Kriiing... Ada Telepon dari Phil Collins dan Rod Stewart
Phil Collins berkisah soal gangguan telinga yang dideritanya. ”Bassist” Green Day pagi-pagi telepon ke rumah. Rod Stewart blak-blakan bicara apakah suara serak dan rambutnya yang ”njegrak” asli atau dibuat-buat.
Harian Kompas cukup sering mendapat kesempatan wawancara dengan artis meski terkadang hanya lewat telepon. Tetap saja kesempatan yang langka karena mereka adalah nama besar.
Tersebutlah Phil Collins, Rod Stewart, band Green Day, Tony Bennett, Diana Krall, David Foster, dan lainnya. Beberapa kali saya ditugasi untuk mewawancarai artis-artis kondang itu.
”Telepon Phil Collins dari Paris”, itu judul tulisan yang dimuat harian Kompas, edisi 11 Desember 2002. Pada masa itu, Kompas mendapat tawaran dari perusahaan rekaman Warner Music Indonesia untuk mewawancarai Phil Collins via telepon.
Ada juga wanti-wanti agar tidak menanyakan soal gangguan pendengaran yang sempat dialami Phil Collins saat rekaman album.
Wawancara Collins terkait rilis album barunya, yaitu Testify. Wawancara dilakukan di kantor Warner di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, pada 3 Desember 2002. Phil Collins, eksponen band Genesis yang meroket sebagai penyanyi solo itu, tengah berada di Paris, Perancis.
Prosedur wawancaranya sederhana saja. Lima menit sebelum wawancara, perwakilan Warner di Hong Kong akan memberi tahu, jika ada telepon berdering, itu langsung dari Phil Collins.
Oleh karena itu, yang mengangkat telepon haruslah langsung wartawan pewawancara. Ada juga wanti-wanti agar tidak menanyakan soal gangguan pendengaran yang sempat dialami Phil Collins saat rekaman album.
Saya menyiapkan diri tiba di Warner setengah jam sebelum waktu wawancara. Biasa, saya memperhitungkan kemacetan Jakarta. Juga agar tidak kemrungsung atau panik, sekalian untuk memastikan alat perekam bekerja dengan aman.
Dan telepon pun berdering. Dari seberang terdengar suara Phil Collins menyapa nama depan saya, seolah kami ini kawan lama. Penyanyi yang juga drumer eksponen band Genesis itu berbasa-basi seperlunya.
”Saya cuma punya waktu lima belas menit, karena setelah ini saya ada acara di televisi,” kata Collins dengan suara yang tak beda dengan suara dalam nyanyiannya.
Hari itu secara berturutan, Phil Collins melayani wawancara dengan tujuh wartawan dari Asia, yakni Singapura, Malaysia, Taiwan, Korea, Filipina, Thailand, dan Indonesia.
Untuk itu, dia berbicara sekitar tiga jam tanpa henti dari pukul 11.00 sampai pukul 14.00 waktu Paris. Begitulah, seorang bintang pop pun tetap berusaha mendekatkan karya musiknya kepada khalayak lewat promosi, termasuk wawancara dengan media massa.
Tidak diduga sebelumnya, dalam wawancara malah Phil Collins yang menceritakan soal gangguan telinga semasa pembuatan album Testify. Saya meminta izin apakah penjelasan tentang hal itu boleh dikutip. Dia menyatakan tidak masalah karena memang sudah sembuh.
Baca juga : Menjadi Saksi dari Balik Jeruji
Meski topik digariskan berfokus pada album Testify, tetapi saya tidak tahan untuk bertanya soal Genesis. Bagaimanapun, nama Phil Collins tidak lepas dari grup rock progresif yang dimotori Peter Gabriel itu.
Karena di luar topik, saya juga meminta izin dulu, apakah dia tidak keberatan jika saya bertanya tentang Genesis. Dia menjawab dengan senang hati, ”Oh sure,” katanya memberi lampu hijau.
”Saya tidak keberatan disebut-sebut sebagai eks pemain Genesis karena itu memang fakta. Saya juga paling sering ditanya apakah akan ada reuni Genesis. Saya katakan, saya mau saja dan saya senang melakukan konser reuni, asal bukan saya yang mengadakan,” kata Collins yang kemudian saya kutip dalam tulisan.
Lalu dengan sopan Phil Collins memberi isyarat bahwa wawancara harus disudahi dengan pertanyaan terakhir. Saya bertanya apakah masih ingat Jakarta, Indonesia, yang pernah didatangi lewat konser pada Maret 1995. ”Pasti saya ingat. Saya dengar Indonesia sedang mengalami masa sulit secara ekonomi dan politis, benarkah?”
Baca juga : Tragedi 9/11 dan Edisi ”The Towering Inferno”
Green Day telepon ke rumah
Kompas juga pernah mendapat penawaran dari Warner Music untuk mewawancarai band punk rock Green Day yang pada Oktober 2004 sedang mempromosikan album American Idiot.
Dinamakan penawaran karena pihak redaksi bisa menolak atau menerima tawaran tersebut. Biasanya, desk akan rapat dulu untuk membahas rencana isi halaman. Namun, terkadang cukup hanya dengan lapor ke editor tentang tawaran tersebut.
Bre Redana dan Ninuk Mardiana Pambudy sebagai redaktur pada masa itu tidak terlalu resmi-resmian. Sejauh kami lapor atau menunjukkan surat penawaran, mereka oke saja.
Kali ini wawancara dilakukan via telepon langsung ke rumah saya. Hal ini disebabkan wawancara berlangsung pukul 07.00. Saya sudah lupa persisnya posisi Green Day saat itu di kota apa.
Baca juga : Setengah Jam di Tengah Teror Bom
Akan tetapi, sejauh saya ingat, bassist Mike Dirnt yang mewakili Green Day dalam wawancara mengatakan, ia baru selesai manggung sekitar tengah malam.
Wawancara telepon dengan band biasanya diwakili oleh salah seorang personel saja. Semula saya menduga akan mendapat Billie Joe Armstrong, sang vokalis dan gitaris.
Akan tetapi, bagi saya, bassist Mike Dirnt atau drumer Tre Cool tidak masalah. Mike sangat bagus memformulasikan pikiran dengan kalimat-kalimatnya yang jelas dan enak dikutip.
”Kami hidup di zaman edan. Pengalaman dan cara pandang kami merupakan refleksi dari apa yang sedang terjadi di sekitar kami,” kata Mike Dirnt tentang album American Idiot yang kemudian saya tuangkan ke dalam feature yang terbit di halaman satu edisi 31 Oktober 2004.
Baca juga : Para Napi Itu Tidur seperti Kelelawar
Rod Stewart ”nonton” bola
Lain lagi kisah wawancara per telepon dengan bintang rock Rod Stewart. Wawancara pada 28 Januari 2012 itu dilakukan dalam situasi setengah terburu-buru tapi seru.
Terburu-buru karena Stewart sudah tidak sabar menonton sepak bola Piala FA. Kebetulan jadwal wawancara berjarak cuma 20 menit dari jadwal pertandingan. Seru karena obrolan juga melebar soal sepak bola.
Kebetulan malam itu ada pertandingan antara kesebelasan Liverpool dan Manchester United. Malam harinya, ia bersiap terbang ke Jakarta untuk berkonser pada 31 Januari malam di Jakarta Convention Center.
Begitulah, wawancara berlangsung di tengah agenda yang padat. Wawancara pun dimulai dengan perjanjian, ”Kita harus menyudahi wawancara ini lima menit sebelum pertandingan dimulai, oke?” kata Rod Stewart.
Wawancara kemudian ditutup dengan rasa girang, ”Let’s watch the game. Ayo nonton bola, ha-ha-ha,” kata Stewart ketika pertandingan hendak dimulai.
Meski dalam waktu yang terbatas, kami masih sempat ber-ha-ha-hi-hi mengobrol tentang sepak bola dan musik. Wawancara dilakukan di kantor Redaksi Kompas. Saya sengaja memilih ruang rapat kecil yang sepi sehingga saya bisa mengeraskan suara jika penerimaan kurang jelas.
Baca juga : Mengobrol Akrab dengan Santana sampai Herbie Hancock
Semula saya sudah membuat daftar pertanyaan tentang musik. Akan tetapi, karena dari awal Stewart sudah bicara tentang sepak bola, mendadak saya alihkan fokus ke sepak bola. Bagi saya, ini lebih menarik.
Kebetulan, secara pribadi saya penggemar Liverpool (semata karena itu kota The Beatles). Akan tetapi, karena wawancara berlangsung terkait konser di Jakarta, saya juga harus bertanya tentang musik.
Akhirnya waktu sekitar 15 menit saya bagi menjadi dua topik: bola dan musik. Hasil wawancara dimuat di Kompas, 31 Januari, atau pada hari yang sama dengan jadwal Rod Stewart the Hits Concert di JCC malam harinya.
Stewart bercerita bahwa ia adalah kawan baik Manajer Liverpool Kenny Dalglish. Tak kalah hebat dengan pengamat sepak bola, dia juga bicara tentang peluang setiap kesebelasan. Stewart penggemar fanatik klub Celtic Glasgow dan tim nasional Skotlandia. Mungkin karena ia mewarisi darah Skotlandia dari pihak ibu.
Stewart memang pencinta sepak bola dan pernah menjadi pemain sepak bola profesional di Brentford Football Club saat berumur belasan tahun. Bola dan musik sempat membuatnya bingung untuk memilih.
”Kecintaan saya kepada musik ketika itu sama besarnya dengan kecintaan saya kepada sepak bola. Saat itu saya berumur 17 tahun dan harus membuat keputusan ganda, dual decision,” tutur Stewart.
”It’s funny, kita bicara soal sepak bola. Sekitar setengah jam lalu, saya baru main sepak bola dengan tim saya, ha-ha-ha…,” lanjut bintang rock itu.
Satu pertanyaan yang saya simpan dan merupakan titipan teman-teman adalah tentang suara serak. Apakah itu suara asli atau dibuat-buat.
Sebenarnya saya jengah juga menanyakan ini, tetapi karena hatinya sedang bungah akhirnya terlontar juga. ”Apakah itu suara asli atau Anda buat-buat?”
Satu lagi pertanyaan titipan adalah soal rambut njegrak mirip landak yang tegak ke atas itu.
”Ha-ha-ha tentu ini suara natural saya. Itu semua berawal ketika saya mulai mendengar lagu-lagu dari Samuel Cooke, Otis Redding, dan Little Richard. Proses untuk kemudian membentuk suara seperti itu memang cukup lama. But my voice is quite natural,” kata Stewart dengan suara serak seperti terdengar dalam lagu ”Sailing” atau ”I Don’t Wanna Talk about It”.
Satu lagi pertanyaan titipan adalah soal rambut njegrak mirip landak yang tegak ke atas itu. ”Rambut saya memang selalu begitu (berdiri). Namun, saya merasa beruntung karena model rambut itu, ha-ha-ha.” Wawancara pun berakhir diiringi suara sayup-sayup riuh seperti teriakan orang nonton bola.