”Open Trip” di Bunaken yang Bikin Sakit Hati dan Kepala
Kalau saja bukan karena alam bawah laut Bunaken yang indah, tamasya itu akan jadi salah satu penyesalan saya tahun ini, cuma gara-gara foto yang tidak seberapa.

Wisatawan memberi roti kepada ikan-ikan di perairan Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/3/2021). Bunaken yang mendatangkan pemasukan negara bukan pajak sebesar Rp 7,8 miliar selama 2015-2019 tetap menjadi destinasi andalan pariwisata di Sulut.
Terkadang jawaban paling menarik dari narasumber terlontar ketika dirinya tidak tahu sedang diliput. Saat itulah respons yang mereka beri bisa sangat asli dan tidak jarang sarkastik. Bagi wartawan, jawaban-jawaban seperti itu justru bisa jadi bahan bagus untuk tulisan.
Satu jawaban serupa saya temui akhir Maret 2021 ketika meliput bagaimana pelaku usaha lokal di Manado, Sulawesi Utara, menerapkan protokol kesehatan pencegah Covid-19 dalam kegiatan wisata. Kebetulan, pemerintah pusat dan daerah sedang mengampanyekan standar kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (cleanliness, health, safety, environment sustainability/ CHSE).
Tujuan standar CHSE—dengan penerapan protokol kesehatan sebagai jantungnya—adalah mengembalikan kepercayaan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, untuk kembali melancong dan berpelesir. Namun, sejauh manakah kepatuhan pelaku pariwisata?
Satu destinasi di Sulut yang tidak pernah kehilangan penggemarnya adalah Taman Nasional Bunaken, yang telah memunculkan pelaku-pelaku usaha jasa tamasya terbuka (open trip). Wisata seperti ini yang saya anggap bagus dijadikan bahan liputan karena orang-orang yang mungkin tak pernah saling bertemu akan dikumpulkan untuk berwisata bersama.

Pemandu wisata mengukur suhu tubuh dan memberikan cairan penyanitasi tangan kepada peserta tamasya terbuka dengan destinasi Pulau Nain, Siladen, dan Bunaken di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (27/3/2021). Protokol kesehatan standar, seperti pengukuran suhu tubuh, diterapkan untuk kembali membangkitkan pariwisata.
Karena itu, saya menghubungi HT, pemilik salah satu agen open trip yang menawarkan perjalanan ke tiga pulau, yaitu Nain, Siladen, dan Bunaken. Lewat Whatsapp, saya mendaftarkan diri dalam trip Sabtu (27/3/2021). Biayanya Rp 200.000 per orang, sudah termasuk pemandu wisata, air minum, makan siang, dan dokumentasi foto tanpa batas.
Tidak lupa HT menyatakan layanannya menerapkan protokol kesehatan. Ia menyediakan termometer (thermogun) untuk menapis orang yang kemungkinan mengidap Covid-19 serta cairan penyanitasi tangan untuk mencegah kontaminasi virus di tempat umum.
HT juga mengatakan, satu rombongan berisi 25-30 orang dan akan diantar dengan satu perahu motor. Sepengetahuan saya, perahu motor yang beroperasi antara Manado dan Bunaken hanya memiliki tempat duduk di sisi kanan dan kirinya. Besar kemungkinan puluhan orang peserta harus duduk berdekatan satu sama lain.
Karena itu, saya bertanya apakah kuota peserta itu sudah mempertimbangkan prinsip jaga jarak sesuai protokol kesehatan. Jawaban HT di luar dugaan. Ia bukannya berusaha meyakinkan, tetapi malah mengatakan, ”Maaf Pak, kalau ragu bisa private trip aja,” tulisnya dengan menyertakan tiga emotikon namaste.

Wisatawan berenang bersama beragam ikan di perairan Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (27/3/2021). Bunaken yang mendatangkan pemasukan negara bukan pajak sebesar Rp 7,8 miliar selama 2015-2019 tetap menjadi destinasi andalan pariwisata di Sulut.
Ia kemudian mengirimkan biaya paket wisata pribadi ke tiga pulau, dimulai dari Rp 3,25 juta untuk satu sampai dua orang. Biaya naik Rp 250.000 untuk setiap satu sampai dua orang tambahan. ”Pakai kapal (perahu) sendiri lebih aman,” imbuhnya.
Saya jadi merasa kikuk, lebih tepatnya cegek dalam istilah yang kerap digunakan orang Surabaya. Saya memang ingin liputan sambil berlibur, tetapi tentu saja saya tidak mungkin (mau) membayar Rp 3,25 juta. Perbedaan harganya sangat jauh dari Rp 200.000 untuk open trip.
Jadi, saya cuma bisa merespons, ”Oke Pak…. Saya coba open trip dulu. Terima kasih.” Saya bersyukur percakapan itu tidak terjadi langsung secara tatap muka. Toh, karena jawaban itu juga saya mendapat gambaran pandangan pelaku pariwisata terhadap penerapan standar CHSE dan protokol kesehatan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merumuskan standar CHSE agar pariwisata bisa cepat rebound, memantul tinggi setelah jatuh. Kejatuhan pariwisata nasional bisa diukur dari 4,02 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada 2020, terjun bebas dari 16,11 juta kunjungan pada 2019. Belum lagi ribuan atau bahkan mungkin jutaan orang kehilangan pekerjaan karena roda pariwisata berhenti.
Jumlah kunjungan wisatawan ke Sulut juga turun dari 129.587 pada 2019 menjadi hanya 23.031 pada 2020. ”Wisman” itu pun didominasi tenaga kerja asing dari China yang hanya transit di Manado sebelum melanjutkan perjalanan ke Sulawesi Tengah atau Tenggara, sebagaimana tak disangkal Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw dua pekan lalu.

Kota Manado degan latar belakang Gunung Manadotua terlihat dari Bukit Tetetana, Kelurahan Kemelembuai, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Rabu (7/8/2019). Dari atas bukit ini wisatawan dapat melihat hamparan lanskap Kota Manado, Gunung Klabat hingga Teluk Bunaken.
Sakit hati dan kepala
Beruntungnya, pada hari-H open trip, peserta yang terdaftar hanya 15 orang. Kebanyakan peserta datang berdua. Perahu pun relatif lengang. Masing-masing hanya berdekatan dengan orang yang mereka kenal, tetapi menjaga jarak dengan yang asing. Ada pula yang memilih duduk di haluan perahu sepanjang perjalanan.
Namun, saya tidak menyangka perjalanan hari itu ternyata bakal bikin agak makan hati. Tamasya ke tiga pulau memakan waktu cukup lama, mulai pukul 07.30 sampai sekitar 17.30 Wita dengan urutan Pulau Nain, Siladen, lalu Bunaken yang jadi tempat snorkeling.
Saya mengira akan ada kegiatan khusus di dua pulau pertama, tetapi rupanya hanya berfoto ria. Pertama, di timbulan pasir putih beberapa mil dari Pulau Nain setelah berlayar 2 jam. Kedua, di pondok-pondok penginapan yang menghadap laut dengan latar Manado daratan di Pulau Siladen setelah 1 jam berlayar dari Nain.
Sepanjang perjalanan, pemandu wisata kami lebih banyak diam. Di dua pemberhentian awal, dia hanya menjadi fotografer dengan kamera dan drone-nya. Tujuannya tentu agar peserta punya bahan untuk diunggah ke Instagram atau media sosial lainnya.

Peserta tamasya terbuka turun dari perahu menuju pesisir Pulau Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (27/3/2021).
Sesampainya di Bunaken, ia mengajak kami berfoto berdiri di depan bangunan tulisan ”Bunaken” dekat dermaga. Kemudian, ia meminta kami menuju meja-meja warung di tepi pantai, di mana kami bisa memesan es kelapa muda atau pisang goreng.
Beberapa menit kemudian ia datang, tetapi langsung pergi menghilang di antara gubuk-gubuk warung. Padahal, beberapa peserta termasuk saya menunggu arahan persiapan snorkeling. Karena saya berinisiatif mencarinya.
Tidak dinyana, saya menemuinya sedang duduk di kursi panjang gubuk kios persewaan alat snorkeling sambil bermain ponsel dengan satu kaki diangkat ke atas kursi. ”Eh, yang mau snorkeling langsung ke sini, ya,” katanya. Sesaat kemudian ia mengirim pesan di grup Whatsapp open trip kami, ”Siapa yang mau snorkeling?”
Kami pun menyewa peralatan selam dari kios gubuk itu, kacamata dan pipa snorkel, baju selam (wetsuit), serta sepatu sirip (fins). Pemilik kios memilihkannya secara acak bagi kami sesuai dengan perkiraannya akan ukuran badan kami.

Pemilik perahu sampan menunggu wisatawan di timbulan pasir dekat Pulau Nain, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Sabtu (27/3/2021). Pulau Nain adalah salah satu destinasi yang kerap dipaketkan bersama Pulau Siladen dan Bunaken di Manado dalam tamasya terbuka tiga pulau.
Pemilik kios tidak berusaha meyakinkan kami bahwa peralatannya sudah steril, sedangkan enam peserta open trip yang menyewa alat, termasuk saya, hanya saling lirik karena sungkan untuk bertanya. Sebagian kemudian menyemprot pipa snorkel sewaan itu dengan penyanitasi tangan.
Singkat cerita, kami yang menyewa alat jadi snorkeling, begitu pula tiga peserta lain yang tak menyewa alat. Mereka mengomel, mengapa tidak diminta mempersiapkan diri juga. Alhasil, mereka terjun ke air dengan hanya berbekal pelampung dari perahu meski gelombang sedang tinggi.
Puncak dari rentetan kekesalan adalah ketika pemandu wisata kami menyuruh kami berfoto di atas tebing curam di perairan Bunaken. Ia meminta kami mendorong diri agar ke bawah air agar tampak melayang dalam foto. Namun, saya kesulitan, terutama dalam keadaan takut karena gelombang tinggi dan kuat.
Seorang pemandu selam yang mendampingi kami pun mengatakan akan membantu ”menenggelamkan saya, dan saya mengiyakan. Ia pun mendorong bahu saya ke bawah dengan kuat agar saya turun agak dalam. Namun, ternyata napas saya tidak cukup panjang sehingga saya dengan panik meronta mendorong diri ke permukaan.
”Jangan panik! Kalau di laut intinya jangan panik. Tahan napas saja di bawah, jangan buru-buru! Coba lagi, ya,” katanya.

Wisatawan mengambil foto bawah laut di perairan Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/3/2021). Bunaken yang mendatangkan pemasukan negara bukan pajak sebesar Rp 7,8 miliar selama 2015-2019 tetap menjadi destinasi andalan pariwisata di Sulut.
Dia kembali mendorong bahu saya agar ke bawah. Namun, kali ini dia membenamkan saya semakin dalam dengan mendorong kepala saya kuat-kuat. Saya berusaha menahan napas, tetapi lagi-lagi napas saya pendek. Kembali saya meronta menuju permukaan, ngos-ngosan.
Sesi foto yang seperti penyiksaan itu kami ikuti beberapa kali. Satu peserta lain yang seorang perempuan ternyata lebih kuat menahan napas daripada saya. Pemandu selam itu pun memujinya, ”Jago juga kamu.” Ia lalu mengomentari saya, ”Kalau Abang enggak kuat tahan napas. Pasti merokok, ya?”
Rupanya tidak cukup menenggelamkan saya dengan menekan kepala saya kuat-kuat. Pemandu wisata itu masih pula menghakimi saya. Saya hanya menjawab saya panik dan bukan perokok.
Kembali di atas perahu, saya sadari kepala saya terasa pening sekali. Mungkin karena pengaruh ditenggelamkan dengan dorongan kuat secara tiba-tiba. Kalau saja bukan karena alam bawah laut Bunaken yang indah, tamasya itu akan jadi salah satu penyesalan saya tahun ini, cuma gara-gara foto yang tidak seberapa.