Krisis Oksigen RSUP Dr Sardjito, Label Hoaks, dan Liputan Kolaborasi
Berita meninggalnya 63 pasien di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, yang dimuat Kompas.id memunculkan kehebohan dan sempat dilabeli hoaks. Wartawan Kompas di Yogyakarta, Haris Firdaus, menceritakan kisah di balik berita itu.

Pesepeda motor melintas di depan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Minggu (4/7/2021).
Pada mulanya adalah kabar dari media sosial. Pada Sabtu sore, 3 Juli 2021, saya membaca informasi di Twitter tentang menipisnya stok oksigen di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai wartawan harian Kompas yang bertugas di Yogyakarta, saya langsung mencari informasi lebih lanjut tentang kabar tersebut.
Di tengah upaya mencari informasi tambahan, wartawan Desk Humaniora Kompas, Ahmad Arif, menghubungi saya. Arif memberikan kabar serupa: stok oksigen RSUP Dr Sardjito menipis. Beberapa saat kemudian, saya mendapatkan foto surat manajemen RSUP Dr Sardjito yang mengabarkan ke sejumlah pihak tentang menipisnya stok oksigen sentral di rumah sakit itu.
Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama RSUP Dr Sardjito saat itu, Rukmono Siswishanto, dan ditujukan kepada sejumlah pihak, seperti Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Kesehatan, Direktur Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gubernur DIY, dan sebagainya.

Surat yang dikirimkan manajemen RSUP Dr Sardjito kepada sejumlah pihak pada 3 Juli 2021 terkait penipisan stok oksigen di rumah sakit tersebut.
Dalam surat itu, Rukmono menyatakan, persediaan oksigen sentral di RSUP Dr Sardjito akan mengalami penurunan pada Sabtu pukul 16.00. Bahkan, persediaan oksigen di rumah sakit tersebut diperkirakan bakal habis pada Sabtu pukul 18.00. Kondisi itu dikhawatirkan berdampak pada keselamatan pasien.
”Persediaan oksigen sentral di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta akan mengalami penurunan pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2021 pukul 16.00 sampai dengan kehabisan persediaan oksigen pada pukul 18.00 sehingga berisiko pada keselamatan pasien yang dirawat, baik pasien Covid-19 maupun Non-Covid-19,” ujar Rukmono dalam suratnya.
Baca juga: 63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari
Begitu mendapat foto surat itu, saya langsung menghubungi Koordinator Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan, untuk meminta konfirmasi. Pada Sabtu malam sekitar pukul 20.00, Banu membenarkan bahwa surat tersebut resmi dikeluarkan oleh manajemen RSUP Dr Sardjito. Sesudah mendapat konfirmasi dari Banu, saya pun mulai menulis berita tentang menipisnya stok oksigen di RSUP Dr Sardjito.
Di sela-sela mengetik, saya juga menghubungi Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan Tri Saktiyana yang juga menjabat sebagai Ketua Satuan Tugas Oksigen DIY. Pihaknya bertanggung jawab membantu penyediaan oksigen untuk rumah sakit. Berdasarkan wawancara melalui telepon malam itu, Tri mengatakan, pasokan oksigen cair untuk RSUP Dr Sardjito sedang dalam perjalanan dari Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Pasien Covid-19 dirawat di tenda darurat di halaman Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Minggu (4/7/2021).
Sekitar pukul 21.30 malam itu, saya juga mewawancarai Banu melalui telepon mengenai kondisi terkini stok oksigen di RSUP Dr Sardjito. Berdasarkan sejumlah wawancara itu, saya kemudian menulis dan mengirim berita ke situs Kompas.id. Berita itu kemudian dipublikasikan pada pukul 23.13 dengan judul ”Stok Oksigen RSUP Dr Sardjito Menipis, Keselamatan Pasien Berisiko”.
Dalam berita tersebut, saya belum menyinggung tentang para pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito saat penipisan stok oksigen terjadi. Sebenarnya, malam itu, saya sudah mendapat informasi tentang adanya beberapa pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito. Namun, karena belum adanya konfirmasi dari sumber resmi, informasi tersebut belum saya masukkan ke dalam berita.
Sabtu menjelang tengah malam, saya tertidur. Namun, dengan perasaan tak tenang karena masih memikirkan informasi tentang sejumlah pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito saat stok oksigen menipis.
63 orang
Begitu terbangun pada Minggu pagi, 4 Juli 2021, saya langsung mengecek pesan di aplikasi Whatsapp. Ternyata, sejak lepas tengah malam hingga dini hari, sejumlah kawan mengirim pesan dan mengabarkan bahwa jumlah pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito terus bertambah.
Pada Minggu pagi sekitar pukul 07.45, Ahmad Arif menelepon saya dan memberi kabar mengejutkan. Berdasarkan informasi yang diterimanya dari tenaga kesehatan di RSUP Dr Sardjito, ada 63 orang pasien yang meninggal di rumah sakit tersebut. Aik—panggilan Ahmad Arif—lalu meminta saya mengonfirmasi kabar itu ke manajemen RSUP Dr Sardjito.
Baca juga: Merujuk Episode Krisis Oksigen di RSUP Dr Sardjito

Mobil ambulans memasuki Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Minggu (4/7/2021).
Setelah itu, saya langsung menelepon Banu Hermawan untuk konfirmasi. Dalam wawancara pagi itu, Banu membenarkan adanya 63 pasien yang meninggal, sejak Sabtu siang hingga Minggu pagi.
Namun, ia mengaku belum bisa memastikan berapa pasien yang meninggal karena kondisi klinis dan berapa pasien yang meninggal akibat pasokan oksigen yang habis.
”Sebanyak 63 orang itu data dari Sabtu siang sampai tadi pagi (Minggu). Itu belum dipilah, pasien yang klinis dan pasien yang membutuhkan oksigen,” katanya.
Baca juga: Saat Kematian Makin Akrab di Yogyakarta...
Hasil wawancara dengan Banu kemudian saya kirim ke Aik untuk ”dijahit” menjadi berita utuh. Setelah itu, pada Minggu pukul 09.39, berita yang ditulis Aik dan saya tayang di Kompas.id.
Berita itu awalnya berjudul ”Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari”. Belakangan, judul berita tersebut diubah menjadi ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari”.
Meski judulnya diubah, substansi berita itu sebenarnya tetap sama. Sejak awal, berita tersebut tak menyebut bahwa seluruh 63 pasien itu meninggal karena pasokan oksigen yang habis. Di dalam tubuh berita, hanya disebutkan bahwa pasokan oksigen yang habis diduga turut menyebabkan meninggalnya sejumlah pasien.

Ambulans diparkir berderet di kawasan Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, usai mengantar pasien ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Kamis (17/6/2021). Ambulans-ambulans itu tidak dapat mengakses area parkir rumah sakit yang penuh seiring melonjaknya kasus Covid-19. Hari itu penambahan kasus positif Covid-19 di DIY kembali menembus rekor dengan 595 kasus.
Sejak dipublikasikan, berita tersebut langsung menarik perhatian banyak pihak. Saya juga melihat berita tersebut dibagikan di grup-grup Whatsapp serta kanal media sosial lainnya. Sejumlah teman wartawan di Yogyakarta pun bertanya-tanya kepada saya mengenai berita tersebut. Mereka lalu berlomba-lomba menghubungi Banu untuk melakukan konfirmasi.
Beberapa jam setelah berita itu dipublikasikan, manajemen RSUP Dr Sardjito mengeluarkan keterangan tertulis tentang kelangkaan oksigen yang terjadi. Keterangan tertulis versi pertama itu dibagikan di grup Whatsapp media RSUP Dr Sardjito pada pukul 11.45. Namun, keterangan itu kemudian diralat dengan keluarnya keterangan tertulis versi kedua yang ditandatangani oleh Rukmono Siswishanto selaku Dirut RSUP Dr Sardjito.
Dalam keterangan kedua yang dikirimkan pada pukul 16.50 itu, Rukmono mengatakan, sebanyak 63 pasien yang meninggal itu merupakan akumulasi dari Sabtu pagi hingga Minggu pagi. Dia juga menyebut, jumlah pasien yang meninggal setelah oksigen sentral habis pada Sabtu pukul 20.00 sebanyak 33 orang.
”Yang meninggal pasca oksigen central habis pukul 20.00 WIB, maka kami sampaikan jumlahnya 33 pasien. Pasien sejumlah itu bukan semata-mata pasien Covid-19 yang harus dengan bantuan oksigen, tetapi terdapat pasien lainnya pula,” ujar Rukmono.
Baca juga: Foto Jurnalistik yang Turut Merekam Kenangan Bersama Istri Tercinta

Halaman pertama keterangan tertulis manajemen RSUP Dr Sardjito tentang krisis oksigen yang terjadi pada 3-4 Juli 2021.
Selain itu, Rukmono mengklaim, para pasien yang membutuhkan bantuan oksigen juga tetap tersuplai kebutuhan oksigennya dengan oksigen tabung. Oleh karena itu, dia mengklaim, tidak benar jika ada pasien yang meninggal tanpa mendapat bantuan oksigen.
”Pasien-pasien yang memerlukan bantuan oksigen, tetap tersuplai dengan oksigen tabung. Sehingga tidak benar jika meninggal tanpa dapat bantuan oksigen, tetapi proses meninggalnya karena kondisi klinisnya yang memburuk,” ungkap Rukmono.
Saya lalu menulis keterangan manajemen RSUP Dr Sardjito itu menjadi berita tersendiri. Berita itu dipublikasikan di Kompas.id pada Minggu pukul 20.40 dengan judul ”Oksigen Sentral Sempat Habis, RSUP Dr Sardjito Dapat Tambahan Pasokan”.
Hoaks
Berita 63 pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito yang ditulis oleh Ahmad Arif dan saya, ternyata berbuntut panjang. Sehari setelah berita itu dipublikasikan, ada pihak tertentu yang menyebut berita tersebut sebagai hoaks atau kabar bohong. Bahkan, berita kami kemudian diberi label hoaks.
Pada Selasa, 6 Juli 2021, atau dua hari setelah berita itu tayang, makin banyak pihak yang memberi cap hoaks. Bahkan, sejumlah akun Twitter dan Instagram yang biasa memberikan informasi mengenai Yogyakarta ikut-ikutan memberi label hoaks terhadap berita kami. Sejak hari itu, saya mendapat pertanyaan dari berbagai pihak tentang cap hoaks tersebut.
Baca juga: Mendaki Zig-zag bak Ular di Kilimanjaro

Sejumlah akun Twitter memberi label hoaks terhadap berita Kompas.id tentang meninggalnya 63 pasien di RSUP Dr Sardjito.
Menanggapi berbagai pertanyaan itu, saya berusaha memberi penjelasan satu per satu melalui komunikasi personal. Saat itu, saya memilih tidak memberi tanggapan sama sekali melalui media sosial. Saya merasa tak perlu membela diri dengan pernyataan defensif karena meyakini kerja jurnalistik yang saya lakukan sudah benar.
Yang mengejutkan, tak lama setelah cap hoaks terhadap berita kami beredar, sejumlah keluarga pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito mulai bersuara di media sosial. Mereka memberikan komentar di akun Instagram RSUP Dr Sardjito dan mempertanyakan keterangan resmi dari rumah sakit.
Saya merasa tak perlu membela diri dengan pernyataan defensif karena meyakini kerja jurnalistik yang saya lakukan sudah benar.
Komentar-komentar itu kemudian viral dan akun-akun yang memberi label hoaks terhadap berita kami lalu diserang balik oleh para warganet. Tidak lama, sejumlah unggahan yang mencap hoaks berita kami di media sosial akhirnya dihapus.
Saat itu, saya juga menerima dukungan dari sejumlah pihak, baik secara personal maupun terbuka. Dukungan terbuka disampaikan, antara lain dari teman-teman relawan Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY melalui akun Twitter TRC BPBD DIY dengan menyebut akun Twitter pribadi saya.
Baca juga: Dari Meja ke Meja dan Anugerah Emas

Dukungan dari Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta untuk wartawan Kompas Haris Firdaus yang disampaikan melalui Twitter.
Bagi saya, dukungan dari sejumlah pihak itu sangat berarti karena ternyata masih banyak pihak yang percaya pada kerja jurnalistik. Namun, saya tak menyangka, gelombang dukungan itu justru menjadi awal dari kerja jurnalistik lanjutan untuk menyingkap tabir misteri di balik krisis oksigen yang terjadi di RSUP Dr Sardjito pada 3-4 Juli.
Kolaborasi
Saat label hoaks terhadap berita kami bertebaran di media sosial, seorang kawan wartawan di Yogyakarta memberi tanggapan mengejutkan. Dia mengusulkan untuk membuat liputan kolaborasi tentang krisis oksigen di RSUP Dr Sardjito. Liputan kolaborasi itu diharapkan dapat menjadi jawaban atas stempel hoaks terhadap berita yang dibuat oleh saya dan Ahmad Arif. ”Masak kita rela temuan data itu dianggap hoaks?” kata teman wartawan itu.
Jujur, mulanya saya menanggapi ajakan itu dengan tidak terlalu bersemangat. Saat itu, saya masih merasa lelah dengan berbagai pertanyaan yang muncul seputar label hoaks terhadap berita kami. Namun, melihat antusiasme sejumlah teman wartawan lain, saya pun memutuskan untuk ikut melakukan liputan kolaborasi.
Liputan kolaborasi itu melibatkan tujuh wartawan di Yogyakarta. Selain saya, ada Arif Koes dari Gatra.com, Bhekti Suryani dari Harian Jogja, Hendrawan Setiawan dari CNN Indonesia TV, Irwan Syambudi dari Tirto.id, Nurhadi Sucahyo dari VOA Indonesia, dan Pito Agustin Rudiana dari IDN Times.

Salah satu komentar keluarga pasien meninggal di akun Instagram RSUP Dr Sardjito.
Enam wartawan itu sudah saya kenal akrab sejak beberapa tahun lalu sehingga saya tahu betul mereka adalah para wartawan yang berintegritas tinggi. Sejak tahun lalu, saya dan enam teman tersebut juga beberapa kali terlibat liputan kolaborasi tentang pandemi Covid-19. Oleh karena itu, bagi kami bertujuh, liputan kolaborasi bukan sesuatu yang baru.
Dalam liputan kolaborasi itu, kami berhasil mewawancarai sejumlah keluarga pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito saat krisis oksigen terjadi. Kami juga berhasil mendapatkan data rinci mengenai pasien-pasien yang meninggal saat itu. Berdasarkan data dan wawancara dengan keluarga pasien itu, kami bisa mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai krisis oksigen yang terjadi.
Hasil liputan kolaborasi itu kemudian dipublikasikan secara serentak pada Kamis, 22 Juli 2021. Tulisan saya hasil liputan kolaborasi itu dimuat di Kompas.id dengan judul “Merujuk Episode Krisis Oksigen di RSUP Dr Sardjito”. Versi yang lebih ringkas dari tulisan tersebut juga dimuat di koran Kompas dengan judul “Merujuk Krisis Oksigen di Rumah Sakit Rujukan”.
Pada hari yang sama, Kompas juga memuat tulisan Ahmad Arif yang bertajuk “Mengungkap Kronologi Tragedi di Rumah Sakit Sardjito”. Selain itu, enam jurnalis dari media lainnya juga mempublikasikan hasil liputan mereka tentang krisis oksigen yang terjadi di RSUP Dr Sardjito.

Tenaga kesehatan menyemprotkan cairan disinfektan di tenda darurat yang akan digunakan untuk menampung pasien Covid-19 di halaman Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Minggu (4/7/2021).
Begitu hasil liputan kolaborasi kami diterbitkan, saya membagikan laporan-laporan tersebut ke Twitter. Rangkaian twit saya tentang liputan kolaborasi itu mendapat banyak tanggapan dari para pengguna Twitter.
Salah satu twit saya tentang liputan kolaborasi itu mendapat retweet sekitar 7.800 kali dan like 20.600 kali. Bahkan, berdasarkan laporan analitik Twitter, twit itu telah dilihat sebanyak 1,4 juta kali.
Dengan adanya liputan kolaborasi itu, saya juga berharap, ke depan tak ada lagi pihak-pihak yang secara sembarangan memberi label hoaks terhadap produk jurnalistik yang telah dibuat dengan prosedur benar.
Tentu bukan banyaknya retweet dan like di Twitter yang menjadi tujuan kami. Bagi saya dan jurnalis lain yang terlibat, liputan kolaborasi ini bertujuan untuk menyampaikan fakta yang sesungguhnya terjadi kepada publik.
Dengan adanya liputan kolaborasi itu, saya juga berharap, ke depan tak ada lagi pihak-pihak yang secara sembarangan memberi label hoaks terhadap produk jurnalistik yang telah dibuat dengan prosedur benar.