Tiga Minggu Mengejar Michel Platini
Tiga minggu bolak-balik ke kantornya di Champs-Elysees, sekretaris judes selalu menjawab Platini sibuk, banyak acara, atau ke luar kota. Penantian panjang terbalaskan dengan wawancara yang cair oleh sapaan, ”Bonjour!”
Bermula dari sapaan biasa, ”Bonjour!” Dia balas ”Comment ça va?” Dan berlanjut dengan tanya, dari mana orang Indonesia seperti saya bisa ngomong Perancis. Begitulah, sepuluh menit pertama wawancara saya dengan Michel Platini, praktis malah saya yang diwawancarai. Bukan saya yang mewawancarai dia duluan.
”Saya belum pernah ke Indonesia. Dan tidak kenal Indonesia. Namun, musim dingin nanti, tepatnya 20 Desember (1995), saya dan teman-teman tim lama Perancis ingin datang berlibur ke Bali. Alain Giresse, Jean Tigana, Dominique Rocheteau, dan pemain-pemain tua lainnya ikut dalam rombongan tersebut. Juga (bintang tenis 1990-an) Yannick Noah...,” kata Platini kepada saya di kamar kerjanya di 90 Avenue des Champs-Elysees, Paris, akhir Februari 1995.
Sepuluh menit pertama wawancara, mengalir cerocosan Platini dalam bahasa Perancis. Asyik sekali, lantaran terasa tiada sekat dalam wawancara. Itu semua gara-gara terpancing jurus bonjour!, comment ça va, dan je vais bien! ketika saya masuk ruang kerjanya.
Tanpa kesulitan memintanya, Platini pun mau dipotret lebih dulu dengan pose seolah membaca koran Kompas. Sekali lagi, itu semua gara-gara jurus pembuka ice breaking ”bonjour” dan ”comment ça va”, serta ”je vais bien”.
Foto Platini tengah ’membaca’ koran Kompas serta wawancara khusus dengannya kemudian dimuat panjang lebar di halaman I Kompas pada Rabu, 8 Maret 1995. Aduh, senangnya....
”Saya belajar Perancis di salah satu kota kecil di Jawa Tengah,” kata saya kepada Platini.
”Mon professeur etait Hollandais, mais toujours il parlait Français avec nous, dans la classe (Guru saya orang Belanda tulen, tetapi dia selalu berbahasa Perancis di kelas kami),” lanjut saya yang senang mendapat kesempatan ngoceh, apalagi ditanya seorang bintang kondang sepak bola. Kapan lagi....
Dan memang, sesungguhnya kebiasaan saya ngomong Perancis, ya, gara-gara guru bahasa Perancis saya di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1970-an. Ia seorang bruder atau biarawan Katolik asal Belanda, yang fanatik sekali berbahasa Perancis. Namanya Bruder Van Dooren.
Saat masih bermain, Platini disebut-sebut sebagai salah satu pesepak bola Eropa terhebat sepanjang masa.
Selama tiga tahun, setiap kali mengajar bahasa Perancis di kelas kami, ia tidak pernah mengucapkan satu kata pun dalam bahasa Indonesia. Itu sebabnya, sejak awal pelajaran, semua muridnya harus mengerti sendiri satu per satu arti kata yang ia ucapkan dalam bahasa Perancis. Kami diajar bahasa itu seperti bayi baru belajar bicara....
Ketika saya mewawancarai Platini pada 23 Februari 1995, ia yang waktu itu berusia 40 tahun sudah tidak bermain lagi. Ia baru saja ditunjuk sebagai Ketua Penyelenggara Piala Dunia 1998 Perancis.
Saat masih bermain, Platini disebut-sebut sebagai salah satu pesepak bola Eropa terhebat sepanjang masa. Tak hanya membawa Perancis menjadi juara Piala Eropa 1984, ia juga mengantar klubnya, Juventus Italia, menjuarai Piala Champions 1985. Tiga kali Platini menjadi pesepak bola terbaik Eropa, yakni pada 1983, 1984, dan 1985.
Baca juga : Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN
Wawancara dengan Platini berlangsung empat mata selama 50 menit di ruang kerjanya. Padahal, saya hanya meminta kesempatan wawancara selama 10 menit. Semua itu terjadi setelah proses yang sangat panjang, tiga minggu penantian.
Selama kurun waktu tersebut, saya harus hilir mudik ke kantornya di Champs-Elysees dan selalu dijawab oleh sekretarisnya yang lumayan judes: dia sibuk, banyak acara, ke luar kota. Aku bilang, aku datang jauh-jauh dari Indonesia. Jawaban pun selalu, ”Dia sibuk, banyak acara, ke luar kota.” Persis mesin penjawab di telepon.
Dalam upaya terakhir untuk wawancara khusus dengan Platini, bahkan saya dikerjain lagi oleh sang sekretaris. Katanya, saya harus memberi tahu lebih dulu Persatuan Sepak Bola Perancis (PSSI-nya Perancis) bahwa saya akan wawancara khusus dengan mantan pencetak gol terbanyak di Piala Eropa itu (9 gol). Baru-baru ini, rekor tersebut dilampaui oleh Cristiano Ronaldo.
Saya pun pantang menyerah. Saya datangi Markas Claude Simonet, Ketua Federasi Sepak Bola Perancis (FFF) di 60 bis Avenue d’Iena, Paris, pada pertengahan Februari 1995. Pokoknya demi mendapat stempel dari FFF, cethok. Habis perkara. Barulah sekretaris Michel Platini, perempuan berkacamata itu, memberi surat tertulis ke meja Michel Platini bahwa dari kantor Kompas akan wawancara khusus.
Sebelum menjalani liku-liku wawancara dengan Platini, ada untungnya saya pernah merasakan hidup sejenak di Perancis. Tahun 1993 akhir sampai 1994 awal, saya pernah mendapat izin ”sabbatical” selama empat bulan hidup di Perancis. Ini izin khusus dari kantor untuk belajar dan menambah wawasan, setelah masa kerja yang lama.
Melalui sebuah lembaga di Jakarta, saya pun mendapat kesempatan ngekos di Reims—sekitar 2,5 jam perjalanan kereta antarkota dari Paris—sembari setiap hari belajar di kelas berbahasa Perancis.
Baca juga : ”Konser Neraka” Deep Purple, Kedatangan Gerald Ford, dan Operasi ke Timtim
Umumnya teman sekelas adalah pekerja profesional. Ada juga mereka yang tengah menghabiskan waktu liburan dengan belajar berbahasa Perancis di kelas. Para pengajarnya lumayan oke dari Sorbonne, sebuah kampus terkenal di Paris St Germain-des-Prés.
Saya banyak belajar dari kelas kursus di desa Reims ini tentang bagaimana menghadapi orang Perancis. Mereka rupanya lebih suka egaliter jika dibandingkan dengan orang kita. Mungkin masih terbawa hawa revolusi Perancis abad ke-18, liberté, égalité, dan fraternité atau kebebasan, kesamaan hak, dan persaudaraan.
Sehingga makian ringan sehari-hari dalam bahasa Perancis, seperti Merde! menjadi kata-kata akrab yang sangat lazim terdengar. Di Jawa mungkin sederajat dengan makian ringan, ”Bajigur!”
Kalau sudah mulai akrab, cukup bilang ”tu” (engkau) dan tidak perlu ”vous” atau Anda untuk bahasa yang lebih halus. Cukup ber-’tutoyer’ dan tak perlu ’vousvoyer’ dalam berbahasa sehari-hari, biar lebih egaliter.
Induk semang tempat saya kos empat bulan di Reims—kota kecil di wilayah anggur Champagne-Ardenne—pun banyak memberi saya pelajaran hidup à la Perancis, termasuk setiap hari minum anggur dari simpanan ruang khusus di bawah tanah (disebutnya ’cave’) yang sudah berusia tahunan. Minum anggur di Perancis itu seperti minum teh.
Kebetulan sekali, induk semang saya itu sama sekali tak berbahasa Inggris, sepotong kata pun. Sang suami asli Bretagne di barat laut Perancis, sementara istrinya asli Lyon, daerah Perancis totok yang berada di Perancis bagian tengah. Kalau di Jawa Barat, Lyon itu seperti Bandung yang menjadi sundanya Sunda.
Saya banyak belajar dari mereka soal sapaan ringan keseharian, semacam bahasa Perancis serampangan yang tidak lengkap, tetapi banyak ditemui sehari-hari, seperti ”J’ai pas d’argent.” Padahal, semestinya diucapkan lengkap ”Je n’ai pas d’argent” (Aku enggak punya duit), seperti dulu saat pertama kali belajar bahasa Perancis.
Baca juga : Dari Lapangan Berakhir di Ruang Perawatan
Ada lagi becandaan, seperti ”Pas d’argent, pas de clé...” yang kudunya diucapkan lengkap, ”Si tu n’as pas d’argent, je ne te donnerai pas de clé” (Kalau situ enggak kasih duit, enggak aku kasih pintu kamarmu...).
Namun, suatu ketika saya pernah terperangah sendiri. Sudah berbangga mengenalkan diri di depan kelas, ”Je suis javanais...” Mon professeur malah senyum nyinyir. Padahal, aku mau bilang, ”Aku wong Jawa.”
Ternyata, terminologi ”javanais” di Perancis artinya pandir, aneh, enggak masuk akal, enggak logis, bodoh. Maka, kalau Anda dengan bangga memperkenalkan diri Anda ”Je suis javanais...” yang maksud sebenarnya ”Aku iki wong Jowo”, jangan kaget kalau kemudian orang Perancis akan tersenyum kecut. Mosok memperkenalkan diri sebagai ”Aku orang pandir”.
Ternyata, terminologi ”javanais” di Perancis artinya pandir, aneh, enggak masuk akal, enggak logis, bodoh.
Harus dipahami, zaman itu, tahun 1995, belum zamannya BlackBerry ataupun smartphone kayak sekarang. Tinggal dudul pakai jari alias sentuh layar ponsel pintar, sudah langsung nyambung ke narasumber. Bikin appointment atau janji ketemu nara sumber juga bisa melalui ponsel. Kalau dulu, kan, modelnya masih door to door journalism alias kudu mengetok pintu dulu dan berkenalan tatap muka sebelum wawancara. Tidak bisa asal selonong melalui chat di smartphone kayak sekarang.
Untuk melakukan sambungan telepon internasional ke kantor, pun, harus menggunakan kartu telepon khusus prabayar yang dibatasi jumlahnya. Ini biasanya untuk menyampaikan berita terakhir saat liputan olahraga di Eropa. Itu pun kudu antre di boks telepon umum, berebut dengan banyak orang. Tidak boleh berlama-lama telepon kalau enggak mau digedor-gedor dari belakang.
Baca juga : Berbalut Rompi Antipeluru, Pengalaman Saya Selama di Kota Kabul
Maka, ketika wawancaraku dengan Platini dimuat harian Kompas di halaman terdepan begitu besarnya, hati ini senangnya minta ampun. Terima kasih Kompas! Hanya sayang, waktu itu belum musim swafoto pakai ponsel kayak anak-anak zaman sekarang.
Maklum, ponsel pun waktu itu belum ada. Maka, ketika kebetulan sekretaris Platini masuk ruang wawancara, spontan aku minta tolong untuk difoto bersama sang bintang. Cekrek, cekrek. Ada sayangnya lagi, foto yang bersejarah bagiku itu, kini disimpan di arsip dokumentasi kantor. Saya sendiri tidak mempunyai arsip pribadi foto saya bareng Platini....
JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012