Liputan Ledakan Balongan: Cepat, tetapi Jangan Ikut ”Meledak”
Peristiwa kerap datang tidak terduga. Wartawan dituntut cepat meresponsnya tanpa harus panik ketika menghadapinya.

Potret kobaran api di kawasan PT Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (29/3/2021) petang. Ledakan di salah satu tangki Pertamina RU VI Balongan itu terjadi pada Senin pukul 00.45 dan belum padam hingga kini.
Senin (29/3/2021) pukul 01.59. Adik ipar di Indramayu, Jawa Barat, menelepon. Saya terbangun, tetapi tidak sempat meresponsnya. Pukul 02.01 telepon kembali berdering. ”A (kak), Balongan kebakaran. Ini mau mengungsi,” ucapnya.
Saya Abdullah Fikri Ashri atau biasa dipanggil Iki, wartawan Kompas sejak tahun 2014. Sekitar setahun kemudian, saya ditugaskan meliput di Cirebon, Kuningan, Majalengka, hingga Indramayu. Saat bertugas di kawasan ini, saya bertemu perempuan yang kelak menjadi istri yang berasal dari Indramayu.
Kebetulan, keluarga besar kami tinggal di Desa Singaraja, tetangga Kecamatan Balongan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari PT Pertamina RU VI Balongan yang meledak dan terbakar. Kata adik ipar, aparat desa meminta warga mengungsi ke tempat lebih jauh.
Saking hebatnya kobaran api, langit yang tadinya gelap menjadi kemerahan. Video kejadian itu mulai tersebar di grup Whatsapp wartawan Indramayu. Dalam video tampak warga berhamburan sambil berteriak histeris. Letupan ledakan pun terdengar.
Sekitar 10 menit kemudian, keluarga sudah sampai ke rumah kerabat di pusat kota Indramayu. Perasaan saya dan istri yang berada di Cirebon, sekitar 56 kilometer dari Indramayu, sedikit tenang. Untung saja pada malam itu saya lupa menonaktifkan gawai. Biasanya, gawai saya matikan untuk mengisi daya semalaman.
Setelah memastikan keluarga aman, saya langsung mengetik berita awal melalui keterangan adik. Saya juga menelepon seorang kuwu (kepala desa) di Kecamatan Balongan untuk mengetahui info detailnya. Ternyata ada beberapa rumah yang rusak.
Baca juga : Momen Wartawan Pindah Kota yang Penuh Kisah

Hal serupa diungkapkan humas Pertamina RU VI Balongan. ”Kebakaran tangki gasoline. Infonya ada (korban), tapi saya belum tahu jelas,” ujar Unit Manager Communication Relations dan CSR Pertamina RU VI Balongan Cecep Supriyatna melalui pesan singkat.
Informasi awal itu menunjukkan parahnya ledakan. Saya harus segera berangkat. Namun, mengendarai sepeda motor dini hari dari Cirebon ke Indramayu cukup rawan. Tidak hanya dingin malam yang menusuk, tetapi juga potensi tajamnya golok pembegal. Mencari mobil sewaan juga tidak mudah.
Beruntung, teman dari Antaranews.com, Izan, mengajak ke Indramayu menggunakan mobilnya. Seorang teman juga ikut. Sekitar pukul 03.00, kami berangkat dengan wajah mengantuk. Selain kamera dan alat pengisi daya, saya juga membawa sebungkus biskuit untuk ”pengganjal” perut kala lapar.
Selama mengemudi, rasa kantuk itu hilang. Mungkin karena lubang jalan yang beberapa kali ”menegur”. Satu setengah jam berlalu, kami tiba di Balai Desa Majakerta, tidak jauh dari lokasi ledakan. Langit di ujung malam itu lebih mirip saat senja.
Asap membubung tinggi. Polisi dan TNI berjaga, menutup jalan. Beberapa rumah kosong, ditinggal mengungsi oleh pemiliknya. Ada pula yang tidur di teras karena khawatir terjadi ledakan susulan.
Asap membubung tinggi. Polisi dan TNI berjaga, menutup jalan. Beberapa rumah kosong, ditinggal mengungsi oleh pemiliknya. Ada pula yang tidur di teras karena khawatir terjadi ledakan susulan.
Bupati Indramayu Nina Agustina dan Kepala Polres Indramayu Ajun Komisaris Besar Hafidh Susilo tampak mengobrol. Kami meminta izin wawancara. Namun, keduanya tidak bersedia berkomentar hingga Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Ahmad Dofiri datang. Kami mengubah haluan, mencari keterangan warga.

Kaca rumah yang berada di dekat PT Pertamina RU VI Balongan pecah setelah ledakan tangki di kawasan PT Pertamina RU VI Balongan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (29/3/2021) siang. Ledakan yang terjadi pada Senin pukul 00.45 itu hingga pukul 15.00 belum padam seluruhnya. Ledakan itu melukai sekitar 20 orang dan memaksa ratusan orang mengungsi.
Seorang warga lalu menunjukkan temboknya yang retak. Ia mengklaim ledakan di Pertamina penyebabnya. Sulit menguji keabsahan pengakuannya. Apalagi, rumah di sebelahnya tidak demikian. Saya hanya mencatat kronologis menurut warga itu, bukan kerusakan rumahnya. Butuh pembuktian lebih untuk itu. Dalam kondisi apa pun, wartawan perlu kritis terhadap narasumber, siapa pun itu.
Matahari mulai tampak ketika Kapolda tiba dan langsung masuk ke kantor Pertamina RU VI Balongan. Lagi-lagi belum ada wawancara. Sembari menunggu, saya ingin memotret asap dampak ledakan lebih dekat. Namun, bagaimana jika Kapolda dan rombongan keluar? Keputusan sudah final, harus ada foto.
Meminjam sepeda motor teman yang remnya lengket dengan ban sehingga harus digas lebih kencang, saya dan Izan mendekati sumber api. Tentu saja berbekal kartu pers. Sekitar 300 meter dari tempat kebakaran, kami berhenti. Hawa panasnya terasa, menciutkan nyali. Ingat, tidak ada foto seharga nyawa.
Dari sanalah, saya memotret, tepat ketika mobil pemadam melintas. Foto yang menjadi halaman muka Kompas edisi Selasa (30/3/2021) itu sebenarnya kurang menarik. Masih banyak foto yang jauh lebih berbicara. Namun, mungkin begitulah cara Kompas mengapresiasi karya jurnalisnya.
Baca juga : Gempa Malang Memberiku Pelajaran tentang Ketakutan dan Kehidupan

Mobil pemadam kebakaran melintas di depan kobaran asap dari kawasan Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (29/3/2021). Tangki di kawasan tersebut meledak pada Senin dini hari. Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Indramayu mencatat, setidaknya 20 orang luka-luka.
Saat kembali ke Desa Majakerta, Kapolda dan rombongan belum keluar. Telepon kembali berdering. Nomor Jakarta. Ternyata, radio Sonora (grup Kompas Gramedia) meminta live terkait situasi di Balongan. Ini pertama kali saya live di radio. Dulu, waktu SMP, saya sering menelepon ke radio untuk kirim salam. Kepada siapa, saya lupa.
Setelah menunggu, Kapolda tak kunjung keluar juga. Ternyata, rombongan sudah berangkat melalui gerbang yang lain menuju Pendopo Bupati. Tidak ada wawancara. Awak media pun bergeser. Sayangnya, Kapolda sudah lebih dulu masuk ke pendopo. Hanya beberapa wartawan yang berjagadi sana, mendapatkan wawancara.
Setelah sakit di saluran pencernaan pada akhir 2018 dan dirawat belasan hari di rumah sakit, saya lebih selektif memilih makanan dan menjaga pola makan meskipun kadang masih keluar jalur.
Tangan saya sempat gemetar. Mungkin belum sarapan dan kurang tidur. Boleh jadi juga tergiur nasi ayam yang dibagikan kepada pengungsi. Untung saja ada biskuit dari istri. Setelah sakit di saluran pencernaan pada akhir 2018 dan dirawat belasan hari di rumah sakit, saya lebih selektif memilih makanan dan menjaga pola makan meskipun kadang masih keluar jalur.
Akhirnya, Kapolda keluar. Saya dan Aray, jurnalis Kompas TV, menghadang beliau dan meminta wawancara kedua kalinya. Lebih baik kami dimarahi Kapolda dibandingkan tidak mendapatkan informasi dari pihak berwenang.
Saat itu, Kapolda menyatakan akan menyelidiki penyebab ledakan. Untuk sementara, diduga terjadi kebocoran tangki dan sambaran petir. Belakangan, Badan adan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak menemukan sambaran petir saat kejadian di Balongan.

Potret kobaran asap dari kawasan Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (28/3/2021). Tangki di kawasan tersebut meledak pada Senin dini hari. Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Indramayu mencatat, setidaknya 20 orang luka-luka.
Ledakan itu terjadi pada Senin (29/3/2021) pukul 00.57. Luas area tangki berisi bahan bakar minyak yang terbakar sekitar 2 hektar dari total 180 hektar area Pertamina Balongan. Dari 72 tangki di area kilang berkapasitas 1,35 juta kiloliter (kl), ada 4 tangki terdampak dan kehilangan sedikitnya 23.000 kl.
Ledakan dan kebakaran mengakibatkan 29 warga luka ringan dan 6 orang luka berat karena terbakar. Belakangan, dua di antaranya meninggal dunia. Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Indramayu juga melaporkan seorang warga meninggal dunia karena serangan jantung saat ledakan. Ratusan warga mengungsi dan lebih dari 3.000 rumah dilaporkan rusak.
Beruntung, saya tidak sendirian. Peristiwa besar tersebut membutuhkan personel. Bantuan pun datang dari Purwakarta.
Baca juga : Di Balikpapan, Aku Menjadi ”Dukun” Dadakan
Dikira pengungsi

Anak-anak pengungsi insiden ledakan tangki Pertamina RU VI Balongan mendengarkan dongeng Samsudin dari pegiat Dongeng Trauma Healing Indramayu, di Pendopo Bupati Indramayu, Indramayu, Jawa Barat, Senin (29/3/2021).
Halo, saya Melati Mewangi biasa dipanggil Mel, wartawan Kompas untuk Karawang, Purwakarta, dan Subang sejak tahun 2019. Bersama Abdullah Fikri Ashri, saya mengawal daerah pantai utara Jabar. Kejadian di kawasan penting sejak zaman kolonial ini coba kami kerjakan bersama. Ledakan tangki Pertamina membawa kami kembali berkolaborasi.
Senin pagi, Kepala Biro Kompas Jabar Cornelius Helmy meminta saya segera ke Indramayu. Telepon seluler saya bergetar dua kali. Semula, saya mengira itu hanya suara alarm, jadi dibiarkan tetap berbunyi. Melodinya, kan, indah.
Tidak mudah mencari angkutan umum di situasi pandemi, apalagi dengan persyaratan tes cepat antigen. Saya pun memilih mengendarai motor kesayangan. Rasanya lebih ayem membawa kendaraan sendiri.
Saya tetap fokus memperhatikan air panas dalam teko yang akan mendidih. Tak selang lama, nada dering yang muncul berbeda. Benar saja, pesannya, ”Mel, monitor. Pesen kereta Mel ke Indramayu. Kamu DLK (dinas luar kota) ke sana bantu Iki. Turun di Jatibarang abis itu pesen ojek onlen sampe TKP”.
Saya segera menelepon balik Kabiro untuk meminta arahan. Katanya, penugasan berlangsung sekitar dua hari di lokasi sekitar kebakaran tangki Pertamina RU VI Balongan. Tidak mudah mencari angkutan umum di situasi pandemi, apalagi dengan persyaratan tes cepat antigen. Saya pun memilih mengendarai motor kesayangan. Rasanya lebih ayem (tenteram) membawa kendaraan sendiri.

Pantauan arus balik libur Natal di ruas jalur pantai utara Karawang, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/12/2020) sore. Kendaraan dari arah Cirebon menuju Jakarta mulai memadati jalan menjelang sore hingga malam hari.
Penugasan dadakan menjadi hal biasa bagi wartawan. Di sudut lemari, saya selalu menyiapkan tas berisi pakaian yang bisa dipakai tiga hari. Isinya, antara lain, alat mandi dan obat-obatan. Dengan begitu, penugasan ke Indramayu kemarin tidak membutuhkan waktu lama bersiap diri.
Sekitar pukul 09.30, saya berangkat dari rumah di Purwakarta menuju Indramayu. Jalur pantura siang itu begitu lowong, saya bisa memacu kecepatan hingga lebih dari 80 kilometer per jam. Idealnya, waktu tempuhnya sekitar 3 jam, tetapi perjalanan saya hanya sekitar 2 jam.
Setibanya di lokasi, saya memberi kabar kepada Kabiro. ”Eh, kamu itu ngebut, ya? Jangan kamu ngebut-ngebut. Pantura itu. Aku dulu aja pernah jatuh. Padahal, aku yakin lebih lihai dari kamu,” begitu pesan beliau kepada saya. Maklum saja, beberapa kali saya pernah jatuh dari motor, terkadang agak mengkhawatirkan.
Saya pun bertemu dengan Mas Iki di pendopo. Sejak dini hari, banyak warga yang mengungsi ke tempat ini. Mereka tidur beralaskan karpet. Di dekat tiang pendopo, kami duduk lesehan menyelaraskan kaki. Tak selang lama, saya dihampiri oleh seorang sukarelawan. Dia menawari saya makanan karena mengira saya adalah pengungsi.
Baca juga : Menjadi ”Korban” Saat Liputan Bencana

Sejumlah warga Desa Mulyasari, Kecamatan Pamanukan, Subang, Jawa Barat, mengungsi di bawah jalan layang Pamanukan, Kamis (27/2/2020) malam. Mereka tidur tanpa sekat dan beralaskan tikar dan busa.
Mas Iki tertawa lepas. Sejujurnya, ini bukan kali pertama saya dianggap pengungsi. Saat liputan banjir di Subang tahun lalu, hal serupa terjadi. Masih terngiang betul kalimat penghiburan ini, ”Besok banjirnya pasti surut, yang tabah, ya, Neng. Silakan diambil rotinya.” Tanpa kamuflase khusus, ternyata penampilan saya ini melebur bersama pengungsi.
Malam harinya, saya beristirahat di salah satu penginapan tak jauh dari lokasi pengungsian di Bumi Patra Pertamina. Malam itu, hujan turun deras sekali. Akibat hujan dan minimnya saluran pembuangan, banjir mendera. Motor saya terendam setengah badan. Panik, enggak? Tentu saja. Apalagi, pagi itu ada agenda kunjungan Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum ke lokasi kebakaran dan pengungsian.
Saya meminta bantuan petugas satpam untuk memindahkan motor ke tempat lebih tinggi. Saya coba secara manual menyalakan mesin motor matik itu sampai berkali-kali. Namun, nihil. Ingin rasanya meminta bantuan, tetapi tidak ada satu pun orang yang lewat di gang. Rasanya seperti mau pingsan. Akhirnya, mesin hidup. Entah pijakan ke berapa. Tugas liputan pun tertunaikan.
Lebih kurang selama lima hari saya menyelami kisah para penyintas dan sukarelawan. Waktu juga mengajari saya memahami sedikit demi sedikit bahasa Indramayu yang berbeda dengan bahasa Jawa. Mewawancarai korban bencana tidak bisa sembarangan. Saya harus memulainya dengan menanyakan kabarnya dan kronologis, bukan ”apakah ada firasat sebelum ledakan?”
Baca juga : Disangka Korban Prostitusi yang Kabur

Para sukrelawan memasak di dapur umum pengungsian Bumi Patra Pertamina, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (2/4/2021) siang. Dalam sehari, mereka memproduksi sekitar 3.600 porsi makanan.
Kami bertemu orang-orang tangguh. Wahyudin (39), salah satu penyintas, misalnya, memilih melayani sesama pengungsi. Pekerja serabutan ini terjaga ketika lebih dari 800 pengungsi terlelap. Ia baru bisa makan saat nasi dan lauk di dapur umum siap disajikan kepada para penyintas.
Kami juga berjumpa dengan Bu Suci Munaroh (46), Bu Susilawati (35), dan Pak Caswa (48). Ketiganya membantu di dapur umum untuk memproduksi sekitar 1.200 porsi untuk sekali makan. Artinya, dalam sehari mereka harus memasak total 3.600 porsi dengan menu lengkap berupa nasi, lauk, dan sayur.
Beberapa sukarelawan memiliki usaha kecil atau mata pencarian lain. Ketika mendapatkan panggilan darurat menjadi sukarelawan, usaha kecil mereka terhenti sementara. Memang, hidup tak boleh hanya mengejar materi, tetapi juga bermakna untuk sesama. Tak berlimpah materi bukan menjadi penghalang untuk terus berbagi.
Kami belajar banyak. Meliput ledakan tangki Pertamina di Balongan tidak perlu ikut ”meledak”, panik, dan akhirnya tidak melihat situasi secara jernih. Namun, masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Melati selalu disangka pengungsi? Soal ini tentu jauh lebih gampang dibandingkan apa penyebab ledakan di Balongan yang hingga kini masih misteri?
Baca juga : Bahagia Bersama Ikan-ikan Lokal di Waduk Jatiluhur