”Nonton” The Police di Paris Bareng Nidji
Nonton band legendaris The Police di Paris bareng Nidji. Menyaksikan saat grup band ini masih kompak, menulis lagu dalam perjalanan, ramai-ramai mendorong bus yang mogok, dan tentu saja jingkrak-jingkrak nonton konser.
Sungguh beruntung mendapat kesempatan menonton bersatunya kembali grup musik legendaris Inggris, The Police, pada tahun 2007. Sejak konser terakhir mereka di Melbourne, Australia, 4 Maret 1984, praktis boleh dibilang The Police mati. Padahal saat itu mereka tengah berada di posisi puncak.
Konser di Stade de France, Paris, pada 29 September 2007 adalah yang pertama sejak 23 tahun mereka bubar. Memang, bersatunya kembali Gordon Sumner alias Sting, Andy Summers, dan Stewart Copeland kali ini hanya untuk kepentingan tur. Setelah tur usai, selesai pula riwayat The Police yang didirikan oleh Stewart Copeland pada 1977 itu.
Sungguh beruntung, saya kebagian nonton momen bersejarah grup ini di Stade de France. Setelah pentas mereka di Paris, The Police melanjutkan konsernya di Manchester, Inggris, pada Oktober dan Amerika Serikat, pada November 2007.
Nah, jangan kepikiran saya nulis ini lantaran sedang gayeng-gayengnya komentar Giring eks Nidji, yang mengkritik Gubernur Anies Baswedan dalam kaitan menjelang Pilpres 2024.
Di AS, The Police tampil di New York, Atlantic City, Boston, Philadelphia, dan Atlanta, sebelum lanjut ke Toronto dan Montreal di Kanada. Saya katakan merasa beruntung, lantaran kebagian jawilan gratis nonton The Police bareng grup musik Nidji.
Nah, jangan kepikiran saya nulis ini lantaran sedang gayeng-gayengnya komentar Giring eks Nidji, yang mengkritik Gubernur Anies Baswedan dalam kaitan menjelang Pilpres 2024. Padahal pilpres masih lumayan lama. Namun, lantaran The Police merupakan salah satu grup legendaris Inggris, meskipun tak membahana berzaman-zaman, seperti The Beatles, Rolling Stones, ataupun grup rock Deep Purple.
Giring Ganesha berangkat bersama bersama lima rekannya seband, yakni penabuh drum Adri (24), basis Andro (23), gitaris Ariel (24), gitaris Rama (23), dan anggota termuda Run D atau Randy (22) di kibor.
Baca juga : Kritik Giring kepada Anies, Siapa Diuntungkan?
Keenamnya seumur, masih di bawah 25 tahun dan belum ada yang berpolitik. Mereka mendapat kesempatan nonton The Police lantaran meraih penghargaan sebagai ”band pembawa perubahan”.
Award berupa kesempatan nonton The Police didapat Nidji setelah unggul dalam penilaian selama rangkaian tur musik A Mild Live Soundrenaline 2007. Mulai dari Padang (17 Juli), Palembang (24 Juli), Bandung (1 Agustus), Surabaya (7 Agustus), dan terakhir Denpasar (13 Agustus). Saya kemudian menjadi satu-satunya wartawan Indonesia yang beruntung dijawil untuk ikut nonton The Police bareng mereka waktu itu.
”Reggae putih”
Stade de France yang menjadi lokasi konser sesungguhnya adalah lapangan sepak bola kelas premium dunia yang pernah menjadi tempat berlangsungnya Piala Dunia Sepak Bola FIFA 1998. Agar tidak rusak terinjak penonton konser, sebagian rumput di lapangan ditutupi fiber cukup tebal.
Ini mengingatkan saya ketika nonton konser Deep Purple di Stadion Gelora Senayan (1975) dengan 80.000-an penonton. Stadion Senayan waktu itu ditutupi tripleks atau tepatnya multipleks tebal agar rumputnya tak rusak.
Gemeretak bunyi langkah penonton terdengar di atas fiber Stade de France. Apalagi saat penonton berjingkrak mengikuti musik The Police yang memang boleh dikata berirama joget reggae. Dangdutnya musik Jamaika.
Media selalu menulis, The Police itu ”reggae putih”. Terminologi yang cukup diskriminatif lantaran reggae memang asal kelahirannya identik dengan musik populer orang-orang Jamaika hitam di Amerika Latin dan diasporanya. Disebut reggae putih karena memang tak banyak pemusik pop kulit putih yang membalut musik mereka dengan entakan musik hangat Jamaika.
”Kalian di sini jumlahnya 80.000-an kan? Jadi, jumlah tangan kalian di stadion ini ada 160.000. Ayooo, ikut tepuk tangan,” ungkap Sting (Gordon Sumner) dalam bahasa Perancis yang sangat lancar.
Baca juga : Menunggu daripada Soeharto di Rumah Sakit
Semua penonton rupanya memang lebih mengenal Sting, si pembetot bas sekaligus vokalis yang suaranya sangat dikenal lewat album-album solo Sting. Istimewanya, gitar bas yang dibetot Sting bener-bener gitar butut, buluk. Catnya banyak mengelupas di sekujur bas Fender Strato itu, yang berpenampilan khas coklat kekuningan dengan plisir hitam. Mirip warna gitarnya Jimi Hendrix.
Stadion berkapasitas 81.000-an orang itu memang tidak sepenuhnya terisi karena panggung menutup salah satu sisi tribun. Sehingga penonton di depan panggung dan kelas festival justru separuhnya sendiri. Kami memilih berdiri di festival meskipun dapat undangan duduk.
Ada sekitar 40.000 penonton untuk kelas paling murah ini. Musik The Police yang campur antara rock, punk, dan entakan reggae Jamaika, membuat kaki tergelitik untuk mengentak. Breeetaak, breetttak. Hurai! Lebih asyik dinikmati di kelas festival. Penonton pun ramai bersorak dan berjingkrak.
Di Stadion Paris ini, orang kemudian kembali diingatkan pada lagu-lagu hit The Police yang pernah top pada tahun 1980-an, seperti ”Message in A Bottle” yang menjadi lagu pembuka konser.
Selanjutnya adalah lagu-lagu hit platinum mereka, seperti ”Roxanne” (1977), ”Outlandos d’Amour” (1978), ”Regatta de Blanc” (1979), ”Ghost in the Machine” (1981), atau hit terakhir mereka sebelum ”bubar”, ”Every Breath You Take” (1986).
Gordon Sumner, Andy Summers, Stewart Copeland kembali menggaungkan sintesis reggae, pop, dan rock n’roll, seperti zaman mereka jaya. Sayang, mereka hanya bertahan tujuh tahun. Padahal, mereka lahir dengan susah payah saat Inggris sedang dilanda musik punk pada tahun 1977.
Baca juga : Suatu Hari Bersama Yayuk Basuki...
Kombinasi personel The Police terlihat saling melengkapi. Sting menarik dengan lagu ciptaannya. Hampir semua lagu The Police merupakan komposisi ciptaan Sting yang dibawakan juga oleh suara vokal Sting yang tinggi dan khas.
Sementara Andy Summers memberikan warna khas dengan lentingan gitar listriknya. Demikian pula Stewart Copeland dengan ritme drumnya, yang menjadi denyut musik The Police.
Stamina Sting—yang relatif termuda di antara personel lainnya—terlihat masih prima. Umur para anggota The Police saat itu sudah di atas kepala empat. Cukup dahsyat bisa membawakan dengan stabil 15 lagu plus tiga tambahan, lantaran penonton tak mau beranjak meninggalkan stadion. Sungguh mengesankan.
Tetapi yang menurut saya, paling memikat dari The Police justru si jago tua Andy Summers dengan gitar listriknya. Stewart Copeland pada drum dan perkusi lebih menjadi nakhoda yang mengemudikan irama musiknya.
Sting, yang lebih terkenal di antara mereka karena bersolo karier, menarik perhatian karena tampil dengan gitar bas kesayangannya. Sudah catnya buluk, mengelupas lagi.
Gitar bas bermerek Fender itu jadi tampak khas. Lebih kurang 20 tahun tak bermain bersama, toh The Police tetap terlihat kompak saat bermusik dalam satu grup.
Baca juga : Kriiing... Ada Telepon dari Phil Collins dan Rod Stewart
Lagu-lagu ”khayalan”
Penampilan band pembuka konser ternyata juga menyimpan kisah tak kalah menarik. Seperti sang ayah, Joe Sumner (31), vokalis utama grup musik Inggris Fiction Plane yang menjadi pembuka konser The Police, juga membetot bas.
Joe Sumner adalah anak Gordon Sumner alias Sting, basis The Police. Seperti bapaknya, suara Joe Sumner juga meruap dari langit-langit tenggorok. Tanpa vibrasi. Terkadang malah parau....
Ia juga mewarisi kemampuan tampil di atas panggung (performanship) bapaknya. Tidak heran, karena Joe Sumner adalah anak Gordon Sumner dengan seorang aktris Inggris, Frances Tomelty. Sejam lamanya, dengan penuh percaya diri Joe Sumner dan Fiction Plane mengajak penonton Stade de France dengan lagu-lagu khayalnya.
Formasi Fiction Plane persis seperti The Police. Fiction Plane juga tampil dengan formasi three piece band alias hanya main bertiga. Peran pun mirip. Joe Sumner alias Sting yunior adalah vokalis sembari membetot bas seperti Gordon Sumner.
Dua teman Joe, Seton Daunt dan Pete Wilhoit, masing-masing pegang gitar dan drum. Sepanjang satu jam, vokalisnya juga hanya tunggal. Jika The Police bertumpu penuh pada vokal Sting alias Gordon Sumner, Fiction Plane juga mengandalkan si pemegang bas, Joe Sumner, anak Sting.
Namun, kemiripan sama sekali tidak ditemukan pada musik keduanya. Sama sekali berbeda. Ini dijelaskan oleh Joe, misalnya, dalam sebuah biografi Sting, Broken Music.
Baca juga : Tragedi 9/11 dan Edisi ”The Towering Inferno”
Joe mengaku dulunya tidak berminat main musik seperti sang ayah, sampai suatu ketika, si kecil Joe mendengarkan musik dari grup Nirvana. Gara-gara terpikat Nirvana-lah, Joe lalu berniat membentuk grup musik bersama rekan sekolahnya, Dan Brown dan Olly Taylor.
Mula-mula bandnya dinamai ”Santa’s Boyfriend”. Mereka main di London dan sekitarnya serta merekam sendiri dalam bentuk CD. Salah satunya berjudul ”Swings and Roundabouts”.
Setelah ditinggalkan penabuh drumnya, Olly Taylor, nama band lalu diubah menjadi Fiction Plane. Mereka kemudian dikontrak perusahaan rekaman MCA Records dan menelurkan album pertama, yakni Everything Will Never Be OK (2003).
Seperti nama bandnya yang ”tidak oke” di telinga, ”Pesawat Khayal”, judul-judul lagu mereka pun sungguh khayal, bahkan cenderung fatalistik, seperti ”I Wish I Would Die”. Belum lagi kalau menelusuri lirik-lirik mereka yang memang lebih dekat dengan lirik-lirik Nirvana.
Dalam ”Cigarette”, misalnya, Joe tidak main-main dengan liriknya. Coba dengarkan, ”Sentuh aku, karena ayahku kaya... (Touch me, cause my daddy’s rich...)”. Karena memang Joe adalah anak orang kaya. Sting, sang ayah, tentunya pemusik terkenal yang kaya raya.
Judul-judul lagu dalam album terbaru mereka, ”Left Side Brain” (2007), yang mereka bawakan di Paris akhir September itu, misalnya, sungguh terasa fatal. Sebut saja ”Death Machine”, atau yang agak khayal lainnya adalah ”Fake Light from the Sun”.
Baca juga : Setengah Jam di Tengah Teror Bom
Meski media mengolok-olok Fiction Plane sebagai ”Infant Police”, alias si Kanak-kanak The Police, nyatanya warna musik mereka lebih dekat dengan grup musik yang lebih ”in” pada masanya, seperti Nirvana, The Smashing Pumpkins, dan U2.
Lebih mengundang olok-olok lagi, lantaran dalam tur dunia grup musik The Police di Eropa, Amerika, dan Australia sepanjang tahun 2007 sampai awal 2008 itu, Fiction Plane hampir selalu diberi kesempatan menjadi band pembuka konser The Police. Mentang-mentang ada anak Sting ya?
Meski terkesan mengekor sang ayah, sepertinya Joe Sumner yang lulusan Richmond University, London, jurusan Ilmu Lingkungan ini, tampak mengembangkan warna musiknya sendiri.
Jauh dari warna musik yang ditorehkan sang ayah pada grup The Police. Dari lirik-lirik yang mereka lantunkan, sungguh, mereka mengekspresikan sebuah ungkapan khayal. Ungkapan yang sungguh fiksi dalam sebagian lagu-lagu fatalistik mereka....
Nidji mendorong bus mogok
Lalu apa yang dilakukan Nidji saat nonton The Police di Paris? Giring, Adri, Andro, Ariel dan Rama larut seperti penonton lainnya. Lonjak-lonjak bersama dan teriak-teriak lepas. ”Kapan lagi...,” kata mereka. Suaranya bergemeretak di atas papan fiber yang menutupi hijaunya lapangan Stade de France.
Selama di Paris, mereka terlihat kompak dan akrab. Selera pun seumur. Naik bus bareng, busnya mogok di Champs Elysees lantas didorong bareng. Siapa lagi yang harus mendorong kalau bukan mereka karena penumpangnya ya hanya mereka, pulang dan pergi ke hotel.
Baca juga : Para Napi Itu Tidur seperti Kelelawar
Di dalam bus, mereka kok ya sempat-sempatnya menciptakan lagu. Ariel, yang selalu membawa laptopnya, teriak pada teman-teman di bus, ”Aku nemu nih...!” Mereka lantas rame-rame usul aransemen untuk lagu temuan di Paris itu.
Selama di Paris, mereka tidak hanya menciptakan lagu di bus dan di hotel, tetapi juga menyempatkan diri membeli alat musik, seperti Andro Nidji yang membeli satu gitar bas. Aku lupa tanya mereknya.
Bukan tak mungkin suatu ketika orang boleh berharap Nidji kembali berpentas, setelah sekian lama berpisah bahkan tercerai-berai.
Bagaimana saat di menara Eiffel? Mereka senang-senang saja mengantre mengular seperti turis lainnya. Ramai-ramai mencari lokasi foto bersama, di teras atas Eiffel atau di Trocadero, dengan latar belakang menara yang dirancang Gustav Eiffel itu. Kapan lagi...
Kalau saja para musisi Nidji itu teringat The Police, band yang sudah 23 tahun bubar tapi bisa bersatu kembali sekurang-kurangnya untuk tur musik. Bukan tak mungkin suatu ketika orang boleh berharap Nidji kembali berpentas, setelah sekian lama berpisah bahkan tercerai-berai.
Soalnya, sebelum Giring kenal politik, keenam anak muda ini fine-fine saja. Bahkan terlihat kompak, seumur, dan seide. Kini buyar, gara-gara pilihan politik vokalisnya meskipun itu hak Giring juga untuk menentukan pilihan politiknya.
Saat ini, Nidji pun bubar bar. Bahkan di medsos ramai diberitakan, personel Nidji mengaku tak kenal Giring lagi. Randy bahkan dikutip berceloteh tentang Giring, ”Saya hanya kenal dia, dari 2002 sampai 2017. Setelah itu? Nomor HP dia pun enggak punya...,” kata salah satu personel Nidji ini, yang ramai di media sosial.
Semoga suatu ketika mereka bebas dari politik dan bersatu lagi! Kayak The Police itu. Bersatu untuk tur musik. Lalu bubar lagi...
JIMMY S HARIANTO
Wartawan Kompas 1975-2012