Jakob Oetama dalam Kenangan Wartawan ”Kompas”
Memberikan tumpangan mobil hingga memberikan bantuan uang dalam jumlah besar kepada karyawan yang membutuhkan adalah sebagian kecil dari kebaikan Jakob Oetama yang dikenang para wartawannya. Apa lagi kenangan lainnya?
Berpulangnya Jakob Oetama menjadi kehilangan besar dunia jurnalistik Tanah Air, terlebih di kalangan internal Kompas Gramedia, khususnya harian Kompas yang dibangunnya 55 tahun lalu bersama PK Ojong.
Berbagai kesan dan pengalaman berinteraksi disampaikan para tokoh nasional hingga para pembaca koran Kompas saat Pak JO (begitu almarhum biasa disapa) wafat, 9 September lalu. Bagaimana dengan para wartawan Kompas yang sudah pasti intens berinteraksi dengan almarhum di ruang redaksi?
Tentu ada banyak kesan dan kenangan wartawan Kompas terhadap Pak JO. Dua di antaranya berasal dari dua generasi berbeda, Simon Saragih dan Joice Tauris Santi.
Berikut pengalaman Simon Saragih yang lama bertugas di Desk Ekonomi dan belakangan pindah ke Desk Internasional:
”Pak! Pak Jakob meninggal!” seru istri saya yang menonton televisi.
Kompas TV saat itu menyiarkan berita kepergian Bapak Jakob Oetama, Rabu (9/9/2020). Anak-anak yang kebetulan sedang di rumah karena kuliah serba daring lantas seharian turut mengikuti siaran tentang kepergian almarhum.
”Saya kagum dengan Pak Jakob, Pak. Humble banget!” ungkap anak bungsu, Enrique Gianfranco (Iko), 19, yang kuliah di Teknik Kimia ITS, Surabaya.
”Iko, kamu kenal Pak JO?”
”Ya, saat saya SD, kan, Bapak pernah bawa kami semua ke sebuah acara dan Pak Jakob hadir. Tertanam di hati saya sejak itu. Wah, bapak ini humble. Dia datang menyapa Bapak dan mengatakan makanannya enak, ya,” kata Iko. ”Kaya, terkenal, dan ya gitu, deh. Humble,” lanjut anak bungsu.
”Melayat kita, ya,” lanjut Iko. Karena saya masih harus bekerja dan jenazah Pak JO masih di rumah sakit, melayat baru bisa dilakukan pukul 01.00 dini hari, Kamis (10/9/2020).
Istri dan anak-anak mengenal Pak JO melalui acara-acara bersama di Kompas ketika sesekali Pak JO hadir. Kesan mereka serupa, ”Baik banget, ya.” Jawab saya, ”It is.” Memang, sangat baik.
Pak Jakob adalah orang yang memahami dan berempati kepada karyawannya. Sangat sangat berempati. Saya bertugas di Desk Ekonomi saat Pak JO masih relatif muda. Pimpinan desk saat itu Mas Bambang Sukartiono (SK). Di lingkungan Kompas, kami selalu menyapa dengan panggilan Mas atau Bung kepada rekan kerja dan Pak khusus untuk Pak JO. Atau sekalian panggil inisial, seperti saya yang dipanggil MON, sesuai dengan inisial yang saya pilih.
Baca juga: Jakob Oetama yang Peduli Isu Perekonomian
Pernah saya mengeluh karena punggung sakit akibat kelelahan meliput dan menulis. Saat itu, saya harus meliput kebangkrutan Bank Summa karena krisis moneter 1998. Spontan saya sedikit ngedumel, tidak sadar Pak JO turut hadir dalam rapat Desk Ekonomi. ”Ya, jaga kesehatan, Bung. Dan, gantianlah jika salah satu rekan sedang sakit. Bahu-membahu, lha,” demikian Pak JO.
Pak JO tidak hanya senang membesarkan hati karyawannya. Almarhum juga sangat paham kebutuhan para karyawan.
Pada 1996, saya dinas ke New York, Amerika Serikat. Saat kembali ke Tanah Air, bersamaan dengan wafatnya almarhumah Tien Soeharto. Saya sangat ingat, ucapan dukacita berderet di halaman koran berhari-hari. Kompas sampai harus tambah halaman untuk mengakomodasi pemasangan iklan dukacita yang begitu mengalir.
Saat tiba di kantor, di meja saya sudah ada amplop. Isinya, ”Anda dapat jatah mobil.” Besar uang jatah Rp 23 juta cukup untuk saya membeli mobil Kijang Grand Extra 1996.
Saya merasa bersyukur karena menjadi salah satu karyawan berstatus wartawan yang mendapat jatah mobil. Senang sekali rasanya saat itu dan terus terkenang hingga sekarang. Kebahagiaan pun bertambah karena dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya juga mendapat jatah beli rumah.
Bekerja di Kompas dengan bonus-bonus dan THR dua kali, saat Lebaran dan Natal, juga bonus awal tahun serta bonus rutin bulan Juni, sungguh berkat yang tak pernah saya duga. Jika Pak JO ulang tahun, sering kami mendapat tambahan bonus khusus. Demikian juga kala Kompas berulang tahun.
Baca juga: Berburu Joko Tjandra, Berujung Tes ”Swab” PCR
Selama di Kompas, ada rasa syukur tersendiri. Jika sering terdengar orang mengatakan bulan tua atau akhir bulan itu berat, puji Tuhan, belum pernah mengalaminya. Semoga selalu demikian.
Sekali waktu, persisnya pada 2003, ada beban keuangan ekstra yang saya hadapi. Ini menyangkut adik saya yang sedang butuh biaya besar. Saya ingat pesan Pak JO, ”Kalau ada apa-apa, pesankan saja ke sekretaris saya ya, Bung!”
Saat sesak sekali itu saya telepon Bu Etty, sekretaris Pak JO, minta diberi waktu bertemu beliau. ”Bentar, ya, Mas, saya beri tahu Pak JO dulu,” kata Bu Etty.
Tak lama kemudian, saya dihubungi balik oleh Bu Etty, ”Mas MON, besok pagi datang, ya, sebelum jam 9 pagi.”
Saat bertemu beliau saya ungkapkan, ”Pak, minta tolong, saya butuh bantuan Bapak.”
Seperti tanggap, Pak JO lantas bertanya,”Berapa, Bung?” Saya menyebutkan sejumlah angka. ”Baik Bung, langsung ke bagian keuangan ya!” kata Pak JO sambil menuliskan memo.
Bukan itu saja, lewat Pak St Soelarto, juga Maryanto Sunu, almarhum Pak August Parengkuan, almarhum Robby Soegiantoro, dan Pak Ninok Leksono, saya merasakan perhatian Pak JO. Mereka kerap menanyakan kabar dan situasi saya.
Baca juga: Pengalaman Tak Terduga Menuju Dusun Mondoliko yang Terancam Tenggelam
Kalimat ”Jika ada apa-apa, hubungi saja saya, ya” selalu muncul dari Pak JO.
Pak JO sangat suka menyapa karyawannya secara personal. Saya Batak yang merasa tidak terlalu halus saat berhadapan dengan Pak JO yang sangat njawani. Unsur kehalusannya ini membuat saya sering menjaga jarak. Sebab, jangan sampai saya menyakiti perasaan bapak budiman yang superbaik ini.
Suatu siang tahun 1990-an, saya melihat Pak JO dari jauh berjalan ke arah meja-meja kami. Diam-diam saya berbaring di bawah meja agar tak terlihat dan dilewati begitu saja. Saya sungkan untuk bertemu.
”Mana tadi Bung MON, tiba-tiba enggak kelihatan?” tanyanya kepada almarhum GM Sudarta, tidak jauh dari meja saya. ”Di bawah meja, Pak,” demikian Pak GM menjawab Pak JO. Saya tak bisa menghindar lagi dan akhirnya menongolkan diri. Ah, Pak Jakob yang penuh perhatian.
Saya juga ingat saat tsunami di Aceh tahun 2004. Pak JO sedih dan prihatin, wartawan Kompas di Banda Aceh tidak diketemukan hingga sekarang. ”Bagaimana menemukannya, ya? Masih adakah keluarganya yang bisa dihubungi?” kata Pak JO ketika itu. Almarhum Nadjmuddin Oemar, wartawan Kompas biro Banda Aceh itu, berhari-hari dalam pikiran Pak JO.
Baca juga: Liputan Referendum Timor Timur: Menatap Saudarakan Semakin Jauh Melangkah
Begitu juga ketika almarhum Julian Sihombing sedang sakit-sakitan. Pernah saat bertelepon, dia berkata, ”Semoga Bung Julian sembuh, ya. Tetap jaga kesehatan juga ya, Bung” pesan Pak Jakob.
Saya paham betul, Pak JO adalah pemimpin yang baik, dalam ucapan dan lakon. Tidak hanya di lingkungan internal, bagi orang luar di Kompas pun, Pak JO menjadi idola berkat keramahan, kerendahan hati, dan kedermawanannya. Tidak heran jika banyak karangan bunga ungkapan belasungkawa berdatangan ke Palmerah, kawasan kantor Kompas Gramedia.
Saat saya melayat Kamis dini hari, dalam hati saya bergumam, ”Terima kasih Tuhan telah menitipkan bapak yang baik ini ke dunia. Saya bersyukur padamu Tuhan lewat kehadirannya.” In Nomine Patris et Filii et Spiritus Sancti. Amen!
Pengalaman Joice Tauris Santi yang bergabung dengan harian Kompas tahun 1999:
Saya hanyalah satu di antara puluhan ribu karyawan kelompok usaha Kompas Gramedia (KG). Tidak banyak interaksi langsung saya dengan Pak Jakob. Hanya sempat beberapa kali ke ruang kerjanya di lantai 6 bersama rekan-rekan. Namun, ada peristiwa sekitar 20 tahun lalu yang tidak pernah akan terlupa. Ketika itu saya baru masuk Kompas.
Setiap malam, kami mendapatkan penugasan liputan untuk keesokan hari. ”Besok ke sini, ya,” kata editor Desk Politik James Luhulima seraya mengulurkan secarik kertas undangan. Ketika itu, undangan peliputan kerap dikirimkan pengundang melalui faksimile, bukan e-mail seperti sekarang.
Saya harus meliput acara Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) yang bertempat di Hotel Horison, Ancol. Ternyata Pak Jakob juga akan hadir dalam acara tersebut. Saat itu acara membahas seputar menyiasati kenaikan biaya produksi koran akibat harga kertas dan tinta yang semakin mahal seiring pelemahan rupiah di masa krisis.
Pagi-pagi, saya sudah sampai di Horison. Saya melihat Pak Jakob juga sudah hadir.
”Selamat pagi, Pak.”
”Pagi, Mbak.”
Saya menangkap Pak Jakob sempat melirik ke kalung tanda pengenal Kompas saya. Saya lupa, apakah ketika itu tanda pengenal atau keplek saya, begitu di Kompas kami biasa menyebutnya, masih putih atau sudah biru. Calon karyawan yang belum diangkat menjadi karyawan tetap diberikan pengenal dengan foto berlatar belakang putih. Setelah lulus evaluasi dan diangkat menjadi karyawan tetap, kami harus foto lagi dengan latar belakang biru.
”Jauh liputannya ya, Mbak?” tanya Pak Jakob.
”He-he-he, lumayan Pak.”
”You tadi berangkat dari rumah atau kantor? Naik apa?”
”Dari kantor Pak, saya kos di samping kantor. Tadi naik taksi.”
”Setelah acara ini mau ke mana?”
”Balik kantor, Pak.”
”Ya sudah, nanti pulang sama saya.”
Saya sempat menyangka ajakan itu hanyalah basa-basi. Mana mungkin saya pulang bersama Pak Jakob. Mau bicara apa saya, wartawan kemarin sore ini? Saya sungguh sungkan.
Seingat saya, setelah acara selesai, Pak Jakob sempat terlihat bicara dengan beberapa orang. Saya kemudian sengaja berlama-lama mengecek ejaan nama-nama narasumber dengan harapan Pak JO akan pulang lebih dulu. Sepintas, saya tidak lagi melihat Pak Jakob di dalam ruang tempat acara berlangsung. Saya pun lega, lalu berjalan menuju lobi.
”Sudah selesai, Mbak? Ayo pulang.”
Sapaan yang membuat saya rasanya ingin hilang ditelan bumi. Mau tidak mau, saya pun ikut naik mobil beliau.
”Sebenarnya saya hari ini ndak ke kantor, mau pulang ke rumah. Tetapi ndak apa-apa, muter sekilo dua kilo, nanti saya antar ke kantor. You angkatan paling baru, ya?”
”Iya, Pak. Terima kasih ya Pak, enggakdi-PHK.”
Saya masuk Kompas ketika krisis finansial Asia terjadi. Menurut hitung-hitungan ekonomi, memberhentikan karyawan yang belum diangkat sebagai pegawai tetap seperti saya biasanya dijadikan solusi untuk menghemat pengeluaran perusahaan. Pada masa krisis saat itu, terjadi pemutusan hubungan kerja di mana-mana.
”Masih banyak cara Mbak, sebelum melakukan PHK. Kecuali jika memang karyawannya ndak jujur. Saya tidak perlu orang pinter, saya perlu orang jujur. Orang bodo bisa dipoles dan diarahkan untuk menjadi pintar. Tapi kalau orang sudah tidak jujur, sulit,” ujar beliau.
Di masa sulit ketika itu, tidak ada karyawan KG yang diberhentikan.
Di masa sulit ketika itu, tidak ada karyawan KG yang diberhentikan. Perusahaan hanya menunda pengangkatan karyawan yang masuk pada tahun 1997-1998 selama beberapa bulan dan memperpanjang masa percobaan. Memang, ada penundaan beberapa fasilitas. Pengeluaran juga dihemat dengan cara memangkas ukuran koran menjadi lebih kecil dan mengurangi jumlah halaman.
”Dulu sekolah di mana?” tanya Pak JO.
”UI Pak, Sastra China,” ujar saya.
”Oh, ya ya, Pak Swan (Direktur PSDM) pernah cerita. You bisa baca (huruf China)?”
”Bisa, Pak.”
”Bisa nulis?”
”Bisa, Pak.”
”Ada wartawan kita, Abun Sanda, dia bisa bicara (bahasa Mandarin), tetapi ndak bisa nulis, buta huruf dia, ha-ha-ha. Kalau Rene bisa baca tulis,” ujar beliau menyebutkan nama-nama wartawan senior di Kompas, Abun Sanda wartawan Ekonomi yang kini juga telah tiada serta Rene Pattiradjawane yang juga senior saya di UI.
Pak JO kemudian mengatakan, di masa depan, China akan semakin besar dan kuat, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. China sangat penting untuk terus diamati dan diperhatikan. Beliau lalu menyemangati saya untuk terus menjaga ilmu yang telah saya peroleh agar tidak hilang, bahkan mendorong untuk sekolah lagi dan mengembangkan diri.
Hingga saat ini, saya belum berkesempatan mempelajari lagi tentang China. Sejak tahun 2000, nasib dan penugasan membawa saya ke bidang baru yang sebelumnya sama sekali tidak saya minati, yakni ekonomi dan keuangan. Banyak kesempatan dan dukungan yang diberikan perusahaan agar saya berkembang di bidang ini.
Mobil yang kami tumpangi kemudian keluar dari Jalan Tol Dalam kota. Tiba-tiba Pak Jakob mengatakan,”Saya mau tanya, tapi tolong ya jangan dibilang-bilang lagi.”
Kening saya berkerut.
”Kenapa, ya, wartawan Kompas yang perempuan kok ndak ada yang mau pakai rok, ndak ada yang seneng dandan? Coba lihat Mbak A (menyebut sebuah nama), mana pernah pakai rok. Mbak B (menyebut nama lain) juga saya rasa, pakai lipstik juga ndak pernah. Kenapa ndak seperti anak-anak tivi?”
Saya tertawa lalu mengatakan, kalau saya pasti repot jika liputan memakai rok karena harus naik turun kendaraan umum. Sedangkan wartawan televisi ke mana-mana selalu diantar mobil. Beliau kemudian manggut-manggut.
”Bener lho, ya, Mbak, jangan dibilang lagi sama mbak-mbak itu.…”
Dari arah belakang kompleks DPR, mobil Pak Jakob lalu belok kiri ke arah Permata Hijau. Mobil kemudian berhenti di halte seberang kantor.
”Maaf ya Mbak, saya drop di sini. Kalau di kantor, nanti saya harus masuk ke ruangan. Padahal, saya mau pulang ke rumah,” kata beliau sambil mengingatkan agar saya menyeberang di area dekat lampu merah dan tidak mengambil jalan pintas menyeberangi rel kereta yang bukan pintu pelintasan.
”Terima kasih Pak, sudah boleh nunut,” kata saya takzim saat hendak turun dari mobil.
Sampai sekarang saya masih terus nunut (bekerja di perusahaan) Bapak. Terima kasih, Pak JO....