Para Napi Itu Tidur Seperti Kelelawar
Ketika tengah berbincang mengenai keadaan sel, mata saya spontan tertuju ke arah lapangan. Tampak para lelaki itu memandangi kami dengan sorot tajam lalu perlahan berjalan mendekat. ”Mereka ke sini. Bagaimana kita, Pak?”
Kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas) alias penjara sudah terjadi sejak lebih dari 15 tahun lalu di Tanah Air. April 2007, ketika berkunjung ke kamar tahanan (sel) di Lapas Pemuda Kelas II di Tangerang, Banten, saya melihat kamar yang seharusnya diisi maksimal delapan orang, dijejali oleh 20-an tahanan dan narapidana. Akibatnya, mereka harus tidur berdesakan. Demi bisa istirahat, di antara mereka harus tidur bergelantungan bak kelelawar.
Di lantai ruangan berukuran 12-an meter persegi itu terdapat banyak tas, kardus, dan bungkusan dari kain berisi baju dan makanan milik para penghuni. Sementara bagian atas ruangan tergantung tiga ”hammock” dari kain sarung. Dua di antaranya bertumpuk. Bisa jadi karena kain sarung itu hanya bisa diikat dengan kuat pada besi di bagian itu, maka dua hammock dipasang di tempat yang sama, hanya saja beda ketinggian.
”Untuk duduk saja, sudah susah, apalagi tidur. Supaya bisa tidur, ada yang memilih tidur di atas seperti kelelawar begitu,” tutur seorang petugas lapas yang mengantar saya dan Abdul Rosyid yang waktu itu koresponden stasiun televisi SCTV. Kala itu, kami mendapat kesempatan masuk ke sel Lapas Pemuda.
Demi bisa istirahat, di antara mereka harus tidur bergelantungan bak kelelawar.
Dari ujung ruangan, saya mencium bau kurang sedap karena ventilasi yang kurang, ditambah banyaknya aneka jenis barang. Beruntung di dalam sel tak ada kamar mandi dan WC sehingga tidak makin menambah penuh ruangan. Kamar mandi dan WC disediakan di tempat lain.
Namun, menurut Kepala Lapas Pemuda Tangerang saat itu, Kosod Purwanto, jumlah semua kamar mandi dan WC di lapas tersebut hanya 30 buah.
Padahal, jumlah semua penghuni ada 3.700 orang, tergantung banyaknya napi dan tahanan titipan dari kantor kepolisian. Kapasitas lapas itu seharusnya hanya 800 orang, artinya penghuni lapas sudah lebih dari 463 persen dari kapasitas lapas.
Terbayang oleh saya kesengsaraan yang dirasakan para tahanan (titipan) dan napi yang sekarang disebut ”warga binaan” di lapas tersebut. Mencari tempat untuk tidur saja susah, masih ditambah untuk ke kamar mandi, mereka harus antre lama.
Tak heran bila mesin air beroperasi 24 jam tanpa henti. Saya terdiam karena syok melihat kondisi sel dan teringat keterangan kepala lapas soal keterbatasan sarana bagi para penghui lapas. Tak banyak yang saya tanyakan kepada sipir, mata saya lebih banyak menjelajah sel di hadapan saya.
Siang itu, para penghuni Lapas Pemuda Tangerang yang semua laki-laki sedang berada di luar sel, tepatnya di halaman lapas yang cukup luas. Tempat itu tampaknya merupakan oase paling membahagiakan bagi mereka yang lebih sering terkurung dalam sel sempit.
Baca juga : Pelajaran Berharga dari Kebakaran Lapas Tangerang
Menurut petugas, setiap pagi dan sore, para penghuni sel mendapat waktu berada di area lapangan tersebut untuk menghirup udara segar.
Para lelaki yang saya perkirakan berjumlah 70-an orang tersebut berada sekitar 15 meter dari kami. Di antara mereka ada yang duduk di rumput, berdiri, atau mengobrol dengan sesama penghuni.
Meski jarak kami sebenarnya agak jauh, saya merasa tidak nyaman. Apalagi sebelum masuk sel, petugas lapas mengingatkan agar nanti ekstra hati-hati. Sebab, semua tahanan dan napi penghuni lapas adalah laki-laki, sementara saya perempuan.
Baca juga : Mengobrol Akrab dengan Santana sampai Herbie Hancock
Dikawal sipir
Semula, saya tak terlalu memikirkan saran petugas lapas sampai kemudian memasuki area untuk tahanan dan warga binaan. Dengan hati mantap, saya mengikuti petugas yang memandu kami. Namun, begitu sampai di deretan sel, langkah saya terhenti di depan salah satu pintu masuk sel.
Tiba-tiba muncul perasaan, ada sesuatu yang menahan langkah dan tangan ketika hendak memasuki sel tersebut, padahal sipir bersenjata laras panjang ada di samping kami.
Perasaan itu tak hanya menghinggapi saya, tetapi juga menghinggapi Rosyid yang mempunyai nama panggilan Ocid. Seperti mendapat komando, kami berdua bahkan tak berani mengabadikan kondisi sel dalam bentuk foto atau video. Padahal kamera sudah saya siapkan di balik jaket.
Baca juga : Mimpi Para Korban Kebakaran Lapas Tangerang Sebelum Maut Menjemput
Keinginan dari awal bisa mengabadikan isi sel dan deretan sel, termasuk penghuni yang sedang ”mandi” matahari, seolah luruh dengan sendirinya. Akhirnya, kami hanya bisa mengamati lewat pandangan mata. Sekitar 10 menit kami berada di deretan sel yang tak jauh dari pintu masuk lapas.
Ketika tengah berbincang mengenai keadaan sel, mata saya spontan tertuju ke arah lapangan. Tampak para lelaki itu memandangi kami dengan sorot tajam, lalu pelan-pelan berjalan mendekat.
”Mereka ke sini Pak. Gimana kita, Pak?” tanya saya ke bapak sipir yang mengantar sekaligus mengawal. Si bapak melihat ke arah lapangan. ”Sebaiknya kita segera kembali saja Mbak. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada kami,” jawab pak sipir setengah berbisik.
Baca juga : Belajar Arti Persaudaraan di Pulau Terluar
Saat itulah baru saya sadari, perasaan tak nyaman yang membatalkan keinginan masuk sel dan mengambil foto itu rupanya datang dari tatapan para lelaki itu ke arah kami. Tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri dan muncul ketakutan akan terjadi sesuatu yang tak kami inginkan.
”Ayo Pak, kita segera pergi. Ayo Cid, cukup ya. Tapi, kita enggak usah lari, kita jalan cepat saja ke pintu kita masuk tadi,” kata saya setengah berbisik ke sipir dan Ocid. Saya berpikir jika kami lari, pasti akan dikejar dan sudah pasti kalah menghadapi mereka.
Segera kami berjalan cepat tanpa berani menoleh ke belakang. Begitu pak sipir membuka gembok pintu pertama dan kami masuk area aman, hati saya lega sekali. Itulah pertama kali saya merasakan ketakutan seperti itu. Satu-satunya ketakutan dan liputan paling berisiko sepanjang umur hidup saya. Saya lihat Ocid pun merasa lega.
Baca juga : Naas Datang Jelang Hirup Kebebasan
”Tadi saya khawatir mereka akan menyerang Mbak. Maklum, mereka jarang melihat perempuan. Biarpun saya bawa senapan, tapi kalau sendirian menghadapi orang sebanyak itu, saya pasti tak mampu,” ujar sipir tersebut berterus terang. Ternyata kekhawatiran dia sama dengan apa yang saya pikirkan.
Kami bertiga bergegas menuju pintu kedua yang juga digembok, lalu menuju pintu ketiga yang berada di dekat ruangan kalapas.
Di sepanjang perjalanan sejauh 70-an meter ke arah pintu ketiga, kami hanya berjalan lurus, tak menengok ke arah kiri, tempat para penghuni lapas berada. Setelah duduk, minum, dan menenangkan diri, kami pun pamit meninggalkan tempat tersebut.
Baca juga : Tiga Minggu Mengejar Michel Platini
Tragedi
Sudah menjadi pengetahuan umum, sel tahanan dan penghuninya merupakan obyek bangunan di dalam lapas yang tak mudah dimasuki pihak luar, termasuk wartawan.
”Keberuntungan” saya bisa melihat kondisi sel dalam lapas datang setelah terjadinya tragedi kemanusiaan di dalam lapas. Waktu itu, 49 tahanan titipan dan napi meninggal dalam kurun waktu tak sampai empat bulan.
Mereka yang meninggal pada Januari-awal April 2007 adalah penghuni Lapas Pemuda Kelas II Tangerang dan Lapas Dewasa Kelas I Tangerang yang menjadi tempat kejadian kebakaran pada Rabu (8/9/2021).
Kondisi dalam sel yang sudah penuh sesak waktu itu membuat seorang tahanan di Lapas Pemuda mengaku, ia dan teman-temannya mau tak mau harus tidur bersama mereka yang sakit.
Menurut pihak Kementerian Hukum dan HAM waktu itu, para tahanan dan napi tersebut mayoritas sudah menderita HIV sejak sebelum masuk lapas. Ya, sebagian besar tahanan dan napi yang meninggal terlibat kasus narkoba. Lebih dari separuh meninggal di dalam lapas. Sebagian kecil meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang.
Kondisi dalam sel yang sudah penuh sesak waktu itu membuat seorang tahanan di Lapas Pemuda mengaku, ia dan teman-temannya mau tak mau harus tidur bersama mereka yang sakit.
Ia bersama delapan tahanan berdesak-desakan di sel berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter. Oleh karena terpaksa hanya memikirkan diri sendiri, ia sampai tak tahu kalau kawan yang tidur di sebelahnya ternyata sudah meninggal.
Baca juga : Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN
Kondisi tersebut membuat Tasril Jamal, anggota Komisi I DPRD Banten, meninjau Lapas Pemuda Tangerang. Ia menyaksikan kondisi dan fasilitas sel yang sangat terbatas dan memprihatinkan itu.
Keadaan ruang tahanan seperti itulah yang menurut Tasril membuat kondisi para tahanan titipan dan napi yang sedang sakit semakin parah. Apalagi fasilitas perawatan di klinik lapas juga amat terbatas.
Begitu mendengar Tasril bertemu Kosod, saya dan Ocid menunggu di depan lapas untuk menanyakan hasil peninjauannya, sekaligus minta ikut masuk ke dalam sel.
Baca juga : Dengan Tubuh Terbakar, Pasien Itu Terus Kehausan
Kami bertemu dengan Tasril di ruang kerja Kosod. Setelah wawancarai Tasril, kami meminta informasi lebih detail tentang kondisi lapas kepada Kosod, sekaligus minta diizinkan melihat kondisi di dalam lapas.
Semula, Kosod tak mengizinkan karena tidak ada surat izin dari atasannya. Tasril yang anggota DPRD Banten dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu kemudian meminta izin ke Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Banten agar saya dan Ocid boleh melihat kondisi sel.
”Biar wartawan tahu sendiri, seperti apa sebenarnya kondisi di dalam lapas,” kata Tasril waktu itu.
Baca juga : ”Konser Neraka” Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim
Ia berharap, dengan adanya berita mengenai kondisi lapas secara apa adanya, pemerintah mau segera membenahi lapas agar tak merugikan para tahanan titipan dan napi yang menjalani hukuman di sana. Setelah mendapat izin dari atasannya, Kosod memfasilitasi kami masuk ke lapas yang ia pimpin.
Pengalaman mencekam berada di dalam Lapas Pemuda tersebut sudah 14 tahun berlalu, tetapi kondisi tahanan dan napi tak kunjung membaik. Janji pemerintah untuk membenahi lembaga pemasyarakatan dan menambah jumlah lembaga pemasyarakatan belum semua terwujud.
Seperti bisa ditebak, para penghuni lapas, yakni narapidanalah yang kemudian harus menjadi korban ketika terjadi hal mengerikan seperti kebakaran pada Rabu lalu.