Kukejar Gerhana Matahari hingga ke Palu
Pada 11 Juni 1983, saya bersembunyi di kolong tempat tidur. Saya takut dengan raksasa yang akan muncul menelan matahari penyebab gerhana. Berselang 32 tahun kemudian, saya justru mengejar-ngejar gerhana matahari.
Pada 11 Juni 1983, matahari yang ”ditelan raksasa” membuat saya bersembunyi di kolong tempat tidur. Berselang 32 tahun kemudian, ganti saya yang mengejar matahari ”ditelan raksasa” hingga ke Palu demi menyaksikan fenomena alam langka itu.
Saya masih ingat betul betapa campur aduknya perasaan saya menjelang gerhana matahari total terjadi. Dari mulanya terang benderang hingga akhirnya suasana perlahan meredup.
Saya masih ingat betul betapa campur aduknya perasaan saya menjelang gerhana matahari total terjadi.
Dari kolong tempat tidur, cahaya matahari yang biasanya jatuh di ruang tengah perlahan menggelap. Saya berusaha untuk tidak bergerak sampai akhirnya prosesi gerhana usai.
Hari itu, kota sejuk Temanggung, Jawa Tengah, tempat saya tinggal, menjadi salah satu daerah yang dilintasi oleh gerhana matahari total. Selama beberapa hari sebelum peristiwa itu terjadi, gerhana menjadi topik yang selalu dibahas oleh anak-anak kecil seperti saya dan teman-teman sebaya.
Baca Juga: Terjebak Gelombang Kepanikan di Paris Saat Piala Eropa
Sembari bermain di empang ikan milik Dinas Perikanan, saat menyusuri petak sawah dengan latar pemandangan Gunung Sumbing, bahasan tentang cara menghindari gerhana matahari seakan tak ada habisnya.
Maklum, saat itu masih ada mitos bahwa matahari akan dimakan butho ijo alias raksasa saat gerhana. Membunyikan kentongan, lesung, dan benda-benda lain yang menghasilkan suara berisik dianggap akan mampu mengusir raksasa dan melupakan niatnya menelan matahari.
Selain soal matahari yang dimakan raksasa, informasi yang juga banyak beredar, cahaya matahari saat gerhana bisa membutakan mata jika dilihat secara langsung.
Akhirnya, kami pun memutuskan mengikuti apa yang dilakukan orang-orang terdahulu, bersembunyi di kolong tempat tidur agar tidak ikut terkena malapetaka yang akan dibawa raksasa.
Baca Juga: Perang Batin Saat Meliput Bencana di Kampung Sendiri
Beranjak remaja, saya mempunyai hobi membaca segala hal tentang fenomena alam. Ketika membaca artikel dan melihat foto-foto tentang gerhana matahari, saya teringat momen sembunyi di kolong tempat tidur. Duh, sungguh saya sangat menyesalinya.
Bagaimana tidak, dari sebuah artikel di koran yang saya baca, gerhana matahari ternyata bisa dilihat dengan aman dengan bantuan kacamata berlensa gelap.
Gara-gara termakan informasi yang salah dan lebih menuruti suara mayoritas (baca: teman-teman bermain saya) yang ternyata juga tidak tepat, hilanglah kesempatan saya untuk melihat fenomena alam yang indah tersebut. Sejak saat itu, saya terobsesi untuk bisa menyaksikan gerhana matahari total.
Kesempatan baik pun tiba. Gerhana matahari total dikabarkan akan kembali melintasi sebagian wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016. Tepatnya, gerhana akan melintasi sebagian besar wilayah Pasifik yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara serta benua Australia. Saya pun kembali teringat peristiwa yang terjadi 32 tahun sebelumnya.
Baca Juga: Berkawan Rasa Takut, Meliput Covid-19 di Bangkalan
Desk Foto harian Kompas tempat saya bernaung kemudian memutuskan akan meliput kejadian alam langka itu dengan mengirim empat fotografer ke beberapa daerah yang akan dilintasi. Saya tentu saja mengajukan diri untuk meliput.
Akhirnya diputuskan saya ke Palu, Arbain Rambey dan Hendra Agus Setyawan ke Palembang, Riza Fathoni ke Bangka Belitung, dan Heru Sri Kumoro ke Maba, Kepulauan Halmahera.
Maba menjadi target utama karena wilayah tersebut akan dilewati waktu puncak gerhana yang paling lama. Tidak heran jika Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengirimkan tim khusus ke sana, lengkap dengan peralatan pengamatannya yang canggih.
Hari Rabu, 9 Maret 2016, selepas fajar menyingsing, saya sudah berada di jalan raya di pinggir Sungai Palu. Matahari bersinar cerah. Cahaya jatuh di rangka jembatan lengkung kuning yang menjadi ikon Kota Palu. Sayangnya, jembatan tersebut kini tiada lagi setelah rusak diterjang tsunami tahun 2018.
Baca Juga: Di Udara Papua, Pesawat yang Saya Tumpangi Kehabisan Bahan Bakar
Untuk memotret momen bersejarah ini, sudah tentu saya harus mempersiapkan ”alat tempur” semaksimal mungkin. Saya membawa lensa tele 300 mm, converter lensa 2x, tripod besar dan berat yang biasanya untuk menopang kamera video, serta potongan plastik film yang saya beli di bengkel variasi mobil.
Idealnya, memotret gerhana harus menggunakan filter lensa khusus, tapi karena tidak punya, saya mengakalinya dengan plastik film tersebut.
Di Palu, kemeriahan menyambut gerhana matahari sungguh terasa. Kota kecil itu tiba-tiba berubah meriah. Jalanan penuh dengan poster dan pernik yang memperlihatkan kegembiraan akan datangnya peristiwa alam yang boleh jadi hanya akan dilihat sekali seumur hidup oleh warga saat itu.
Berbagai kegiatan hiburan dan budaya diselenggarakan. Suasanya sudah mirip acara 17-an. Ada festival adat untuk menyambut gerhana, kegiatan olahraga paralayang, hingga Kampung Gerhana di sebuah bukit di luar kota Palu. Uniknya, kampung ini dikelola atas izin kegiatan dari pemerintah setempat dan berisi turis mancanegara yang khusus datang untuk menonton gerhana matahari.
Untuk bisa menginap di Palu bukan hal mudah. Hotel sudah habis dipesan setahun sebelumnya. Atas bantuan wartawan Kompas yang bertugas di Palu, Videlis Jemali, saya mendapatkan losmen di pinggiran kota Palu.
Losmennya nyaman meski mesin pendingin ruangannya rusak sehingga saya masih berkeringat meski suhu udara sudah diatur dalam posisi paling sejuk. Di losmen tersebut, saya bertemu dengan redaktur senior Kompas Ninok Leksono. Sebagai pengamat astronomi, Mas Ninok pasti tidak akan melewatkan peristiwa tersebut.
Selama di Palu, saya dibuat sport jantung. Cuaca saat saya tiba hingga sehari sebelum gerhana sungguh bikin ”pusing pala barbie”. Pagi yang cerah tiba-tiba berubah hujan, kemudian ganti cerah lagi. Begitu terus selama beberapa hari. Saya mulai berpikir hal terburuk, yaitu tidak mendapatkan foto gerhana matahari dengan bersih dan sempurna.
Ternyata alam pagi itu berpihak kepada saya. Momen gerhana matahari bisa saya foto dengan baik. Fase gerhana total selama 2 menit 15 detik, saat matahari hilang hingga muncul cincin putih terang, menjadi momen terindah yang pernah saya saksikan.
Sayangnya tidak begitu untuk fase setelahnya. Beberapa menit setelah seluruh fase gerhana matahari usai, saya mengecek hasil foto yang ternyata overexpose semua.
Rupanya, filter kamera hasil modifikasi menggunakan kaca film mobil terbakar. Kaca film itu kalah dengan paparan cahaya matahari yang langsung masuk ke kamera. Hingga saat ini, kaca film yang terbakar itu masih saya simpan sebagai kenang-kenangan.
Sementara itu, di tiga tempat memotret lainnya, rupanya teman-teman kurang beruntung karena kondisi cuaca yang mendung. Dari empat lokasi gerhana yang dijaga fotografer Kompas, hanya dari Palu yang cerah dan bersih fotonya.
Di Maba, kondisi cuaca bahkan hujan sehingga para fotografer dan tim NASA gigit jari. Foto gerhana karya saya akhirnya dimuat menjadi foto utama halaman 1 koran Kompas edisi Kamis, 10 Maret 2016.
Kegembiraan mendapatkan foto gerhana matahari bagi saya bak kebahagiaan yang paripurna. Rasanya setara dengan kebahagiaan saat lolos UMPTN, nembak nikah diterima, atau menang lomba foto yang hadiahnya kamera mahal.
Lebih dari lima tahun kemudian, untuk menyambut HUT-nya yang ke-56, harian Kompas membuat suvenir kaos bertema halaman muka koran Kompas untuk seluruh karyawannya.
Kami bebas memilih halaman muka yang akan dicetak di atas kaos. Dari ratusan foto karya saya yang menjadi foto headline (HL) Kompas selama 18 tahun saya bekerja, saya memilih foto HL gerhana.
Banyak sekali pengalaman tak terlupakan selama bertugas, mulai dari terjebak baku tembak antara TNI dan GAM di Aceh hingga naik pesawat perintis yang bahan bakarnya hampir habis saat berada di langit Papua.
Namun, memotret gerhana matahari adalah pengalaman favorit saya yang akan selalu teringat sepanjang hayat.
Namun, memotret gerhana matahari adalah pengalaman favorit saya yang akan selalu teringat sepanjang hayat. Saya suka sekali dengan hasil foto gerhana itu. Sampai-sampai, foto itu saya jadikan gambar latar di ponsel dan laptop kerja, tidak berubah sampai sekarang.
Kegembiraan saya bertambah. Kini, foto itu juga turut mejeng di kaos HUT ke-56 Kompas yang jatuh pada 28 Juni 2021. Saya pun bisa memamerkannya ke mana-mana sepanjang saya memakai kaos bergambar ”cincin” dan fase-fase perubahannya di langit gelap.
Seperti judul berita utama tentang gerhana kala itu, ”Indonesia Merayakan Gerhana”, saya pun merayakan mimpi masa kecil yang lunas terbeli.