Mengobrol Akrab dengan Santana sampai Herbie Hancock
Mewawancarai tokoh-tokoh hebat di dunia musik, kita tidak sekadar bekerja sebagai jurnalis, tetapi juga belajar dari kematangan sang tokoh. Bukan hanya soal musik, melainkan juga tentang kehidupan secara umum.
”When the power of love replace the love of power: peace -- Ketika kekuatan cinta menggantikan cinta akan kekuasaan: itulah perdamaian,” kata-kata gitaris Carlos Santana itu saya kutip sebagai lead tulisan Sosok yang dimuat harian Kompas edisi 17 Februari 2011.
Sehari sebelumnya, yaitu pada 16 Februari, Kompas mendapat kesempatan wawancara khusus dengan Santana via telepon. Wawancara difasilitasi The Java Festival Production selaku penyelenggara Java Jazz di kantornya di Simprug Gallery, Jakarta Selatan.
Santana sedang berada di New York, Amerika Serikat, tetapi suaranya terdengar cukup jernih. Wawancara dilakukan dalam rangka kehadiran Santana dalam perhelatan The Jakarta International Java Jazz Festival, Maret 2011.
Santana mendapatkan jadwal tampil pada 3 Maret.
Dan sangat kebetulan lagi, penghargaan diserahkan di panggung sesaat sebelum Santana tampil.
Kebetulan, pada malam itu harian Kompas mendapatkan penghargaan dari penyelenggara Java Jazz sebagai media massa yang berkontribusi pada penyelenggaraan Java Jazz. Kebetulan pula saya ditugasi oleh pimpinan untuk menerima penghargaan tersebut mewakili harian Kompas. Dan sangat kebetulan lagi, penghargaan diserahkan di panggung sesaat sebelum Santana tampil.
Sekitar setengah jam sebelum penyerahan, saya diantar panitia ke belakang panggung. Di sana ternyata Santana juga sudah siap-siap tampil. Dia sudah menyandang gitar. Saya sempat menyapa sang gitaris, dan dia membalas sekadarnya.
Petugas kemudian menyilakan saya bersiap-siap di sisi kanan panggung. Sambil menunggu isyarat dari panitia, saya memberanikan diri membuka pembicaraan dengan Santana. Dia tampak sedang berkonsentrasi penuh untuk naik panggung. Penonton sudah sangat riuh mengelu-ngelukan sang gitaris.
”Saya ingat kita pernah bertemu di belakang panggung seperti ini di Melbourne tahun 1996,” kata saya.
Santana agak heran. Saya langsung sambung. ”Anda saat itu menunjukkan kepada kami track milik Miles Davis yang belum dirilis, dan Anda mengisinya dengan gitar Anda untuk album rekaman....”
Kali ini dia menatap saya, ”Oh yeah, saya ingat track itu…,” kata Santana.
Pembawa acara sudah muncul di panggung, dan arena konser semakin riuh. Rasanya deg-degan banget saat harus menerimakan penghargaan mewakili Kompas di tengah massa yang sudah cukup lama menunggu Santana. Takut mendapat ”huuu...” dari penonton.
Untungnya, kekhawatiran itu tidak terjadi. Saya segera angslup ke belakang panggung begitu terima penghargaan. Dan jreng, Santana langsung in action dan arena pun menggemuruh dalam sorak-sorak bergembira.
Laporan tentang Santana dan perhelatan Java Jazz itu dimuat di halaman pertama Kompas, edisi Minggu, 4 Maret 2011, di halaman pertama pula. Judul berita merupakan kutipan kata-kata Santana di panggung, ”Jakarta, Kaulah Cahaya dan Cinta”.
Baca juga: Belajar Arti Persaudaraan di Pulau Terluar
Kenangan Melbourne
Empat tahun sebelumnya, Santana berkonser di Flinders Park, Melbourne, tepatnya pada 2 Mei 1996. Kebetulan saya diundang oleh label Polygram untuk meliput konser tersebut. Konser digelar sebelum Santana tampil di Jakarta Convention Center, Jakarta, pada 9 Mei 1996.
Pihak Polygram, melalui rekan Danny Tumiwa di Jakarta, mengatur wawancara dengan Santana. Saya diminta menghubungi Kevin Chislom, Road Manager Santana, yang akan mengatur wawancara di Melbourne. Tidak mudah menghubungi dia karena saat itu kami belum menggunakan telepon seluler.
Satu-satunya cara hanyalah bertemu langsung, atau menulis pesan tertulis dan menitipkannya kepada resepsionis hotel tempat rombongan artis menginap.
Setiba di Melbourne pagi hari, kami langsung ke hotel bintang lima di Flinders Park.
Saya tinggalkan pesan kepada road manager tentang rencana peliputan dan wawancara khusus Santana. Siangnya, saya kembali menemui road manager dan kali ini berhasil ketemu. Kevin Chislom tidak banyak bicara tetapi menepati janji.
Dia memberi ID card peliputan, stiker khusus all access yang harus ditempel di baju saat peliputan. Dengan sticker ini, wartawan bisa masuk ke belakang panggung dan ruang artis. Kami diminta bersiap di arena konser di Flinders Park, dua jam sebelum konser.
Sangat profesional kerja penyelenggara. Saya siap di venue dua jam sebelum konser. Beberapa saat kemudian, seorang petugas mengajak wartawan yang telah terakreditasi masuk ke dalam Gedung.
Baca juga: Tiga Minggu Mengejar Michel Platini
Sejam sebelum konser kami diantar menemui Santana. Dia sedang menyelesaikan makan malam di ruang artis yang terletak di bawah arena stadium. Di sana ada Kevin Chislom yang meminta kami menunggu. ”Anda punya waktu sepuluh menit wawancara,” katanya.
Santana orangnya ramah, dan tanpa buang waktu kami langsung ngobrol. Sedikit basa-basi saja sebagai perkenalan. Belajar dari wartawan senior, sebelum memulai wawancara, biasanya diawali dengan sedikit pujian atau pernyataan yang membuat narasumber nyaman.
Belajar dari wartawan senior, sebelum memulai wawancara, biasanya diawali dengan sedikit pujian atau pernyataan yang membuat narasumber nyaman.
Saya mengawali dengan pernyataan bahwa bagi penggemarnya, Santana itu bukan hanya musisi, melainkan subgenre musik. Dia kaget tapi tampak senang. Kemudian, pintu masuk obrolan dibuka tentang tokoh yang dikagumi Santana, yaitu legenda jazz Miles Davis. Santana bersemangat bercerita tentang musiknya dan Miles sebagai inspirasinya. ”Miles (Davis) is big ocean, I am just a swimming pool ha-ha...,” kata Santana.
Dari situ obrolan mengalir dan wawancara yang semula cuma diberi waktu 10 menit, ternyata berlangsung sampai 30 menit. Itu pun masih ditambah bonus. Santana bercerita tentang track rekaman Miles Davis yang belum selesai dibuat. Santana ingin memberi isian track tersebut dengan gitarnya. Ia memperdengarkan track itu dan memainkan gitar langsung di depan kami.
Baca juga: Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN
Tokoh-tokoh dunia
Perhelatan musik Java Jazz adalah arena bagi wartawan untuk bisa memburu musisi jazz kelas dunia. Biasanya, saya rajin nongkrong di hotel tempat para artis menginap. Ketika Java Jazz digelar di Jakarta Convention Center, artis menginap di Hotel Hilton yang kemudian berganti nama menjadi The Sultan Jakarta.
Saat Java Jazz ganti dihelat di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, artis menginap di Hotel Borobudur. Di sanalah saya bisa bertemu tokoh jazz Herbie Hancock, Sergio Mendes, Maria Tania, Jamie Cullum, Roy Hargrove, George Benson, Chick Corea, dan lainnya.
Suatu petang pada 2 Maret 2005, saya melihat Tania Maria sedang melenggang di lobi Lagoon Tower, Hilton. Maria Tania adalah penyanyi dan pianis jazz asal Brasilia yang pada era 1980-an terkenal dengan lagu ”Come with Me”.
Dengan kata kunci ”Come with Me”, saya menyapa dia untuk sekadar menunjukkan bahwa saya wartawan yang akan meliput penampilan di Java Jazz. Saya katakan bahwa lagu ”Come with Me” sudah sangat ditunggu penggemarnya di sini. Itu semacam komplimen agar saya ”dapat muka”.
Maria Tania tertawa dan mengatakan bersedia ketika saya mengajukan niat untuk wawancara. Obrolan itu kemudian menjadi tulisan berjudul ”Bersatu dalam Musik Bersama Tania Maria” dan dimuat di harian Kompas, 4 Maret 2005, di rubrik box atau Sosok.
”Pada konser saya di mana-mana, orang selalu menunggu ’Come with Me’. Saya sendiri sudah tak sabar untuk memainkannya di Jakarta. Saya ingin melihat mereka gembira!” kata Tania Maria yang saya kutip dalam tulisan.
Baca juga: ”Konser Neraka” Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim
Sergio Mendes
Yang agak istimewa adalah musisi Brasilia, Sergio Mendes, yang dua kali tampil di Java Jazz, yaitu pada tahun 2007 dan 2017. Pada dua kali kehadiran itu, saya dua kali mewawancarai dan menulis sosok Mendes. Dia sangat terkenal di sini pada era 1980-an ke atas lewat lagu ”Mas Que Nada”, ”Never Gonna Let You Go” dan lainnya.
Pada tahun 2007 saya bertemu dia dalam jumpa pers di Hilton. Karena kurang puas, saya melanjutkan dengan bincang-bincang sambil makan minum seusai konferensi pers.
”’Mas Que Nada’ itu lagu yang magis. Lagu itu populer tahun 1966, dan tahun lalu (2006) meledak lagi bersama Black Eyed Peas,” ujar Sergio Mendes dalam obrolan di Lagoon Tower, Hotel Hilton, 28 Februari 2007.
Ucapan itu saya kutip dalam tulisan di Kompas edisi 2 Maret 2007. Yang ia maksud magis adalah angka 6 pada tahun 1966 dan 2006, plus usia Mendes saat itu yang tepat 66 tahun.
Kesempatan berikutnya bertemu Mendes adalah saat perhelatan Java Jazz tahun 2017 di arena PRJ, Kemayoran. Saat itu Kompas mendapat jadwal wawancara khusus dengan Mendes di Hotel Borobudur Jakarta.
Saya bersama rekan pewarta foto Raditya Helabumi cukup leluasa ngobrol meski dengan waktu yang dibatasi karena ada media lain yang akan wawancara khusus.
Baca juga: Dari Lapangan Berakhir di Ruang Perawatan
Ada dua lagu yang pasti dibawakan Mendes dan kawan-kawan pada setiap konser grupnya, yaitu lagu goyang ”Mas Que Nada”, dan lagu cinta romantis ”Never Gonna Let You Go”. Lagu ini bisa membuat pasangan penonton ”hanyut” di tengah konser.
”Itu lagu cinta dahsyat dan jadi hits di mana-mana di dunia, termasuk Indonesia. Orang yang mendengarnya akan merasa nyaman, tenteram, dan bahagia. Melodinya sangat kuat,” kata Mendes seperti saya tulis di Kompas, 4 Maret 2017, dengan judul ”Musik, Cinta, dan Sukacita Menyatukan Kita”.
Lagu itu pula yang disuguhkan Mendes sewaktu tampil di Nusa Dua, Bali, 31 Desember 1993. Pada detik-detik peralihan tahun, ”Never Gonna Let You Go” mengalun, dan penonton pun berangkulan.
Herbie Hancock
Kesempatan yang juga sangat saya tunggu adalah bertemu Herbie Hancock yang hadir di Java Jazz pada tahun 2012. Dia legenda jazz yang ikut mewarnai perjalanan sejarah jazz. Herbie semula adalah sideman, atau musisi, pianis, dalam grup pimpinan Miles Davis.
Seperti kebanyakan orang-orangnya Miles, Herbie tumbuh sebagai pembaru jazz. Lagunya yang kemudian menjadi ”lagu wajib” jazz adalah ”Cantaloupe Island”, ”Watermelon Man”, ”Maiden Voyage”, dan ”Chameleon”.
Di balik kebesaran namanya, sosok Herbie sangat bersahaja dan ramah senyum dengan cara berbicara yang santun. ”Jazz melatih kita untuk saling mendengar dan menghormati,” Kata Herbie Hancock, dalam wawancara khusus dengan Kompas di ruang Lombok, Hotel Borobudur, Jakarta, Maret 2012.
Baca juga: Berbalut Rompi Antipeluru, Pengalaman Saya Selama di Kota Kabul
Wawancara diatur panitia Java Jazz yang akomodatif dengan media massa. Saya berangkat menemui Herbie bersama pewarta foto Yuniadhi Agung. Menurut fotografer berinisial MYE itu, Herbie cukup menyenangkan untuk difoto, tidak keberatan diarahkan posenya.
Mewawancarai tokoh sehebat Herbie Hancock, kita tidak sekadar bekerja sebagai jurnalis, akan tetapi juga belajar dari kematangan sang tokoh. Bukan hanya soal musik, melainkan juga tentang kehidupan secara umum. Saya kutipkan pandangan Herbie tentang musik yang dimuat di harian Kompas, 2 Maret 2012.
”Musik adalah jalan untuk berbagi pengalaman hidup dengan cara kreatif. Dunia memerlukan kehidupan kreatif, suatu kreativitas yang muncul dari bagian terdalam dari diri kita masing-masing. Kreativitas yang menumbuhkan kebijaksanaan, semangat hidup, dan kasih sayang,” kata Herbie.