Kisah Atlet PON I Solo, Tidur Beralas Kasur Jerami
Diselenggarakan tiga tahun seusai perang kemerdekaan, PON I Solo tahun 1948 berlangsung penuh kesederhanaan. Atlet tidur di atas kasur jerami. "Hall" bulu tangkis adalah gedung bioskop yang disingkirkan kursi-kursinya.
Pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 yang bermandikan cahaya warna-warni mengingatkan akan kisah PON pertama, Solo 1948. Tentu saja, PON Papua 2021 yang pembukaannya digelar di Stadion Lukas Enembe senilai Rp 1,3 triliun ini, bak bumi dan langit dengan PON Solo 1948.
Jika PON 2021 dibuka dengan pentas tari dan musik nan megah, PON 1948 diawali dengan pawai bendera dari Gedung Agung Kepresidenan Yogyakarta menuju Solo yang berjarak 60 kilometer pada 8 September 1948.
PON I digelar tiga tahun setelah perang kemerdekaan usai. Sudah barang tentu suasana perang masih membayangi penyelenggara dan para peserta.
Prosesinya hanya bermandikan sorak sorai dan sambutan hangat rakyat di sepanjang jalan. Bendera PON I mulai dikibarkan di Stadion Sriwedari Solo sehari berikutnya. PON I digelar 9-12 September 1948.
Semangat itu cerminan zaman. PON Solo 1948 digelar tiga tahun setelah perang kemerdekaan usai. Sudah barang tentu suasana perang masih membayangi penyelenggara dan para peserta. Apalagi beberapa kota di Jawa masih diduduki Belanda.
Daerah yang dikuasai Republik Indonesia tinggal Madiun, Bojonegoro, Pati, Kedu, Solo, dan Yogyakarta, sebagai ibu kota negara yang baru merdeka. Sementara Semarang sudah diduduki kembali oleh kolonial Belanda. Demikian pula Malang di Jawa Timur.
Cukup mengherankan jika kemudian ada peserta PON I dari kota-kota yang jauh, seperti Bandung dan Surabaya. Peserta dari Bandung rupanya berasal dari siswa-siswa kedokteran asal wilayah Parahiyangan di Jawa Barat, yang tengah menuntut ilmu di Klaten, Jawa Tengah.
Baca Juga: PON Pertama, Bertanding di Bawah Ancaman Bedil
Sementara peserta dari Surabaya, diperkuat arek-arek Suroboyo yang tinggal di Kediri, Jawa Timur, Jarak Kediri-Solo 180 km. Mereka disatukan oleh semangat kemerdekaan dalam olahraga.
Saat itu, kontingen berasal dari kota-kota dan bukan provinsi seperti saat ini. Jangan bayangkan fasilitas mewah dan megah bagi 13 kontingen yang berpartisipasi.
Para atlet yang masih diliputi semangat perjuangan ini ditampung di gedung-gedung sekolah atau barak-barak berdinding bambu yang didirikan khusus di lapangan Mangkubumen di Solo. Kasurnya berisi jerami dengan alas dari tikar bambu.
Demikian pula dengan tempat bertanding yang masih seadanya. Kolam renang untuk tempat lomba cabang renang, misalnya, yang sama sekali bukan kolam berstandar Olimpiade seperti keharusan sekarang.
Kolam renang Tirtomoyo yang digunakan sebagai tempat lomba, sebenarnya merupakan tempat penampungan air minum yang berasal dari berbagai waduk air tawar di Solo dan sekitarnya.
Ukuran panjangnya hanya 50 yard atau sekitar 45 meter (1 yard sama dengan 0,9144 meter). Itu pun masih dikurangi untuk kolam anak kecil yang membuat panitia memutuskan cabang olahraga renang tidak memakai nomor 100 meter dan 200 meter seperti standar internasional. Akan tetapi, nomor 110 meter dan 220 meter untuk gaya bebas, gaya punggung, dan gaya dada. Peserta harus renang bolak-balik beberapa kali untuk memenuhinya.
Baca Juga: PON Papua 2021 Dibuka dengan Semarak
”Daripada finisnya di tengah kolam, kan tidak lucu,” tutur Kwik Ing Djie, salah satu atlet renang yang sekaligus panitia penyelenggara renang PONI I. Ia saya wawancarai di rumahnya di kawasan pertokoan Singosaren Solo pada bulan September 1993 menjelang PON XIII Jakarta.
Kwik Ing Djie adalah satu di antara beberapa atlet sepuh berusia di atas 80 tahun yang saya wawancara. Beberapa atlet sepuh lainnya diwawancara oleh Ardus M Sawega, koresponden Kompas di Solo.
Sebagian besar atlet tersebut berasal dari cabang sepak bola, ditambah satu sprinter atau pelari jarak pendek yang fenomenal pada masa PON I, yakni Wiryatni. Ia meraih medali perak untuk nomor 100 meter dan emas untuk nomor estafet putri 4 x 100 meter.
Wiryatni, waktu itu tinggal di sebuah gang di Jalan Srambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan Solo. Ia atlet pertama yang saya jumpai lantaran anak perempuannya, Susi, adalah teman dekat seorang sobat saya di Solo.
Baca Juga: Jumat Keramat yang Berujung Sabtu Kelabu di KPK
Dari Wiryatni lah, satu per satu atlet-atlet PON I yang kala itu (1993) masih hidup bisa saya lacak keberadaannya. Salah satu di antaranya, Subagyo, pemain kiri luar, kalau sekarang disebut pemain sayap. Ia penyerang cabang sepak bola yang paling segar kondisi fisiknya saat itu.
Subagyo kami temui sebagai pegawai parkir pasar yang berkantor di sebuah lantai di Pasar Gede, Solo. Perenang Kwik Ing Djie saya temui di rumahnya di daerah pertokoan Singosaren, di pusat kota.
Umumnya atlet renang, seperti Kwik Ing Djie, semasa PONI I adalah orang kaya. Namun, demi ikut PON I, mereka menerima tidur di atas kasur jerami beralaskan tikar di ”wisma atlet” berupa barak-barak dinding bambu yang didirikan di lapangan Mangkubumen, atau barak militer dan gedung sekolah-sekolah.
Seperti bumi dan langit
”Suasana PON dulu dan PON kini, sungguh seperti bumi dan langit,” tutur Hendratno, pemain bulu tangkis mantan jago Jawa yang ikut memperkuat tim juara umum Solo saat PON I.
Hendratno menggambarkan, demi terselenggaranya PON I, fasilitas yang ada mendadak disulap jadi sarana olahraga. Lapangan bulu tangkis yang dipakai untuk PON I adalah lapangan dadakan. Gedung bioskop Sriwedari, kursi-kursinya disingkirkan dan disulap menjadi ”hall” bulu tangkis.
Garis lapangannya dibuat dari kertas kalkir atau kertas rol mesin hitung yang dilem ke lantai dengan lem terigu. Dengan begitu, seusai pertandingan, kursi-kursi bioskop bisa kembali ditata, agar bisa dipakai untuk menonton film lagi.
Baca Juga: ”Nonton” The Police di Paris Bareng Nidji
Kesederhanaan juga muncul di ”lintasan atletik” PON I. Sprinter Wiryatni menuturkan pada saya, permukaan tanah lintasan lari di Stadion Sriwedari lebih menyerupai susunan bebatuan, ketimbang lintasan pasir lintasan atletik. Sehingga tidak cocok jika menggunakan sepatu lari yang pakai spike atau penancap karet untuk lintasan berpasir.
”Saya tak menggunakan sepatu karena tanahnya berbatu. Saya harus lari empat kali dalam sehari dari penyisihan sampai babak final, kaki saya jadi sowel (luka sobek), terkelupas,” tutur Wiryatni, peraih medali perak.
Ia bersaing dengan sprinter yang dijagokan kala itu, Anni Salamoen. Karena kondisi berbatu, belum musim pakai ”starting block” atau papan khusus pijakan lari, seperti starting block era Ben Johnson dan Carl Lewis. Cukup pakai starting block yang alami saja.
”Kalau mau start lari, tanah pijakan dikruweki pakai tangan (dikeruk lebih dulu) sesuai ukuran ujung kaki, terus dipakai untuk pancatan start. Baru start saja kita sudah harus berjuang,” kata Wiryatni pula.
Di kalangan pelari cepat, sprinter Wiryatni paling ditakuti oleh para peserta lain di PON I, terutama untuk jarak 100 meter dan estafet 4 x 100 meter. Saat saya wawancara tahun 1993, Wiryatni yang saat itu berusia 60 tahun, mengaku masih aktif bermain tenis.
”Kalau waktu itu saya tidak dapat peringatan ketika start, saya bisa menang,” ungkap Wiryatni, yang di kalangan teman-teman atlet PON I akrab disapa Dawir.
Baca Juga: Menunggu daripada Soeharto di Rumah Sakit
Dua kali Wiryatni alias Dawir mengaku kena peringatan false start di final PON I. Tiga kali mendapat peringatan akan terkena diskualifikasi sehingga di final 100 meter, Dawir melesatkan kaki paling akhir lantaran sebelumnya kena peringatan terus.
Namun, ia mampu menyusul satu per satu saingannya. Bahkan, Anni Salamoen yang dijagokan dan akhirnya dinyatakan juara pun, sebenarnya hanya terpaut sedikit catatan waktunya dengan Wiryatni.
”Kalau saja waktu itu ada foto finis seperti sekarang, belum tentu saya kalah,” kata Wiryatni, yang di final dinyatakan meraih medali perak dengan catatan waktu 14,1 detik. Anni Salamoen catatan waktu juaranya 13,9 detik.
Wiryatni mengaku kepalanya lebih dulu melewati finis dengan posisi tunduk. Sedangkan Anni Salamoen, kata Wiryatni, finis dengan kepala tegak....
”Tetapi dulu memang tidak model protes-protesan. Dinyatakan yang menang dia, ya, terima saja meski dalam penyisihan catatan saya lebih baik daripada Anni Salamoen yang 13,5 detik. Catatan Wiryatni di penyisihan 13,4 detik.
Namun, kekecewaannya tertebus. Dalam nomor lari sambung 4 x 100 meter (saat ini disebut estafet), tim Solo yang dijangkari Wiryatni, berhasil menggondol emas.
Baca Juga: Suatu Hari Bersama Yayuk Basuki...
Kuartet pelari Solo ini terdiri dari Darsari, pelari kedua Darwati, pelari ketiga Silviati, dan Wiryani sebagai pelari terakhir atau pelari jangkar. Catatan waktunya berselisih hampir dua detik dengan peraih perak, tim lari sambung dari Yogyakarta. Wiryatni cs mencatat waktu 55,5 detik, sedangkan tim Yogyakarta 57,2 detik.
Pertarungan di sepak bola PON I juga berlangsung sengit dan seru karena melibatkan suporter atau pendukung tim, terutama saat pertandingan Solo versus Yogyakarta. Namun, meski beberapa kali terlibat pertandingan sengit, mereka tidak sampai gontok-gontokan.
”Main gaprak (tackle) memang terjadi. Tetapi, sekadar mengenai kaki. Sementara tulang kering diharuskan dibebat kain pelindung yang diisi bilah-bilah rotan,” tutur Subagyo, yang saya temui di rumahnya di wilayah Gambiran, Solo barat.
Pelindung tulang kering dari bilah-bilah rotan ini biasa disebut ”krepyak”. Ini dimaksudkan untuk melindungi pemain dari cedera serius jika terjadi gaprakan, kena spike sepatu bola yang terbuat dari bahan kulit dan ditempelkan ke alas sepatu menggunakan paku.
”Kalau kulit spike sudah tipis, maka yang tinggal hanya pakunya. Tentu saja membahayakan kaki lawan bila kena gaprak paku. Belum lagi bola zaman dulu kan pakai tali yang diikat seperti tali sepatu untuk menyembunyikan karet pemompa bola. Kalau bola ditanduk, dan pas kena jahitan tali, kening kita ada cap talinya,” tutur Subagyo, pemain kiri luar tim sepak bola Solo yang menjadi tim juara PON I.
Baca Juga: Kriiing... Ada Telepon dari Phil Collins dan Rod Stewart
Soal sponsor
Ketika akan berlangsung PON XIII tahun 1993, belasan mantan atlet PON I dari Solo yang sudah sepuh-sepuh ini sempat diminta untuk diarak dari Stadion Sriwedari Solo.
Bersamaan dengan api PON yang dibawa dari Madura singgah di Solo, kota kelahiran PON. Para mantan atlet tua ini terlihat menitikkan air mata. Mereka merasa terharu karena belum dilupakan oleh generasi masa kini.
”Ketika kami lari dengan logo sponsor di kaus yang kami pakai, ada perasaan aneh. Dulu di dada kami, tulisan PON besar-besar. Kini, tulisan sponsor yang besar-besar. Tulisan PON-nya kecil-kecil,” tutur Wiryatni.
Hampir seluruh barisan menjelang PON 1993 itu, tidak kalis dari tulisan sponsor. Termasuk kendaraan-kendaraan boks yang mengiringi mereka, tulisan sponsornya besar-besaran. Umbul-umbul di stadion, juga sebagian besar sponsor. Kelakarnya, kalau direntang, bisa dari Madura sampai Jakarta bentangan sponsornya.
Menurut Maladi, mantan Menteri Olahraga saat PON I diselenggarakan, PON I bukannya tidak ada sponsor. Konferensi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang digelar pada 2-3 Mei 1948 di Solo, sempat memancing berbagai kalangan untuk mengulurkan sumbangan sukarela masyarakat.
Konferensi ini dihadiri semua utusan PORI daerah dan wakil Kementerian Pembangunan dan Pemuda serta Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Maladi saya temui September 1993 di Jakarta.
Baca Juga: Tragedi 9/11 dan Edisi "The Towering Inferno"
Uang, kata Maladi, dulu nomor dua. Nomor satu adalah keinginan, kemauan dan semangat berolahraga. Tidak heran, setelah PORI mencetuskan akan diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional, ”sponsor” pun berdatangan. Semula rencananya bukan PON, melainkan Pekan Olahraga Olimpik untuk pengumpulan dana bagi pengiriman delegasi peninjau ke Olimpiade 1948 London.
Sponsor agung, tentunya Pemerintah Republik Indonesia, terutama Djawatan Radio Kementerian Penerangan (RRI). Mereka menyiapkan sebuah pemancar besar dengan gelombang 60 meter dan 7 buah pemancar kecil yang ditempatkan di tiap lapangan perlombaan. Pemancar-pemancar itu kemudian memancarkan siaran semua pertandingan setiap harinya, dari pukul 07.00 sampai 18.00.
Pariwara PON I juga mereka lakukan. Katakanlah, ”propaganda” PON yang diudarakan setiap malam di radio sejak 25 Agustus 1948 dalam acara ”Ruang Istimewa” di RRI selama 10 menit.
Uang, kata Maladi, dulu nomor dua. Nomor satu adalah keinginan, kemauan dan semangat berolahraga.
Di lokasi PON I, Djawatan Radio juga membuat sebuah studio di Stadion Sriwedari, selain membuat kantor di dekat lokasi tersebut yang melibatkan tidak kurang dari 100 personel.
Djawatan Pos Telegraf dan Telepon (PTT) juga menyediakan sebuah pemancar kuat dengan gelombang 30 meter, guna menyiarkan PON. Siarannya bahkan bisa ditangkap sampai Sumatera dan seluruh Republik Indonesia, Singapura, India, Filipina, dan Australia. Siaran diatur bersama RRI.
Inspektorat Perhubungan menyediakan pemancar mobil, yang mengikuti rombongan arak-arakan bendera PON I dari Yogyakarta hingga ke Solo pada 8 September 1948. Penyiaran pemancar mobil ini direlai oleh pemancar Jawatan Radio (60 meter) sehingga bisa dimonitor oleh umum.
Jawatan Kereta Api (DKA) juga mendukung dalam bentuk membuatkan sejumlah peralatan yang berguna untuk atletik. Jawatan Listrik membantu memasang aliran listrik di tempat pertandingan.
Sponsor lokal perseorangan juga banyak, terutama dari Solo sebagai tempat penyelenggaraan. Setiap cabang olahraga bahkan punya garantie, jaminan atau sponsor. Penjamin utama cabang renang, misalnya, adalah pengusaha batik Priyorahardjo.
”Pengusaha ini berani menjamin, kalau untung modal akan dikembalikan. Tetapi kalau rugi, ya dia yang tanggung,” tutur Kwik Ing Djie.
Demikian pula Ong Soen Beng yang membuat buku programa dengan imbalan bisa memasang iklan usahanya di buku tersebut. Kwik Ing Djie sendiri adalah pengusaha toko yang kemudian dipercaya menjadi penyelenggara lomba cabang renang di PON I.
Kebutuhan logistik para atlet dan ofisial disediakan oleh Persatuan Rumah Makan Surakarta (PRS) yang waktu itu diketuai Soegondo. Didirikan pula dapur umum di dekat barak-barak atlet di lapangan Mangkubumen.
Walaupun peralatan dapur masih sangat sederhana, seperti kuali dari tanah liat atau tungku berbahan bakar kayu, tetapi semangat menyukseskan PON membuat para petanding tak khawatir tidak mendapat makanan setiap hari.
Sebagai sarana transportasi adalah becak untuk mengangkut atlet peserta PON I. Untuk itu, Serikat Buruh Angkutan Becak di Surakarta dilibatkan dalam penyediaan transportasi bagi para atlet PON I dari dan ke arena pertandingan.
”PORI juga mengumpulkan dana dari masyarakat dan mengedarkan surat edaran kepada kalangan pengusaha untuk minta bantuan,” ungkap Maladi.
Sedikit tentang Maladi. Pada masa kemerdekaan 1945, ia pernah menjabat empat jabatan militer, yakni Komandan Batalyon Perhubungan di Solo dengan pangkat Mayor, Perwira Perhubungan di Yogyakarta sewaktu pemberontakan PKI Madiun meletus beberapa saat setelah penutupan PON I. Maladi juga menjabat Komandan Penerangan Mobil Gubernur Militer II serta Penerangan Markas Komando Jawa ini pula.
Kembali ke PON I, tentu saja tidak ada iming-iming bonus kepada atlet yang berhasil menjuarai PON. Saat itu, atlet masih murni amatir sehingga tidak boleh terima uang hadiah juara.
”Dulu pemenang hanya mendapat secarik kertas. Juara umum cabang olahraga serta juara umum keseluruhan, baru mendapat piala dari perak, bukan medali,” ungkap Kwik Ing Djie.
Namun, karena sehari setelah acara penutupan PON I, Kota Solo dilanda huru-hara pertempuran di Jalan Srambatan, segala kertas piagam, piala, dan sejumlah dokumentasi penting PON I hilang tak tentu rimbanya.
Termasuk bendera bersejarah PON I yang berlambangkan lidah api dengan lima lingkaran Olimpiade (kini hanya tiga lingkaran). Hanya selang beberapa hari dari penutupan PON I, meletus peristiwa pemberontakan PKI di Madiun.
Masih beruntung, ada satu Piala PON I yang waktu itu (1993) masih utuh tersimpan, yaitu piala juara umum cabang renang yang disimpan oleh Kwik Ing Djie di rumahnya.
Piala kenang-kenangan PON I di Solo tahun 1948 itu selama hampir 45 tahun disimpan secara baik oleh Kwik Ing Djie alias Roso Aji ini. Beberapa saat sebelum saya wawancara tahun 1993 itu, piala bersejarah itu diserahkan kepada KONI Jawa Tengah untuk disimpan di museum. Semoga saja, satu-satunya kenang-kenangan piala dari PON I Solo 1948 tersebut, masih lestari dipelihara oleh KONI Jawa Tengah. Semoga saja...
JIMMY S HARIANTO, Wartawan Kompas 1975-2012