Setengah Jam di Tengah Teror Bom
Tuntutan pekerjaan kerap menempatkan jurnalis dekat dengan bahaya, termasuk saat harus meliput serangan bom. Wartawan harus pintar-pintar mengumpulkan informasi, sementara pelaku masih berkeliaran, bom lain siap meledak.
Setiap kali peringatan serangan 11 September 2001 mengingatkan kami akan berbagai peristiwa teror besar di Tanah Air. Mulai dari serangan bom malam Natal, bom Bali I dan II, bom di hotel JW Marriott, hingga bom Thamrin (bom Sarinah). Wartawan Kompas Mukhamad Kurniawan dan fotografer Kompas Muhammad Yuniadhi Agung berbagi pengalaman dan refleksinya saat harus meliput peristiwa pengeboman tersebut.
Pengalaman M Kurniawan:
Di dunia kewartawanan yang belasan tahun saya jalani, satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Persis seperti yang terjadi pada 14 Januari 2016 ketika beberapa bom diledakkan oleh pelaku teror di Starbucks dan pusat perbelanjaan Sarinah di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Semula hari itu saya akan melanjutkan liputan tentang APBD DKI Jakarta Tahun 2016 yang revisinya baru saja ditandatangani pimpinan DPRD DKI Jakarta. Berangkat dari rumah di Tangerang Selatan, pagi itu menurut rencana saya meluncur dulu ke Balai Kota di Jalan Medan Merdeka Selatan sebelum bertemu dengan narasumber lain di Gedung DPRD DKI di Jalan Kebon Sirih pada siangnya.
Namun, saat penasaran belum pupus, tiba-tiba terdengar ledakan kedua, sekitar 10 menit dari ledakan pertama.
Akan tetapi, ”Dummmm!” Sebuah ledakan yang terjadi pukul 10.40 WIB membuyarkan semua rencana. Getarannya turut dirasakan oleh orang-orang yang sedang lalu lalang dari dan ke Gedung DPRD atau Balai Kota DKI Jakarta. Mereka mendadak berhenti untuk memperhatikan apa yang sedang terjadi. Tengok kanan kiri bertanya dari mana suara ledakan itu berasal.
Spontan saya berlari untuk mencari sumber suara. Saya menduga ledakan itu terjadi di Jalan Agus Salim (Jalan Sabang) atau di Jalan MH Thamrin, 1-1,5 kilometer jauhnya. Namun, saat penasaran belum pupus, tiba-tiba terdengar ledakan kedua, sekitar 10 menit dari ledakan pertama. ”Dummmm,” suaranya datang dari arah yang sama.
Dengan tergopoh-gopoh, saya menyusuri trotoar Jalan Kebon Sirih sambil membenahi tas punggung yang belum tertutup sempurna, memindahkannya ke posisi depan untuk menutupi dada sambil memegang telepon genggam yang siap untuk memotret.
Sambil berlari kecil dan mencari tahu apa yang terjadi, saya mencoba merekam suasana, foto, ataupun video. Namun, usaha itu sia-sia, sebagian besar foto ternyata blur atau kabur.
Tak lama setelah ledakan kedua, makin banyak orang ke luar gedung dan berlari menjauhi sumber ledakan. ”Awas bom, awas booom, awas boooom!” teriak orang-orang yang berlari menjauhi Jalan MH Thamrin melalui Jalan Kebon Sirih.
Ada yang tampak ketakutan, menangis, atau berjalan cepat sambil menelepon untuk mengabarkan situasi. Beberapa di antaranya para pekerja perempuan yang memilih bertelanjang kaki dan menenteng sepatu hak tingginya agar bisa lebih kencang berlari.
Baca juga: 30 Menit yang Menegangkan di Lokasi Ledakan Bom Sarinah
Di tengah kekalutan itu, rupanya ledakan belum berhenti. Kali ini hanya berselang sekitar 5 menit dari ledakan kedua. Makin buyarlah orang-orang di perkantoran sekitar lokasi kejadian.
Dari Jalan Kebon Sirih, saya mendekati lokasi lewat Jalan Sabang, lalu masuk ke kawasan kuliner di ”Gang Senggol” yang menghubungkan Jalan MH Thamrin dan Jalan Sabang sambil melawan ”arus” besar orang-orang yang menjauhi lokasi ledakan.
Sambil mengamati apa yang sedang terjadi, saya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari lokasi bersembunyi yang aman. Bersiap jika situasi makin buruk. Sebab, tak sedikit di antara orang-orang yang berlarian itu berteriak, ”Pelakunya masih ada, pelaku masih hidup, awas ada ledakan lagi. Ayo menjauh saja.”
Sampai ledakan ketiga, saya masih menebak-nebak, ada apa gerangan. Benarkah teroris meledakkan bom bunuh diri? Siapa sasarannya? Pos polisikah, para pengunjung Starbucks, atau Sarinah?
Baca juga: Para Napi Itu Tidur Seperti Kelelawar
Ternyata benar kata orang-orang yang berlari tadi soal potensi ledakan susulan. Dalam jarak yang semakin dekat dengan lokasi, saya mendengar bom keempat, kelima, dan keenam meledak diselingi suara dar-der-dor.
Saat itu, sejumlah polisi sudah tiba di lokasi dan berusaha melumpuhkan pelaku yang masih mondar-mandir di parkiran Starbucks.
Ketika itu terjadi pada rentang pukul 11.00-11.10 WIB, saya tengah berada di ujung Gang Senggol di Kawasan Kuliner Bank Syariah Mandiri di Jalan MH Thamrin. Bersembungi di balik lapak pedagang makanan, jarak saya sekitar 200 meter dari sumber ledakan.
Keselamatan diri
Suasana makin mencekam karena Jalan MH Thamrin mendadak senyap. Jalan menuju lokasi sudah ditutup. Tak ada lagi kendaraan lalu lalang di jalan protokol tersebut selain polisi.
Digerakkan oleh rasa penasaran, saya mencoba ”nongol” ke Jalan MH Thamrin untuk melihat lebih dekat apa yang terjadi di persimpangan Jalan MH Thamrin dan Jalan Wahid Hasyim, persis di depan Starbucks dan Sarinah.
Akan tetapi, beberapa polisi yang datang dengan rompi dan helm antipeluru serta senjata laras panjang dari arah Monumen Nasional melarang semua orang untuk mendekati lokasi, ”Minggir Mas, minggir. Tolong jauhi lokasi. Awas ada peluru nyasar!”
Peringatan itu amat menyentak. Saya mendadak sadar akan risiko tertembak. Dag-dig-dug rasanya diliputi kecemasan. Saya teringat pesan guru-guru jurnalistik saya, ”Tidak ada berita seharga nyawa!” Maka, keselamatan diri adalah yang utama, tak bisa ditawar-tawar. Pastikan diri aman.
Dalam hitungan menit, jumlah polisi yang datang berlipat ganda. Mereka datang dari berbagai arah, seperti ada di mana-mana.
Ada yang bergerak mengepung lokasi, berboncengan dengan trail, berseliweran sambil mengamati orang-orang di sekitar lokasi, atau mengarahkan senjata laras panjang ke kanan atau kiri. Mereka mengantisipasi teroris yang kabur.
Baca juga: Mengobrol Akrab dengan Santana sampai Herbie Hancock
Polisi juga menyisir kawasan di sekitar lokasi. Satu per satu orang yang berada di sekitar lokasi ditanyai identitas dan keperluannya. Tak terkecuali di Gang Senggol. ”Coba tunjukkan ID-nya (identitas pers),” pinta seorang polisi ketika saya bilang sedang meliput.
Polisi kembali meminta semua orang menjauh sebab lokasi belum clear. Bersama beberapa pedagang di kawasan kuliner itu, saya masuk ke tanah kosong di samping Hotel Sari Pan Pacific.
Sebenarnya lokasi ini lebih dekat tempat kejadian, tetapi lahan ini tertutup rapat oleh pagar seng setinggi sekitar 1,5 meter sehingga area dalamnya tidak terlihat dari jalan raya. Pohon dan tanaman liar tumbuh tinggi. Di tempat ini saya merasa lebih aman.
Sambil sesekali mengintip keadaan di luar, saya mencoba melaporkan apa yang saya lihat dan dengar kepada editor di kantor. Namun, selama belasan menit pengepungan oleh polisi, sinyal internet buruk sekali. ”Ah, (jaringan telekomunikasi) diacak nih,” pikirku.
Sekitar pukul 11.30 WIB tak terdengar lagi suara tembakan. Saya melongok ke luar pagar. Ambulans berdatangan dan polisi yang semula berjaga di ujung gang sudah berkurang jumlahnya. Ketika itu, saya memberanikan diri mendekat dan memotret lokasi.
Selain beberapa ambulans yang antre mengangkut korban luka-luka, baik korban maupun terduga pelaku yang tergeletak di jalan, terlihat pula beberapa sepeda motor milik polisi.
Baca juga: Belajar Arti Persaudaraan di Pulau Terluar
Pos polisi di seberang Sarinah rusak parah. Sementara mobil yang sempat menjadi ”tameng” polisi saat tembak-tembakan, kempes ban depannya, kemungkinan besar tertembak.
Sejak saat itu, suasana makin tenang. Polisi mengisyaratkan situasi sudah terkendali sehingga penjagaan di sekitar lokasi pun makin longgar. Satu per satu rombongan pejabat dan pimpinan lembaga mulai datang meninjau lokasi kejadian.
Setelah melihat dari dekat sisa-sisa kerusakan, mendengar keterangan saksi atau korban, mereka dikerubuti kamera, mik, dan perekam untuk memberikan keterangan pers.
Menurut keterangan polisi, aksi teror dan serangan bersenjata siang itu mengakibatkan 24 orang luka-luka dan 7 orang tewas. Lima di antara yang tewas diduga pelaku teror. Ada empat warga negara asing terluka, yakni dari Belanda, Austria, Jerman, dan Aljazair.
Baca juga: Tiga Minggu Mengejar Michel Platini
Pengalaman Yuniadhi Agung:
Setiap tiba 11 September 2001, saya selalu teringat karya legenda jurnalis foto dunia, James Nachtwey. Rangkaian foto robohnya dua menara World Trade Center di New York menjadi rekaman sejarah terjadinya peristiwa yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh manusia.
Salah satu foto memperlihatkan petugas pemadam kebakaran tengah mencari korban di reruntuhan dengan latar belakang tonggak bangunan yang tersisa. Debu tebal akibat bangunan yang roboh masih memenuhi udara dan sebagian memantulkan sinar cahaya matahari yang masuk ke tempat tersebut.
Bagi saya yang juga seorang fotografer, karya Nachtwey ini berbicara lebih dari seribu kata, tak terungkapkan. Secara komposisi fotografi, penempatan obyek utama, yakni petugas pemadam kebakaran di latar gambar, sangat sempurna.
Baca juga: Menjelang 20 Tahun Serangan Teroris 9/11 di Amerika Serikat
Ini adalah buah jam terbang di lapangan selama bertahun-tahun, bukan sekadar hasil instan kursus yang membahas teori-teori fotografi.
Nachtwey adalah life goal sebagian besar jurnalis foto. Ia berkelana hingga ke ujung dunia, mewartakan cerita melalui foto, dan memberikan makna terhadap peristiwa. Semua itu juga impian saya.
Terlebih, Nachtwey adalah fotografer yang hokinya ”maksimal”. Bagaimana tidak? Hari-hari Nachtwey dalam satu tahun kalender dihabiskan untuk mengabadikan peristiwa politik, perang, dan masalah sosial yang muncul di berbagai belahan dunia.
Dia bisa bertahun-tahun berpetualang dan tidak ”mudik” ke New York. Tiba-tiba ketika pulang ke kampung halaman, Nachtwey bisa mendapatkan foto yang ”jatuh dari langit”, peristiwa besar yang diimpikan banyak jurnalis foto di dunia untuk ikut mengabadikannya.
Kecemburuan akan ”keberuntungan” Nachtwey mendapatkan foto luar biasa itu memotivasi saya yang kala itu belum bekerja sebagai jurnalis foto. Kelak jika saya menjadi jurnalis, saya juga harus mendapatkan momen seperti yang difoto Nachtwey. Rupanya, dua tahun kemudian saya mengalami kejadian serupa, meliput serangan teror.
Hari Selasa, 5 Agustus 2003, di bawah terik matahari, motor Honda Astrea Prima yang saya kendarai melintas di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat. ”Ngukur aspal” berkeliling kota Jakarta adalah rutinitas saya sebagai fotografer harian Kompas yang ditugasi meliput peristiwa perkotaan.
Sebuah berita yang mampir di telinga membuat saya cepat-cepat menepikan motor di tepi jalan. Siaran radio Elshinta yang saya pantau lewat earphone mengabarkan baru saja terjadi ledakan di Hotel JW Marriott, Jakarta.
Kala itu, radio menjadi sumber berita pertama bagi saya dan mungkin juga jurnalis lain. Belum ada teknologi telepon pintar, aplikasi percakapan grup, atau media sosial yang bisa berbagi informasi dengan cepat dan sekejap seperti saat ini. Komunikasi hanya bisa melalui panggilan telepon dan kiriman SMS.
Informasi Radio Elshinta berdasarkan laporan pandangan mata warga yang berada di sekitar Hotel JW Marriott. Yang saya ingat, pendengar itu melaporkan ada ledakan, kondisi hotel yang berantakan, banyak asap mengepul, dan puluhan petugas yang berlalu lalang.
Baca juga: Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN
Saya terdiam sebentar lalu menghitung jarak. Dari jembatan Lima menuju Hotel JW Marriott di kawasan kuningan bisa dicapai 30 menit dalam keadaan normal. Saya bergegas memacu sepeda motor usang saya semaksimal mungkin.
Rute Jembatan Lima-Kuningan via Grogol melewati jalan yang cukup lebar sehingga tidak banyak gangguan di perjalanan. Di tengah laju motor yang penuh ”nafsu membara” untuk segera tiba di lokasi, saya membayangkan karya foto Nachtwey di WTC. ”Ah, mungkin ini saatnya saya bisa memotret sebuah peristiwa besar,” batin saya.
Semangat meliput mulai membaur dengan rasa sedih dan takut. Saya mengutuk apa yang ada di depan mata.
Sekitar 20 menit kemudian, saya sudah memarkir sepeda motor di sekitar Hotel JW Marriott. Terlihat sudah banyak jurnalis yang mengabadikan peristiwa yang ternyata disebabkan oleh ledakan bom tersebut.
Meski peristiwa terjadi hampir satu jam sebelumnya, jurnalis masih mudah mendekat ke lokasi ledakan. Saya memotret apa yang terlihat, mulai dari pecahan kaca di gedung-gedung perkantoran sekitar hotel hingga reruntuhan bangunan.
Ini adalah pengalaman visual pertama saya tentang serangan teroris. Namun, perlahan semangat meliput mulai membaur dengan rasa sedih dan takut. Saya mengutuk apa yang ada di depan mata. Sebuah pemandangan yang memuakkan, jahat sekali pelakunya.
Selama beberapa saat saya mendapatkan kemudahan mengakses lokasi hingga kemudian polisi mulai membuat perimeter dan meminta para jurnalis dan orang yang tidak berkepentingan menjauh.
Mereka memasang garis pembatas sehingga membuat jarak pandang wartawan untuk memotret kian terbatas. Untunglah, foto yang saya peroleh rasanya sudah cukup untuk mendokumentasikan kondisi setelah ledakan bom.
Saya tidak mendapatkan foto korban bom yang sedang dievakuasi. Namun setelah melihat kembali foto-foto melalui layar monitor komputer di kantor, ada beberapa bingkai yang memperlihatkan satu korban meninggal di antara reruntuhan material gedung.
Sambil mengedit foto, saya merenungkan perilaku saya di lapangan saat memotret peristiwa bom tadi. Saya merasa konyol karena maju sangat dekat dengan lokasi bom, menyelip di antara penjagaan polisi demi mendapatkan gambar terbaik.
Saya kemudian berpikir, bagaimana jika masih ada ledakan susulan bom di tempat itu? Besar kemungkinan saya akan turut menjadi korban. Terkadang keinginan untuk mendapatkan foto mengalahkan logika dan kontrol diri. Padahal, tidak ada harga foto yang semahal keselamatan diri.
Saya kemudian lanjut berpikir, bisa jadi sebenarnya Nachtwey tidak pernah merasa berbangga diri saat mendapatkan foto bersejarah robohnya gedung WTC itu.
Baca juga: ”Konser Neraka”Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim
Manusia memiliki hati nurani yang semestinya mampu mengimbangi emosi dan logika. Mengingat peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott tiba-tiba membuat perut saya terasa mual. Apalagi Nachtwey yang mengabadikan peristiwa superdahsyat yang menimpa gedung WTC. Mungkin ini terkesan sangat klise, tapi jurnalis juga manusia.
Setelah meliput ledakan bom di Hotel JW Marriott, saya berharap tidak ada lagi peristiwa serupa di Indonesia. Sayangnya, pada tahun-tahun berikutnya saya kembali harus meliput berbagai kejadian serangan bom, seperti ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004), bom Bali 2 (2005), bom di Hotel Ritz-Carlton Jakarta (2009), dan bom Thamrin Jakarta (2016).
Negeri kita jadi seperti akrab dengan kekerasan. Foto teror di WTC yang dibuat oleh James Nachtwey menjadi pengingat bagi saya, meliput serangan teror tidak semudah memencet tombol kamera.