Terisolasi dan Dievakuasi Saat Banjir
Mobil dobel kabin yang mengevakuasi kami tidak bisa masuk sampai ke kompleks sehingga kami harus berjalan kaki sejauh 500 meter menuju titik penjemputan. Mobil evakuasi itu hanya mengantar kami sampai Jalan Pramuka.
Banjir yang melanda 11 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan pada awal tahun 2021 masih segar di ingatan. Meskipun sudah lewat tiga bulan, noda bekas banjir yang menempel di tembok rumah belum hilang. Setiap kali turun hujan lebat, masih ada rasa waswas. Jangan-jangan air di bawah kolong rumah naik lagi.
Rumah kediaman kami di Kota Banjarmasin adalah rumah panggung yang dibangun di atas lahan rawa. Air di bawah kolong rumah tak pernah kering. Tak heran jika kolong rumah menjadi habitat hewan air. Di situ ada berbagai jenis ikan, bahkan kadang-kadang ada juga ular dan biawak. Namun, selama ini permukaan air tidak pernah mencapai lantai rumah.
Tak pernah terbayangkan, pada pertengahan Januari lalu, air di bawah kolong rumah meninggi dan meluber ke mana-mana sehingga menyebabkan saya dan keluarga turut menjadi korban dan penyintas banjir. Tempat tinggal kami yang merupakan daerah pengembangan baru di Banjarmasin terkena dampak banjir cukup parah.
Baca juga : Banjir Besar di Kalsel, Potret Suram Kerusakan Alam
Ancaman banjir mulai dirasakan pada Kamis (14/1/2021). Pagi hari itu, air mulai merendam jalan kompleks depan rumah. Hujan lebat yang turun sejak dini hari tak kunjung reda. Hujan seperti itu bahkan sudah turun sejak beberapa hari sebelumnya dan mengakibatkan banjir di sebagian wilayah Kabupaten Banjar, yang berbatasan dengan daerah kami, Kecamatan Banjarmasin Timur.
Saat pergi liputan pada Kamis pagi, saya harus menembus hujan lebat dan melewati genangan air sepanjang jalan kompleks perumahan. Kompleks perumahan kami yang dibangun pengembang pada 2018 berada paling ujung. Untuk mencapai jalan protokol terdekat, yakni Jalan Pramuka, jaraknya sekitar 2 kilometer dan harus melewati jalan tembus dari kompleks ke kompleks.
Hari itu, saya liputan kegiatan pencanangan vaksinasi Covid-19 yang digelar Pemprov Kalsel di Gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin. Lokasi acara tersebut berjarak lebih kurang 8 kilometer dari rumah. Pada hari itu, kami diminta membuat reportase langsung tentang pencanangan vaksinasi di berbagai daerah.
Hujan lebat baru reda setelah lewat tengah hari. Saya memutuskan balik ke rumah setelah membeli makanan cepat saji. ”Cepat balik, air semakin naik. Tadi juga ada ular masuk ke halaman rumah,” kata istri saya lewat telepon.
Baca juga : Kalsel Masuk Masa Transisi Darurat ke Pemulihan Pascabencana Banjir
Dalam perjalanan pulang, istri kembali menelepon, memberi tahu bahwa temannya mau mengirim makanan ke rumah. Namun, mobil taksi daring yang mengantar makanan tidak berani masuk dan terjebak di Jalan Pramuka. Saya lalu mendatangi taksi daring itu untuk mengambil kiriman makanan.
”Wah, kayaknya sepeda motormu juga tidak bisa menembus,” ujarnya sambil melihat sepeda motor bebek saya. ”Tadi saya juga sudah coba masuk. Tetapi, mesin tiba-tiba mau mati. Daripada mogok, saya mundur saja,” kata pengemudi taksi daring yang mengendarai mobil Honda Mobilio itu.
Setelah menerima kiriman makanan, saya coba menembus genangan air yang sudah semakin dalam. Waktu itu, sebagian sepeda motor warga sudah tidak berani lewat dan dititipkan di area parkir hotel dan minimarket di Jalan Pramuka.
Dengan gigi satu, saya terus memacu sepeda motor melewati genangan air sepanjang 2 km. Di beberapa ruas jalan tembus kompleks, tinggi banjir sudah mencapai 50 sentimeter. Syukurlah mesin sepeda motor saya tidak mati hingga sampai di rumah.
Dikepung banjir
Memasuki Jumat (15/1/2021), hujan masih turun dan air terus naik. Halaman, teras, dan kamar mandi yang posisinya agak rendah dari lantai rumah sudah terendam air. Sepeda motor saya juga sudah tidak mampu lagi menembus genangan air dan hampir mogok saat dipakai untuk mengevakuasi seorang warga lansia di kompleks perumahan.
Hari kedua itu, kompleks perumahan kami mulai terisolasi karena sudah dikepung banjir. Rumah-rumah warga, area persawahan, dan kebun buah-buahan di sekitarnya sudah terendam. Di tengah gerimis, sebagian warga mulai mengungsi. Liputan saya pun tidak jauh-jauh. Saya memotret warga yang mengungsi dan warga lansia yang dievakuasi.
Saya belum berpikir untuk mengungsi karena air belum masuk rumah. Apalagi, kalau sudah mengungsi, bakal susah mencapai lokasi banjir untuk liputan karena tak ada kendaraan operasional. Dengan bertahan di rumah justru tetap bisa liputan dan membuat berita, bahkan bisa dapat foto-foto bagus dan eksklusif.
Air terus naik memasuki hari ketiga. Persediaan bahan makanan di rumah sudah habis karena kami hampir tidak pernah menyimpan banyak stok makanan di rumah. Sabtu (16/1/2021) pagi itu, kami hanya makan mi telur. Itu adalah stok mi dan telur terakhir. Persediaan beras juga habis. Hari itu sudah semakin susah mau keluar dari kompleks.
Baca juga : Hari Ketiga Banjir di Kota Banjarmasin
Daripada kelaparan di tengah musibah, saya dan istri memutuskan keluar untuk belanja ke minimarket di Jalan Pramuka. Anak dititipkan kepada tetangga. Satu-satunya cara adalah dengan berjalan kaki menembus genangan air, yang rata-rata tingginya sudah selutut atau sekitar 40-60 cm. Langkah kaki terasa berat.
Sekitar 700 meter lagi dari Jalan Pramuka, kami melintas di depan rumah Pak Anto, kenalan kami. Melihat saya dan istri berjalan kaki, beliau langsung menawarkan sepeda motor trail-nya. ”Pakai sepeda motor saya saja supaya nanti tidak susah bawa belanjaan. Ini sampai ke depan sana sudah air semua,” katanya.
Di minimarket terdekat, barang makanan ternyata sudah banyak habis.
Berbekal pengalaman mengendarai sepeda motor berkopling, saya pun coba mengendarai sepeda motor trail menembus banjir. Sampai di Jalan Pramuka, semuanya sudah terendam. Banyak sepeda motor jenis automatic dan bebek yang mogok. Di tengah jalan raya itu, warga sudah bisa menggunakan perahu.
Di minimarket terdekat, barang makanan ternyata sudah banyak habis. Kami pun harus menyusuri Jalan Pramuka lagi untuk mendatangi minimarket yang lain. Di situ ternyata juga sama. Mi instan yang tersisa hanya varian pedas. Makanan kaleng juga kosong. Untungnya beras dan beberapa jenis biskuit masih ada.
Sambil berbelanja, saya masih menyempatkan memotret kondisi terkini banjir di Banjarmasin. Banjir yang menurut warga belum pernah terjadi sebelumnya. Jalan Pramuka benar-benar berubah menjadi seperti sungai.
Tiba di rumah sudah sore. Badan terasa pegal karena berjalan kaki membawa barang belanjaan melewati genangan air. Sebagian barang yang dicari juga tidak didapatkan. Yang penting malam itu bisa makan nasi.
Saya kemudian mengetik berita dan mengirim foto-foto banjir. Selesai kerja sekitar pukul 22.00 Wita, tetangga memanggil saya. Ketika keluar rumah, saya melihat beberapa tetangga datang bersama anggota barisan pemadam kebakaran. Mereka menarik perahu karet berisi barang kebutuhan pokok.
”Bang, ada sumbangan sembako untuk warga kompleks kita. Bisakah barangnya dititip di rumah pian (kamu) dulu? Besok, baru kita bungkus dan bagikan ke warga kompleks yang masih bertahan,” kata Daus. Saya dan istri pun mengiyakan dan mempersilakan.
Kalau ada yang berjalan di depan rumah dan menimbulkan riak, air masuk ke rumah.
Di antara barang-barang itu, sebagian adalah mi instan. Siang tadi, betapa susahnya kami mencari mi instan di minimarket. Tak disangka, malam harinya langsung ada yang datang mengantar mi instan untuk warga.
Mengungsi
Minggu pagi, air semakin naik. Tinggal sejari lagi dari lantai rumah. Kalau ada yang berjalan di depan rumah dan menimbulkan riak, air masuk ke rumah. Kami pun berpikir untuk mengungsi karena hujan masih terus turun. Si kecil juga tak bisa dilarang main air. Badannya mulai panas dan timbul ruam.
Sejak pagi, ibu-ibu kompleks sudah berkumpul di rumah untuk membungkus bantuan bahan pokok menjadi 60 paket. Saat itu, warga kompleks yang terdata masih bertahan ada 55 keluarga. Lebih dari 50 keluarga sudah mengungsi.
Ketika hendak pergi mengungsi ke salah satu hotel, kami masih harus menunggu warga mengambil paket bahan pokok di rumah. Karena itu, kami baru bisa meninggalkan rumah ketika sudah menjelang maghrib. Saya dan istri membawa anak kami yang berusia 6 tahun, sedangkan tetangga membawa anaknya yang baru berusia 6 bulan.
Mobil dobel kabin yang mengevakuasi kami tidak bisa lagi masuk sampai ke kompleks sehingga kami harus berjalan kaki sejauh 500 meter menuju titik penjemputan. Mobil evakuasi itu hanya mengantar kami sampai Jalan Pramuka. Kemudian, kami mencegat mobil dobel kabin Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin yang melintas untuk mengantar sampai hotel di Jalan Ahmad Yani.
Mobil berjalan pelan di Jalan Pramuka dan kerap berhenti untuk mengevakuasi warga dan sepeda motor yang mogok di jalan. Hari itu, perjalanan dari rumah ke Hotel Amaris Banjar yang jaraknya cuma 6,5 km hampir 2 jam. Padahal, biasanya bisa ditempuh dalam waktu 15 menit.
Sebelumnya hanya meliput bencana banjir. Saya yang mendatangi lokasi bencana, bukan bencana yang mendatangi kediaman saya.
Setelah tiba di hotel, sekitar pukul 21.00 Wita, teman istri kembali mengirim makanan. Malam itu, hujan juga lebat disertai angin kencang. Lewat grup Whatsapp, beberapa warga yang masih bertahan di kompleks melaporkan bahwa air terus naik. Kami bersyukur karena telah berada di tempat yang aman. Ini pertama kalinya kami menginap di hotel sejak pandemi Covid-19.
Setelah empat hari mengungsi di hotel, kami memutuskan kembali ke rumah. Waktu itu, air mulai surut meskipun teras, kamar mandi, dan halaman rumah masih terendam. Seperti saat pergi mengungsi, kami juga mencegat mobil apa saja yang masuk ke Jalan Pramuka saat pulang. Mereka selalu mau memberi tumpangan.
Baca juga : Solidaritas Tak Putus Mengalir Selama Banjir
Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan bencana banjir. Sebelumnya hanya meliput bencana banjir. Saya yang mendatangi lokasi bencana, bukan bencana yang mendatangi kediaman saya. Namun, di saat bencana, saya menjumpai banyak orang baik. Mereka peduli dan membantu dengan tulus. Orang baik ternyata selalu ada di saat malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih.