Jiwa-jiwa Baik di Sepanjang Liputan Bencana
Sepanjang perjalanan tugas, saya sering bertemu dengan orang-orang baik hati yang memberikan ruang hidupnya untuk saya singgahi. Tak jarang, orang-orang itu berada dalam posisi sebagai korban bencana.
Sebagai wartawan foto dengan wilayah cakupan tugas yang luas (satu provinsi), saya kerap berurusan dengan berbagai liputan bencana, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, hingga gunung meletus.
Sepanjang perjalanan tugas demi tugas tersebut, saya sering bertemu dengan orang-orang baik hati yang memberikan ruang hidupnya untuk saya singgahi. Tidak jarang, orang-orang itu berada dalam posisi sebagai korban bencana.
Salah satunya saat saya meliput erupsi Gunung Merapi pada 2010. Setelah beberapa saat mengungsi, warga mulai kembali ke rumah karena aktivitas ”perut” gunung mulai menurun. Saya meliput proses kembalinya mereka, mulai dari tempat pengungsian hingga tiba di rumah masing-masing di Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga : Jadi Wali Wisuda Dadakan di Wisma Atlet Pademangan
Warga pulang beramai-ramai dengan menumpang mobil bak terbuka. Saya masih ingat sekali ekspresi wajah mereka yang semringah meskipun pulang bukan berarti selesai masalah. Biasanya warga akan bertemu beragam masalah baru setelah sekian lama meninggalkan rumah.
Listrik yang padam karena jaringannya terputus, genteng rumah yang hancur, atau lahan pertanian yang rusak akibat terkena abu vulkanik adalah beberapa masalah yang dihadapi warga dalam situasi seperti itu.
Saya mengikuti rombongan dengan naik sepeda motor, lalu memilih fokus mengikuti salah satu keluarga hingga tiba di rumah. Tentu saja dengan seizin mereka.
Di sana, saya dibebaskan memotret aktivitas keluarga ini, saat mereka menginjakkan kaki kembali untuk pertama kalinya setelah sekian lama mengungsi. Tampak genteng rumah pecah-pecah yang membuat atap tak mampu menahan guyuran abu vulkanik yang menimbun lantai rumah.
Sedang asyik-asyiknya mengamati rumah dan mengambil gambar-gambar dari sudut yang saya anggap menarik, tiba-tiba dari arah dapur keluar pemilik rumah sambil membawa teh hangat dan pisang goreng.
Saya terpana. Mereka saat itu pasti sedang gundah gulana melihat kondisi rumah dan ladangnya yang rusak, tetapi tetap menyempatkan diri menjamu sebaik mungkin tamunya.
Baca juga : Mendadak Vaksin Covid-19
Seperti tahu saya merasa sungkan, sang tuan rumah berkata, ”Kalau tidak makan, tidak boleh motret.” Kami lantas bersama-sama menyantap pisang goreng hangat tersebut. Saya terharu.
Mereka yang sebenarnya punya ”hak” untuk mengeluh dan mengharapkan bantuan tetapi malah sebaliknya. Di tengah segala kerepotan, bahan pangan tersisa yang masih mereka punyai, diolah dan disuguhkan untuk saya, ”tamu” yang sebenarnya tidak mereka kenal sama sekali.
Penunjuk arah di Pasir Berbisik
Lain waktu, masih pada tahun yang sama, saya ditugaskan meliput erupsi Gunung Bromo. Saat itu, saya belum lama dipindahtugaskan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Saya tiba menjelang sore, saat kabun turun menyelimuti Desa Ngadisari yang berada di lereng Gunung Bromo yang masuk wilayah Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Saat itu, desa yang biasanya ramai oleh wisatawan itu tampak sepi. Erupsi Gunung Bromo membuat aktivitas wisata mustahil dilakukan. Abu vulkanik mengguyur hingga ke radius sepuluh kilometer lebih dari puncak.
Tidak lama, seorang tukang ojek yang kemudian saya tahu bernama Pak Adi menghampiri. Ia menanyakan maksud kedatangan saya ke kawasan Gunung Bromo yang sedang dalam kondisi erupsi.
Baca juga : Menjadi Korban Saat Liputan Bencana
Setelah sedikit menjelaskan, saya kemudian bertanya, ”Kalau saya besok ingin ke Malang lewat mana ya, Pak?” Maklum, itu pengalaman pertama saya ke sana sehingga benar-benar tidak kenal medan.
”Kalau mau cepat, ya lewat lautan pasir, tapi saya sarankan pagi-pagi sekali biar pasir masih basah dan ban sepeda motor tidak mudah tergelincir,” jawabnya.
”Kalau mau minta diantar bisa, Pak? Berapa biayanya?”
”Lima puluh ribu, Mas.”
Kami pun janji bertemu di titik yang telah disepakati keesokan paginya. Dengan hanya berbalut sarung di tubuh sebagai pengusir dingin, Pak Adi menjadi penunjuk arah saya menuju Malang.
Kami kemudian memasuki kawasan luas yang hanya beralaskan pasir. Dari yang saya baca, kawasan itu dijuluki Pasir Berbisik, mengacu pada lautan pasir yang semakin populer saat dijadikan lokasi shooting film Pasir Berbisik.
Waktu itu, kabut yang turun masih sangat tebal. Tiba-tiba Pak Adi berhenti. ”Mas, kalau lewat sini, gas kenceng saja. Enggak bakal jatuh, kok,” katanya memberi arahan cara berkendara saat melewati lautan pasir.
Baca juga : Panic at The Toilet di Kapal Baruna Jaya IV
Di depan, Bukit ”Teletubbies” telah menunggu. Bentuk bukit-bukit di sini mengingatkan pada perbukitan di serial anak-anak Teletubbies. Saya sempatkan memotret untuk mengenang keindahannya. Lalu saya mengikuti jalan setapak yang ditunjukkan Pak Adi.
Di ujung jalan setapak, Pak Adi berhenti. ”Nanti tinggal ke kanan, Mas akan sampai di Tumpang, Malang.”
Sebagai tanda terima kasih, saya lebihkan pembayarannya Rp 50.000. Namun, tiba-tiba Pak Adi meraih tangan saya. ”Mas, saya sudah cukup. Ini buat Mas saja. Besok kalau main ke Bromo mampir warung saya, ya,” ujar Pak Adi sambil mengembalikan kelebihan uang yang saya berikan.
Ia lantas buru-buru pamit. Masih terheran-heran, saya lalu melanjutkan perjalanan menuju Malang. Sejak itu, saya selalu menyempatkan mampir ke warung Pak Adi saat berkunjung ke kawasan Bromo.
Secangkir teh hangat dan pisang goreng
Lain lagi ketika Desember tahun lalu saya melakukan liputan erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Di lahan kosong tempat saya biasa mengamati Gunung Semeru, ternyata telah berdiri rumah. Padahal, bagi saya dan beberapa teman media lain, lokasi tersebut sangat strategis sekaligus aman untuk mengamati.
Saya datang saat malam telah tiba. Karena rumah tampak gelap, saya beranikan untuk mengetuk pintu. Bagaimanapun, lokasi tempat saya biasa mengamati kini masuk halaman rumah orang dan bukan lagi tanah kosong. Izin pemilik menjadi penting. Jika mereka tidak mengizinkan, mau tidak mau saya harus mencari titik pantauan di tempat lain.
Terlihat lampu di dalam rumah menyala. Seorang ibu keluar. ”Ibu, maaf, saya Bahana dari koran Kompas. Mohon izin untuk numpang liputan di halaman rumah Ibu, ya?” kata saya. ”Oh, silakan saja, Mas.” Ia lalu masuk ke dalam rumah. Lampu di teras kemudian menyala.
Baca juga : Disangka Korban Prostitusi yang Kabur
Ibu tersebut keluar kembali. ”Nanti kalau mau tidur silakan kalau mau di teras, ya,” katanya sambil menggelar tikar yang dibawanya. ”Wah, terima kasih banyak, Bu.”
Ternyata kejutan belum berakhir. Si ibu kembali masuk rumah. Tidak lama ia keluar sambil membawa teh hangat dan pisang goreng. ”Silakan Mas, biar enggak kedinginan,” ujarnya ramah.
Tidak berapa lama, ibu tersebut pamit pergi ke rumah kerabat bersama anaknya karena sang anak trauma akibat sehari sebelumnya terjadi erupsi besar yang disertai suara-suara petir menggelegar.
Keramahan tidak berhenti hanya datang dari ibu pemilik rumah. Keesokan paginya, banyak warga yang berangkat ke sawah menyempatkan diri menyapa dan mengundang datang ke rumah mereka. ”Nanti mampir saja, ada kopi di rumah,” kata mereka.
Mungkin saja kebaikan-kebaikan ”sederhana” ini hal biasa bagi orang lain. Namun, bagi saya yang perantau, kehadiran orang-orang baik seperti mereka mampu mengobati kerinduan saya pada keluarga. Membuat saya merasa tidak sendiri saat bertugas di tempat yang jauh.
Kebaikan-kebaikan itu juga menjadi pengingat bagi saya untuk selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja.
Kebaikan-kebaikan itu terus saya alami dan membantu membuat tugas yang tengah saya kerjakan menjadi lebih ringan. Kebaikan-kebaikan itu juga menjadi pengingat bagi saya untuk selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja. Sebab, sering kali, sebuah liputan yang berhasil bukan hanya dipengaruhi oleh persiapan yang matang, melainkan juga karena didukung oleh orang-orang yang kita temui sepanjang liputan.