Kolor untuk Maryoto
Di tengah keriuhan liputan penangkapan Imam Samudera, saya belanja kolor untuk Mas Maryoto. Pengalaman serba pertama. Pertama kali meliput perburuan teroris, pertama kali belanja kolor untuk lelaki.
Suatu hari di bulan November 2002. Matahari sore merekah cerah di Palmerah. Selasar panjang yang sejuk di muka gedung mulai ramai oleh karyawan yang melintas menuju parkiran untuk pulang. Jam kerja orang kantoran baru saja usai. Tapi, tidak untuk wartawan seperti saya, yang saat itu baru empat bulan berlabuh di kantor ini.
Tiba-tiba Siemens saya berbunyi. Nama FIT terpampang di layar ponsel. Itu inisial Mbak Poppy, redaktur saya di Desk Nasional. ”Sarie bisa enggak ya ke Serang sekarang? Liput penangkapan Imam Samudera. Bareng sama Hermas,” kata Mbak Poppy yang bernama lengkap Fitrisia Martisasi.
Begitulah yang saya rasakan kerja di koran ini. Penugasan sering kali tidak terasa terang-terangan sebagai perintah. Mbak Poppy, redaktur saya yang berhati lembut, pun amat minim mengeluarkan penugasan dalam bentuk kalimat perintah. Kami semacam dididik untuk ”pengertian”, paham sendiri soal apa yang harus dilakukan sebagai wartawan.
Permintaan Mbak Poppy tadi amat penting, meliput penangkapan teroris pengebom dalam peristiwa bom Bali yang terjadi sebulan sebelumnya, 12 Oktober 2002. Kasus yang besar, yang mungkin hampir setiap wartawan merasa bergairah jika berkesempatan terlibat dalam peliputannya.
Segera setelah telepon tadi, kaki setengah berlari menuju redaksi di lantai 3. Lantai keramat, kata orang-orang yang paham. Saya langsung mencari Hermas untuk koordinasi dan siap-siap berangkat ke Serang. Hermas Efendi Prabowo adalah rekan wartawan satu angkatan dengan saya, yang saat itu bertugas di Desk Metropolitan. Ia kini pengusaha di bidang otomotif.
Saya sendiri nemplok di desk pimpinan Mbak Poppy yang mengawal isu politik, hukum, dan humaniora. Saat itu, saya dan Hermas masih dalam masa probation denganstatus cawar alias calon wartawan. Belum punya inisial nama, hanya kode. Kode saya, B14. Rasanya keren betul, merasa diri bagai agen 007 yang tengah menjalankan misi mengejar teroris. Teroris van Banten: Imam Samudera.
Baru bisa ”nyetir”
Tulisan ini tidak akan mengisahkan cerita di balik penangkapan Imam Samudera. Walaupun saya kembali teringat soal itu pascapenangkapan Zulkarnaen, rekan Imam Samudera dalam bom Bali I.
Kisah penangkapan Imam Samudera tentu sudah banyak di berita-berita. Kalau tulisan saya ini sekadar ikhtiar untuk membekukan ingatan pribadi yang mulai pudar. Mengais serpihan-serpihan memori yang menjadi ”kisah pinggiran” pribadi yang saya alami sebagai wartawan. Perburuan Imam Samudera di Serang menjadi titik tolak saya meliput isu-isu terorisme hingga bertahun-tahun kemudian.
Satu jam sejak telepon dari Mbak Poppy, saya dan Hermas sudah melaju ke Serang. Tak sempat lagi pulang untuk mengambil baju ganti. Hanya ada baju yang melekat di badan. Yang lebih penting dan tak boleh terlupa justru perlengkapan kerja, seperti perekam, stok baterai, buku catatan, dan bolpen.
Baca juga : Saat Wartawan Menjadi Anggota KPPS di Tengah Pandemi
Kami memakai mobil kantor, sebuah Jeep Daihatsu Rocky warna kelabu yang terlihat cukup renta. Saat itu, Hermas yang menyetir, saya sendiri belum bisa menyetir mobil.
Di jalan saya baru tahu, Hermas ternyata baru belajar menyetir mobil. Alhasil, kolaborasi antara jip tua dan keterampilan menyetir Hermas yang masih pas-pasan itu membuat mobil kami melaju bagai putri Solo: woles banget, cuy.
Rusaklah imajinasi saya yang serasa tengah memainkan peran sebagai agen 007. Perjalanan Jakarta-Serang lebih mirip pelesir ke luar kota melihat-lihat pemandangan ketimbang perburuan teroris dengan adegan mobil ngebut. Ya, sudahlah.
Di perjalanan, saya sempatkan menelepon ke rumah, memberi tahu Ibu bahwa saya akan berada di Serang beberapa hari ke depan atau entah sampai kapan. Ibu saya pun langsung stres karena dalam dua mingguan ke depan sebenarnya saya akan ijab kabul, menikah!
Kebalikan dengan Ibu yang stres, saya merasa hidup justru sedang seru-serunya saat itu. Rencana pesta pernikahan seolah sekadar sidebar story (cerita sampingan) dari cerita utama yang sedang saya lakoni. Kalau nikah harus ditunda pun sepertinya saya bakalan rela.
Sesampainya di Serang, kami langsung menuju sebuah motel, menyusul wartawan senior kami yang sudah lebih dulu standby di kota itu. Namanya Andreas Maryoto, panggilannya Mas MAR.
Baca juga : Bertemu Istri Santoso di Poso
Di mata saya, Mas Mar ini perwujudannya amat komikal: bisa bikin orang bingung, antara mau serius atau ketawa. Kami bertiga kemudian berencana tinggal dan bekerja di motel tersebut, entah sampai kapan, tergantung kapan urusan teroris-terorisan itu kelar.
Peristiwa bom Bali yang menewaskan lebih dari 200 manusia amat mengentak seantero negeri dan dunia. Walau itu bukan serangan teror yang pertama di Indonesia.
Sebelumnya, ketika masih bekerja di suatu televisi Jepang tahun 2001, saya sempat meliput serangan bom di dua gereja di Jakarta, yang ledakannya tidak besar (belakangan diketahui aksi ini juga dilakukan oleh kelompok yang sama dengan pelaku bom Bali 2002). Hanya saja, ketika itu saya belum sempat mengalami liputan perburuan penangkapan teroris seperti yang saya alami saat menjadi wartawan Kompas.
Di motel tadi, Mas MAR menjadi ”bandar” dari segala informasi yang saya dan Hermas peroleh. Semua informasi ia susun menjadi tulisan gabungan yang utuh, lalu dikirimkan ke redaksi di Palmerah.
Ketika saya dan Hermas tiba dari Jakarta, dia sedang asyik mengetik berita di kamarnya. ”Kamarmu di sebelah ya, Sar. Kamar Hermas sebelah sana. Eh, udah ada info baru lagi belum dari polisi narsum-mu? Tambahin ya di tulisan ini,” ujar Mas MAR.
”Nunggu” bocoran
Sejak bom Bali meledak, polisi-polisi yang menjadi narsum (narasumber) saya sudah beberapa kali memberi bocoran informasi, baik melalui ponsel maupun komunikasi langsung. Ketika itu belum eranya ponsel pintar.
Jadi, bocoran dokumen, seperti berkas pemeriksaan, harus saya dapatkan dengan cara bertemu langsung dengan narsum di tempat yang aman. Tentu tidak seenak di era ponsel pintar saat ini, ketika kita bisa dengan cepat dibanjiri info dalam aneka bentuk: teks, foto-foto, PDF, screen capture, dan sebagainya. Kapan saja, di mana saja.
O, iya, ketika itu Densus 88 belum terbentuk. Polisi kita masih sangat awam dengan urusan menghadapi teroris. Sejumlah polisi yang ketika itu menangani kasus bom Bali 2002 masih bergelut di bidang terorisme hingga sekarang.
Separuh dari mereka kemudian menjadi petinggi-petinggi di Densus 88. Mereka kini bisa punya kehidupan”—artinya beristri dan beranak—setelah belasan tahun hidupnya nyaris habis hanya untuk mengurusi teroris Indonesia yang tak ada habisnya. Tak ada ruang untuk membangun dan mengisi kehidupan pribadi.
Kembali ke soal liputan, selain saya, Hermas, dan Mas MAR, ada rekan seangkatan saya lainnya, yaitu Samsul Hadi, yang turut serta meliput penangkapan teroris di Serang ketika itu. Kami kemudian berbagi tugas.
Ada yang berjaga di kantor polisi setempat, menyambangi beberapa TKP tempat polisi menggelar penggeledahan, atau mendatangi penduduk sekitar TKP. Ada pula yang nempel ke polisi demi mengorek bocoran dari polisi-polisi yang mendampingi sang teroris, Imam Samudera alias Abdul Aziz.
Baca juga : Ketika Saya Harus Memotret Jay Subyakto
Saya sendiri, selain ke beberapa TKP penggeledahan di Serang dan sekitarnya, juga melobi serta menjaga komunikasi dengan polisi-polisi yang bersinggungan langsung dan memeriksa Imam Samudera serta teroris-teroris lain yang telah ditangkap.
Saya juga memantau dan menempeli tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik) Polri. Tidak jarang ikut nebeng di mobil mereka yang ketika itu juga beredar dari TKP ke TKP. Informasi ilmiah dari laboratorium forensik inilah yang juga jadi pegangan penting kerja jurnalistik kami.
Kami bekerja menyebar dengan tugas masing-masing. Bekerja tim, tapi sekaligus soliter. Inilah cara kerja yang paling saya sukai sebagai wartawan di media cetak seperti koran.
Pekerjaan mengontak polisi-polisi narsum sama sekali bukan pekerjaan mudah. Sering kali tidak cukup sekali telepon akan langsung mereka angkat atau sekali SMS langsung mereka balas.
Perlu berkali-kali, bahkan hingga puluhan kali. Itu pun saya harus menjaga ritme, jangan sampai upaya saya mengontak mereka dirasakan annoying sehingga membuat narsum gerah dan malas merespons. Harus tahu ritme. Tarik, lepas, tarik, lepas.
Belanja dulu...
Selagi saya sedang agak lowong di Serang karena putus kontak dengan beberapa narsum polisi, saya bertemu teman wartawan dari Liputan 6 SCTV bernama Aprilia Melissa atau April, sapaan akrabnya. Kini ia menjadi pengusaha gelato, yang cita rasanya bagai gelato di Italia. Gerainya tersebar di Bandung, Jakarta, hingga Medan. Di tengah obrolan dengan April, ia mengajak saya berbelanja. ”Gue mau cari baju ganti nih, Sar. Ikut, yuk,” katanya.
Wah, tentu saja saya mau berhubung tidak bawa baju ganti sama sekali. Saya pun berniat cari pakaian dalam untuk ganti dan perlengkapan sanitasi, seperti sabun, odol, sikat gigi. Kami lalu mampir di sebuah toserba bersahaja yang amat berisik oleh suara pramuniaga yang menawarkan barang lewat pengeras suara. April pun rupanya mencari pakaian dalam.
Saya lalu menelpon Mas MAR, memberi tahu keberadaan saya saat itu. Sekadar menjaga koordinasi untuk antisipasi jika tiba-tiba ada situasi mendadak dan saya harus bergeser lokasi.
“Mas, aku ama anak SCTV lagi belanja baju ganti, ya, udah gatel nih badan. Telepon aja kalau ada apa-apa, ya,” kata saya.
”Wah, aku juga mau dong titip beliin celana dalam, ya, ukuran M,” kata Mas MAR kalem.
Baca juga : ”Mission Impossible” Saat Kecelakaan Pesawat Lion Air
Sejenak saya agak tertegun sebelum segera menjawab oke. Dari selasar pakaian dalam perempuan, saya lalu beringsut ke rak pakaian dalam laki-laki. Menyimak aneka kolor satu per satu dengan berbagai merek. Mas MAR tidak berpesan suatu merek khusus, jadi saya pilihkan saja yang iklan mereknya sering mampir di layar kaca, Rider.
Saya lalu memilih kolor dalam beberapa warna, bukan yang warna putih, biar kalau kotor tidak terlalu tampak, pikir saya. Zaman itu, sebelum era pandemi, standar hygiene wartawan amat rendah. Kami tahan jorok ampun-ampunan.
Sempat tebersit rasa risi membeli kolor untuk rekan kerja. Maklum, saya baru akan menikah dua minggu ke depan. Jadi, belum terbiasa berurusan dengan kolor laki-laki.
Cerita di atas saya tuliskan dengan cukup susah payah mengais-ngais memori 18 tahun lalu. Sebab, peristiwa saat itu bergerak amat dinamis, begitu cepat, membuat saya tak mampu menghayati setiap detik momen yang tengah berlangsung. Banyak bagian dari memori itu yang kini menjadi blur. Apalagi ketika itu kepala disesaki segala informasi terkait urusan berita yang lebih dipentingkan.
Di antara keriuhan dinamika liputan penangkapan Imam Samudera, rupanya masih ada remah-remah memori ”pinggiran” yang mampu menancap kuat di ingatan saya, yakni belanja kolor untuk Mas Maryoto. Pengalaman serba pertama. Pertama kali meliput perburuan teroris, dan pertama kali belanja kolor untuk lelaki. (Bersambung)