirnya kami mencoba fungsi ”multispectral analysis” di perangkat lunak pemetaan ArcGis.
Harian Kompas menurunkan rangkaian tulisan tentang keterjangkauan harga properti bagi milenial dan masyarakat berpenghasilan rendah pada hari Jumat (1/10/2021). Salah satunya yang menghias halaman muka dengan judul ”Milenial Kian Sulit Gapai Rumah Impian”.
Tulisan-tulisan tersebut diawali dari liputan dan pengolahan data yang berlangsung sebulan sebelumnya. Penuh dengan olah data dan angka, selain terjun ke lapangan. Proyek ini dikerjakan oleh tim Jurnalisme Data Kompas yang beranggotakan Puteri Rosalina, Albertus Krisna, dan Satrio Wisanggeni.
Idealnya, proses kerja satu ”proyek” jurnalisme data membutuhkan waktu setidaknya satu bulan. Proses akan diawali dengan rembuk internal tim Jurnalisme Data, guna menyaring ide dan menyusun tiga proposal liputan. Untuk diskusi liputan ini kami lakukan pada awal September 2021.
Saat itu, hasil liputan kami tentang ancaman terendamnya kota-kota besar di Indonesia akibat penurunan muka tanah dan kenaikan air laut global, baru saja terbit. Dengan demkian, kami harus segera ”move on” untuk terbitan berikutnya.
Baca Juga: Dicari, Rumah Harga Terjangkau Bagi Milenial
Di antara tiga ide tema yang kami hasilkan, salah satunya tentang melihat kemampuan pekerja Jakarta untuk membeli rumah (di Jabodetabek).
Untuk itu, kami berpikir perlunya melihat laju kenaikan harga tanah atau properti dan membandingkannya dengan kenaikan penghasilan warga di Jabodetabek. Sekaligus kami perlu mencari di wilayah mana yang masih terdapat tanah dengan harga terjangkau.
Kami sepakat untuk mengajukan tema tersebut. Namun, sebelum mengusulkan suatu tema, kami sudah harus memiliki gambaran tentang data apa saja yang harus kami peroleh dan bagaimana mengolahnya.
Kami juga harus bisa memvisualisasikan liputannya nanti akan seperti apa. Yang paling penting, apakah liputan itu mungkin untuk dilakukan. Berangkat dari kebutuhan tersebut, kami kemudian membedah data apa saja yang kami butuhkan.
Data pertama yang kami butuhkan, tentu soal penghasilan warga di Jabodetabek. Data ini relatif sederhana, berupa time-series penghasilan dari tahun ke tahun. Kami memilih memakai data UMP karena cenderung lengkap dari tahun ke tahun. Kelompok pekerja dengan penghasilan ini tergolong rentan ekonominya.
Data kedua adalah harga tanah atau properti yang berdimensi keruangan dan waktu. Harapan kami, data tersebut dapat menggambarkan perkembangan harga suatu petak tanah di suatu titik di wilayah Jabodetabek. Data Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah yang terpikir pertama kali.
Baca Juga: Milenial Kian Sulit Gapai Rumah Impian
Karena data NJOP memperlihatkan harga suatu petak tanah di suatu tempat. Dengan kata lain, data ini mengandung unsur keruangan atau spasial. Apalagi jika kami bisa memperoleh data NJOP tahun-tahun sebelumnya. Ini berarti akan terlihat perkembangan nilainya dari tahun ke tahun. Dengan begitu, data ini mengandung unsur waktu atau temporal.
Data ketiga yang bisa menjadi pilihan berikutnya adalah data zona nilai tanah (ZNT) yang ditetapkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Data ini dapat diakses oleh publik di laman Bhumi.atrbpn.go.id.
Informasi yang tersedia di laman ini berupa petak zona nilai tanah di seluruh Indonesia, atau setidaknya di kota-kota besar. Di sini, nilai tanah dibagi menjadi sembilan kategori, mulai dari di bawah Rp 100.000 hingga lebih dari Rp 50 juta per meter.
Baca Juga: Kisah Atlet PON I Solo, Tidur Beralas Kasur Jerami
Data ini sangat detail. Sayangnya, tidak historis karena tidak ada rekaman zona nilai tanah di masa lalu. Untuk itu, kami berusaha mengajukan permintaan data ke Kementerian ATR/BPN.
Karena harus segera presentasi dalam rapat penentuan tema dengan para pengambil kebijakan di Redaksi, akhirnya kami menggunakan data Indeks Harga Properti Residensial dari Bank Indonesia untuk melengkapi peta ZNT. Data ini mengandung faktor historis harga.
Rapat penentuan tema
Tema yang kami ajukan akhirnya disetujui dalam rapat penentuan tema yang berlangsung pada akhir pekan pertama bulan September. Sekaligus, kami diberi jadwal terbit 1 Oktober.
Praktis kami hanya punya tiga pekan untuk liputan dan olah data. Termasuk untuk menulis beberapa laporan dan memfinalisasi infografik yang akan dilakukan pada pekan keempat.
Keputusan ini sebenarnya di luar harapan kami. Dengan berbagai variabel yang kompleks di dalamnya, kami merasa tidak yakin bisa memperoleh data lengkap yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Sebagai contoh, peta ZNT dari Kementerian ATR/BPN yang kemungkinan baru akan kami terima pada 29 September 2021. Itu pun jika disetujui.
Lain harapan, lain kenyataan. Para atasan kami menilai liputan harga rumah ini harus segera dikerjakan. Akhirnya kami memulai mission impossible ini dengan mencari data NJOP.
Ternyata, tidak mudah mencari data NJOP untuk sembilan wilayah administrasi di kawasan Jabodetabek. Dari mesin pencari, kami hanya menemukan dua data NJOP, yakni DKI Jakarta dan Kota Bogor, yang termuat dalam peraturan daerah kedua wilayah.
Baca Juga: Berdamai dengan Jarak dan Fasilitas Minim
Namun, setelah kami akses, data NJOP Jakarta yang tercantum adalah harga tanah per ruas jalan di Jakarta. Jika digunakan, data per ruas jalan harus dimasukkan satu per satu ke dalam sistem pemetaan.
Akhirnya, kami putuskan tidak jadi menggunakan data NJOP tersebut. Selain karena hanya ada dua data wilayah administrasi, data dalam bentuk PDF tersebut akan merepotkan jika dimasukkan ke dalam sistem pemetaan.
Gagal menggunakan data NJOP, kami dibuat bingung karena data dari Kementerian ATR/BPN juga tak kunjung kami peroleh. Muncul ide untuk mendigitasi/menjiplak/merekonstruksi peta yang ditampilkan di laman Bhumi ATR/BPN.
Menjiplak secara manual memang akan memakan waktu lama karena tak terhitung banyaknya petak harga yang ada di peta tersebut. Namun, saat itu kami tak punya pilihan.
Baca Juga: Jumat Keramat yang Berujung Sabtu Kelabu di KPK
Sebagian tangkapan layar untuk merekonstruksi ulang peta Zona Nilai Tanah Kementerian ATR/BPN. Akan tetapi, sebelum memulai proses jiplak manual, kami ingin mencoba dahulu fungsi multispectral analysis di ArcGis. Apakah fungsi ini bisa otomatis ’membaca’ peta dan mengklasifikasi petak sesuai zona warna di laman Bhumi. Untuk itu, kami harus mengambil gambar-gambar lewat tangkapan layar laman secara detail sebagai bahan analisis.
Kami menangkap 120 gambar yang kemudian digabungkan menjadi satu peta Jabodetabek utuh dengan resolusi sekitar 30.660 x 20.330 piksel, atau sekitar 623 megapiksel.
Mengolah data GIS
Tugas mengambil gambar ZNT secara detail dikerjakan oleh Satrio. Krisna melanjutkannya dengan mengklasifikasi dan mengonversi gambar menjadi peta berformat vektor agar nantinya dapat dilakukan analisis tumpang susun peta.
Lantunan doa deras mengalir seiring langkah kami mulai menjalankan fungsi klasifikasi multispektral pada perangkat lunak pemetaan ArcGIS. Belajar dari liputan sebelumnya, proses ini harus dilakukan secara detail dan ekstra hati-hati agar terhindar dari mengulang berkali-kali.
Dari sembilan kelas harga ZNT, diambil sampel 25 hingga 35 poligon untuk setiap zona. Langkah ini dilakukan untuk mengidentifikasi setiap zona melalui warnanya yang relatif sama melalui pengambilan puluhan sampel.
Setelah pengambilan sampel, dilakukan proses klasifikasi menggunakan metode ”Maximum Likelihood”, mengikuti opsi yang disediakan di ArcGIS. Inilah langkah yang paling mendebarkan.
Baca Juga: Saatnya Beli Rumah, Jangka Waktu Cicilan KPR Panjang Bukan Masalah
Tombol diklik dan proses pun dimulai. Deg-deg-deg serrr rasanya karena khawatir proses gagal di tengah jalan. Syukurlah setelah sekian waktu, fungsi klasifikasi multispektral ini berhasil dan hasilnya bagus.
Kabar super baik ini segera disampaikan Krisna kepada tim. Dengan keberhasilan proses ini, kami pun terhindar dari melakukan digitasi, menjiplak atau menggambar ulang setiap petak yang ada di peta ZNT milik ATR/BPN, secara manual.
Jika kami harus mendigitasi, tentunya akan memakan waktu yang sangat panjang, mengingat ada lebih dari 34.000 petak yang harus digambar dan direkonstruksi ulang datanya.
Baca Juga: ”Nonton” The Police di Paris Bareng Nidji
Lalu bagaimana cara kami menemukan harga rumah di setiap zona ZNT? Semula, kami terpikir untuk survei ke banyak lokasi proyek perumahan di Jabodetabek dan menanyakan kisaran harga setiap tipe/ukuran rumah yang ada di perumahan-perumahan tersebut.
Namun, di tengah jalan, kami teringat dengan platform berbagi data spasial opensource di internet. Di sana kami menemukan data adanya 15.000 titik iklan rumah di Jabodetabek pada tahun 2020 beserta koordinat rumahnya. Data itu kami bersihkan hingga menjadi 2000-an data saja yang siap untuk diolah.
Sebelum mulai mengolah, kami mengonfirmasikan ribuan data harga iklan rumah tersebut dengan harga di berbagai platform jual beli properti. Selain itu, kami juga tetap melakukan survei di sejumlah proyek perumahan di Jabodetabek dan mendapati bahwa kisaran harga yang ditawarkan kurang lebih sama.
”Rumus ajaib”
Setelah itu, kami mengolahnya dengan cara menumpangsusunkan ribuan titik iklan rumah dengan peta vektor ZNT yang diperoleh sebelumnya. Dihasilkan, rentang harga rumah di sembilan kelas harga ZNT.
Dari situ, kami bisa menemukan sebuah ’rumus ajaib’ untuk memperkirakan harga setiap ukuran rumah di seluruh wilayah Jabodetabek. Tinggal masukkan luas rumah dan keluar harga rumahnya. Dari situ, kami bisa menemukan harga rumah di Jakarta hingga radius beberapa puluh kilometer di sekelilingnya di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.
Untuk mengecek hasil olahan ’rumus ajaib’ tersebut, kami melakukan wawancara dengan Bapak Nurul Yaqin, pemilik agen properti Benhokk di Tangerang Selatan yang sekaligus Wakil Ketua AREBI. Ia menyatakan, data hasil olahan kami sudah sesuai kondisi lapangan.
Baca Juga: Generasi Milenial Susah Punya Rumah Sendiri
Informasi ini cukup berguna bagi kami untuk pengolahan data selanjutnya. Untuk memperkuat hasil analisis dan peliputan, kami juga melakukan wawancara dengan sejumlah pihak.
Di antaranya, Eko Endarto dan Mohammad Andoko, selaku penasihat keuangan. Dari mereka, diperoleh tips agar milenial bisa membeli rumah. Selanjutnya Ibu Herlily, akademisi dari Kajian Perkotaan Universitas Indonesia yang membantu menerangkan fenomena urban sprawl dan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat.
Dari asosiasi pengembang, kami mewawancarai Ibu Theresia Rustandi Wakil Ketua Umum REI. Kemudian dari pihak perbankan, kami mewawancarai Bapak Nofry Rony Poetra, Direktur Finance, Planning and Treasury BTN. Selain mewawancarai beliau, kami juga memperoleh data indeks harga perumahan yang diolah khusus oleh BTN.
Data tersebut berbeda dengan data House Price Index (HPI) atau Indeks Harga Properti Residensial Bank Indonesia karena merupakan harga riil dari rumah nonsubsidi di 284 kota di Indonesia.
Data HPI BTN ini memberikan informasi lain, yakni kecenderungan harga rumah di kota-kota penyangga, seperti Bodetabek yang lebih tinggi dibandingkan kota intinya (Jakarta).
Tak lupa kami juga mewawancarai 10 milenial yang bekerja di Jakarta untuk mengetahui pendapat mereka mengenai kepemilikan rumah. Sepuluh milenial tersebut mewakili 4 kategori, yakni single, berkeluarga, bergaji setara UMP jakarta, dan berpenghasilan lebih tinggi dari UMP.
Langkah selanjutnya, kami melakukan survei di sisi barat daya Jakarta, tepatnya di kawasan Serpong, Parung Panjang, dan Legok. Survei ini untuk mencocokkan hasil olahan data dengan harga riil di lapangan.
Lokasi proyek perumahan pertama yang kami kunjungi adalah kawasan Cisauk. Harga rumah tipe kecil di perumahan pinggir sungai Cisadane ini sudah sekitar Rp 500 juta.
Baca Juga: Kota Meluas, Akses Terbatas
Survei selanjutnya berlanjut ke perumahan di kawasan Rumpin, Kabupaten Bogor. Jalan ke arah perumahan tersebut berpapasan dengan truk-truk pengangkut pasir yang sering disebut masyarakat setempat ”truk transformer”.
Sebelum menuju Parung Panjang, kami mampir ke perumahan Serpong Garden. Perumahan yang sudah berdiri sekitar 10 tahun ini, membuka unit-unit baru di bagian depan dan belakang kompleks.
Perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Parung Panjang, melewati ruas jalan yang juga dilewati truk-truk ”transformer”. Bermobil dari Cisauk menuju Parung Panjang, butuh waktu 30 menit.
Tiba di sekitar Stasiun Parung Panjang, terlihat kompleks-kompleks perumahan yang dibangun oleh pengembang kecil dan menengah bermunculan. Beberapa kompleks sudah mulai dihuni. Namun, ada juga yang masih dalam proses pembangunan.
Tampaknya, Parung Panjang bakal menjadi pusat pertumbuhan baru yang ramai. Sayangnya, belum tersedia fasilitas yang memadai, seperti fasilitas kesehatan.
Baca Juga: Menunggu daripada Soeharto di Rumah Sakit
Upah vs harga rumah
Di tengah proses mengerjakan analisis data, kami baru teringat untuk mencermati data Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. Kami tidak langsung mengeceknya karena berasumsi kenaikan gaji pasti 10 kali lebih lambat dari laju kenaikan harga rumah yang bisa mencapai 20 kali lipat.
Berbagai pemberitaan dan penelitian tentang hal ini, membuat kami percaya diri berasumsi bahwa kenaikan gaji lebih lambat dibandingkan kenaikan harga rumah.
Namun, ternyata asumsi kami terpatahkan setelah kami menghitung kenaikan UMP dan harga rumah selama 2010-2020. Kenaikan UMP Jakarta selama periode 10 tahun tersebut sebesar 13,3 persen per tahun. Adapun kenaikan harga rumah 6,02 persen per tahun.
Baca Juga: Beli Rumah Itu Harus Nekat
Data yang tidak sesuai dengan hipotesis awal, membuat kami tertegun. Bingung bagaimana harus menjelaskan data yang telah diperoleh. Karena pada kenyataannya, para milenial bergaji UMP ataupun Masyarakat Berpenghasilan Rendah, tetap tidak mampu memiliki hunian di Jakarta.
Kebingungan tersebut membuat rapat daring melalui aplikasi ”Teams” molor hingga 3 jam. Rapat pun berakhir tanpa solusi. Menyisakan kami yang kebingungan.
Keterjangkauan harga rumah
Namun, pantang bagi kami untuk menyerah begitu saja. Kami yakin, masih ada angle lain yang bisa diangkat untuk menjelaskan kondisi milenial yang secara ekonomi tidak mampu memiliki rumah di Jabodetabek.
Esok paginya, saya berkonsultasi dengan wartawan Desk Ekonomi Kompas yang menguasai pemberitaan properti, yakni mbak Lukita. Kami menjabarkan data temuan kami tentang kenaikan harga rumah yang lebih rendah dibandingkan kenaikan UMP per tahun.
Lukita mengatakan, untuk saat ini kondisi memang sedang tidak ideal. Harga rumah cenderung stagnan yang dimulai tahun 2019 karena terjadinya bubble property (gelembung properti). Kondisi berlanjut dengan terjadinya pandemi. Di sisi lain, UMP terus naik karena mengikuti inflasi.
Baca Juga: Suatu Hari Bersama Yayuk Basuki...
Karena belum puas dengan penjelasan tersebut, kami memilih membaca beberapa penelitian soal perumahan yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Dari penelitian tersebut, ada beberapa hal menarik. Affordability atau keterjangkauan harga rumah merupakan salah satu masalah perumahan di Indonesia, selain regulasi dan pertanahan.
Dalam sebuah penelitian tentang Affordability Housing, disebutkan ada tiga cara penghitungan keterjangkauan. Pertama dari sisi penghasilan, yakni rasio harga median (harga tengah) rumah dengan median (nilai tengah) penghasilan rumah tangga. Hitungan ini disebut price income ratio (PIR).
Kedua, penghitungan melalui cicilan rumah. Ketiga, penghitungan lewat sisa penghasilan. Akhirnya kami memilih penghitungan keterjangkauan lewat cicilan rumah karena lebih mudah mendeskripsikannya. Dari besar cicilan rumah per bulan, diperoleh hasil, milenial bergaji UMP tidak akan mampu memiliki rumah di Jakarta.
Affordability atau keterjangkauan harga rumah merupakan salah satu masalah perumahan di Indonesia, selain regulasi dan pertanahan.
Setidaknya, temuan ini sedikit melegakan karena bisa untuk menerangkan soal tidak terjangkaunya harga rumah di Jakarta. Hitungan tersebut dideskripsikan menggunakan simulasi KPR dari sebuah laman daring perumahan.
Dari sini, akhirnya kami juga harus menganalisis keterjangkauan penduduk dengan akses transportasi. Kami menggunakan data penduduk andalan, yaitu Global Human Settelement Layer (GHSL).
Data ini pernah kami gunakan di liputan sebelumnya soal ”Tenggelamnya Kota-Kota di Masa Depan”. Kami juga memanfaatkan data titik-titik stasiun KRL dari Open Street Map (OSM) dan pintu tol di Jabodetabek dari laman Lapakgis.com. Tentu kedua data itu kami muktahirkan dengan kondisi terbaru.
Data GHSL berbentuk peta raster. Artinya, setiap piksel menginformasikan jumlah penduduk. Setiap raster memiliki luas sekitar 0,07 kilometer persegi.
Dari data itu kami olah menjadi dua peta. Pertama, peta jumlah penduduk Jabodetabek yang diperoleh dari data GHSL tahun 2015. Kedua, peta pertambahan penduduk di Jabodetabek selama 15 tahun terakhir yang diperoleh dari data GHSL tahun 2015 dan 2000. Informasi yang ditampilkan kedua peta ini adalah jumlah atau pertambahan penduduk per piksel atau setiap 0,07 kilometer persegi.
Dari dua data penduduk tadi diperoleh informasi, kantong penduduk terbanyak ternyata di pinggiran Jakarta. Tidak hanya itu, pertambahan penduduk dalam jumlah yang banyak, yaitu lebih dari 308 jiwa dalam 0,07 kilometer persegi atau lebih dari 4.000 jiwa dalam satu kilometer persegi, juga ditemukan di wilayah yang sama. Di antaranya Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Bekasi, serta sejumlah kabupaten yang berbatasan dengan kota-kota tersebut.
Fenomena ini sebenarnya sudah banyak dibahas media lain. Namun, agar lebih mendalam, kami mencoba mengecek keterjangkauannya dengan akses transportasi. Langkah awal yang kami lakukan, membuat radius 5 kilometer untuk setiap stasiun KRL dan pintu tol di Jabodetabek.
Dua data itu kemudian digabungkan menjadi tiga tipe poligon, yaitu poligon yang hanya terakses stasiun KRL, hanya terakses pintu tol, dan dapat diakses keduanya. Tiga poligon ini selanjutnya kami tumpangsusunkan dengan peta penduduk, baik jumlah penduduk maupun peta pertambahan penduduk tinggi.
Hingga akhirnya kami peroleh jumlah penduduk yang sudah terakses transportasi. Juga daerah mana saja yang memiliki pertambahan penduduk tinggi, baik yang sudah maupun yang belum terakses oleh moda transportasi tersebut.
Setelah semua data sekunder dan primer selesai diolah, kami bertiga mulai menulis laporan dibantu satu teman dari desk Regional yang sedang magang di desk Jurnalisme Data, Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany.
Kami hanya punya waktu lima hari mulai Rabu untuk menyelesaikan enam tulisan yang sudah direncanakan. Selain itu, kami juga harus menyelesaikan bahan infografik berupa dua peta, dan tiga grafik data.
Namun, setelah tulisan selesai pada Senin pagi, kami belum boleh berlega diri. Pasalnya, kami masih harus mempresentasikan hasil kerja kami tersebut kepada ”meja tengah”, jajaran pimpinan Redaksi di Kompas.
Presentasi tersebut menjadi penentu apakah artikel kami bisa tayang atau harus ditunda dulu. Tentu saja ini membuat kami berempat deg-degan sepanjang hari. Singkat cerita, kami mempresentasikan hasil temuan kajian, lengkap dengan bahan peta, data angka, dan tulisan. Untunglah, kajian kami selama empat minggu, dinyatakan layak untuk tampil di hari Jumat. Lega rasanya...
Bahkan, kami mendapat masukan berharga dari Mas Sutta, Pemimpin Redaksi Kompas, mengenai hitungan keterjangkauan rumah. Hasilnya bisa dilihat pada infografik halaman satu. Masukan tersebut semakin menguatkan temuan kami bahwa harga rumah di Jakarta memang belum terjangkau bagi milenial bergaji UMP.
Kamis malam, kami bak keluarga yang menunggui salah satu anggota keluarga yang hendak melahirkan. Tegang. Hingga menjelang tengah malam kami berusaha tetap sabar mengawal proses hingga koran siap cetak dan terbit esok hari.
Sedikit mengantuk memang, tetapi sambutan yang ramai dan positif dari pembaca Kompas esok paginya, menghapus rasa lelah dan sekaligus menyematkan rasa bangga karena bisa menuntaskan liputan ini.