Tulisan tentang Nasib Awak Bus yang Gugah Penderma
Tulisan wartawan harian ”Kompas”, Kristi Dwi Utami, memicu inisiatif seorang pembaca, Ahmad Fuady, menggalang donasi bagi awak bus yang terdampak pandemi dan kebijakan larangan mudik. Terkumpul dana Rp 51,68 juta.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
”Tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa membawa manfaat bagi orang lain.” Kata-kata itu sering kali diucapkan oleh pimpinan ataupun senior di harian Kompas hingga melekat di kepala. Semakin sering kata-kata itu diucapkan, semakin besar harapan agar kelak tulisan saya bisa membawa manfaat.
Minggu (9/5/2021) pagi pukul 05.17, saya terbangun oleh notifikasi pesan langsung dari akun Instagram @a.fuady01 milik Ahmad Fuady, peneliti kesehatan dari Universitas Indonesia. Beliau mengaku tertarik dengan tulisan saya soal larangan mudik dan nasib awak bus yang babak belur dihajar pandemi. Tulisan itu terbit di Kompas.id, Jumat (30/4/2021).
Dalam pesannya, beliau mengutarakan niat membantu para awak bus dan meminta nomor ponsel salah satu pengelola perusahaan otobus. Mata saya yang awalnya kriyip-kriyip langsung membelalak membaca pesan itu.
Tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa membawa manfaat bagi orang lain.
Saya membaca ulang deretan pesan itu. Setelah yakin tidak sedang bermimpi, saya balas pesan tersebut. ”Saya coba minta izin dengan yang bersangkutan dulu ya Pak. Mohon ditunggu. Terima kasih.”
Saya kemudian menghubungi salah satu pengelola perusahaan otobus. Setelah mengantongi izin, saya kirimkan nomor tersebut kepada Pak Ahmad.
Setelah itu, saya duduk terdiam dan teringat kembali pertemuan dengan para awak bus di Terminal Dukuhsalam, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari sebelumnya.
Pertemuan berawal dari penugasan yang diberikan editor Tim Lebaran, Mbak Rini Kustiasih dan Mas Frans Pati Herin, serta Kepala Biro Jawa Tengah-DIY Mas Gregorius Magnus Finesso. Saya diminta mewawancarai awak bus yang sudah dua kali terdampak kebijakan larangan mudik.
Karena pernah meliput isu tersebut, saya jadi punya bekal informasi tentang kapan dan di mana para awak bus bisa ditemui. Mereka biasanya berkumpul di terminal atau pul bus pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-21.00.
Jumat (23/4/2021) pukul 15.00, saya memacu sepeda motor menuju Terminal Dukuhsalam dan tiba di sana satu jam kemudian. Tampak beberapa awak bus tengah menunggu penumpang.
Sebelum mendekat, saya mengamati situasi sambil duduk di atas sepeda motor. Dari kejauhan tampak wajah-wajah bermuram durja. Saya beranikan diri mendekati para awak bus yang tengah duduk-duduk di depan loket penjualan tiket.
Saat saya datang, raut-raut sedih itu mulai berhias senyuman. Dengan antusias, mereka menanyai saya hendak pergi ke mana. Senyum mereka segera surut ketika tahu kedatangan saya bukan untuk menumpang bus.
Namun, mereka bersedia menceritakan nasib mereka setahun belakangan. Sejak pandemi, ditambah pemberlakuan larangan mudik, animo masyarakat naik angkutan umum menurun. Padahal, Lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu awak bus untuk meraup pundi-pundi rupiah.
Curhatan pertama datang dari Taufik (35), pria yang sudah 11 tahun menjadi sopir bus antarkota antarprovinsi (AKAP). Ia mengaku sudah empat hari tidak berani pulang ke rumah. Bus yang ia sopiri selalu gagal berangkat karena penumpangnya tidak pernah lebih dari 15 orang. Padahal, agar tidak merugi, bus harus mengangkut paling tidak 15 penumpang.
”Paling-paling cuma 10 penumpang per hari. Kalau mau memaksa berangkat, uang setorannya tidak akan cukup. Kalau pas tidak ada uang, saya tidak berani pulang, bingung mau bilang apa kalau anak istri minta uang,” katanya.
Belum selesai Taufik bercerita, Ade (20), seorang kernet bus AKAP, menambahi. Nasib Ade tak jauh beda. Ia awalnya kernet bus pariwisata yang memutuskan beralih ke bus AKAP dengan harapan memperoleh uang lebih.
Sejumlah pengelola perusahaan otobus mengeluh, sepinya penumpang membuat mereka terpaksa merumahkan karyawan.
”Semenjak (pandemi) Covid-19, tempat-tempat wisata ditutup. Mau tak mau, bus pariwisata juga tidak beroperasi,” ujar Ade.
Saya berpikir, di luar sana tentu ada taufik-taufik dan ade-ade yang lain. Dugaan saya tak meleset. Sejumlah pengelola perusahaan otobus mengeluh, sepinya penumpang membuat mereka terpaksa merumahkan karyawan.
Perusahaan Otobus Dedy Jaya, misalnya, harus merumahkan 1.700 orang dari total 5.400 karyawan. Hal itu dilakukan agar kerugian perusahaan bisa ditekan.
Saat menutup obrolan, Taufik dan Ade meminta saya ikut mendoakan agar mereka mendapat bantuan dari pemerintah, seperti tahun sebelumnya. Sebab, sejumlah kebutuhan mendesak segera dipenuhi.
”Doain, ya, Mbak, semoga Lebaran tahun ini bisa dapat rezeki. Saya kepingin membelikan sandal untuk anak saya. Kasihan, sandalnya sudah rusak, tapi masih dipakai terus,” tutur Taufik kala itu.
Permintaan tersebut hanya bisa saya jawab dengan anggukan. Dalam perjalanan pulang, saya bermunajat, semoga tulisan saya dibaca pemerintah agar para awak bus bisa terbantu.
Terwujud
Setelah pertemuan itu, hari demi hari berlalu seperti biasa. Hingga akhirnya pada Selasa (11/5/2021) petang, notifikasi Instagram dari Pak Ahmad kembali mengejutkan saya.
Beliau mengunggah poster berisi informasi tentang kegiatan penyaluran bantuan kepada 67 awak bus yang terdampak pandemi sekaligus kebijakan larangan mudik.
Dalam unggahan itu, Pak Ahmad menyebutkan, setelah membaca tulisan saya di harian Kompas, beliau dan sejumlah orang tergerak untuk meluncurkan program pengumpulan bantuan bagi awak bus.
Kegiatan itu mendapatkan respons positif hingga akhirnya terkumpul dana Rp 51,68 juta. Bantuan kemudian disalurkan kepada puluhan awak bus di Tasikmalaya, Tegal, Kabupaten Tegal, Brebes, dan Semarang.
Tak bisa digambarkan lagi betapa bersyukurnya saya membaca unggahan itu. ”Akhirnya, keinginan para awak bus terwujud,” ucap saya dalam hati.
Seusai membaca unggahan itu, saya membagikannya kepada editor yang mengedit tulisan saya, yakni Mbak Rini. Tangkapan layar berisi unggahan Pak Ahmad tersebut kemudian beredar di sejumlah grup Whatsapp kantor.
Tak lama, seorang teman mengirimkan pesan. Isinya lebih kurang, ”Selamat, akhirnya keinginanmu untuk bisa menulis sesuatu yang mendatangkan manfaat bisa terwujud. Jangan cepat puas dan teruslah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seperti itu.”
Saya berharap, tulisan itu bukanlah tulisan pertama dan terakhir saya yang membawa manfaat untuk orang lain.