Liputan Referendum Timor Timur: Menatap Saudaraku Semakin Jauh Melangkah
Aura Kota Dili saat itu tak nyaman bagi kami yang berkewarganegaraan Indonesia, terutama setelah referendum warga Timor Timur yang lebih memilih lepas dari Indonesia. Perlakuan tak nyaman saya rasakan selama liputan.
” …dari jaga tidurku, aku merekam apa yang kutemui dan berusaha membuang segala kepemihakanku
…air mataku mengalir tanpa batas, menatap saudaraku melangkah semakin jauh….” - The Long and Winding Road – East Timor 2001
Matahari mulai meninggi. Sinarnya terasa menyengat separuh wajah. Pagi itu, di akhir bulan Agustus 1999, di halaman Sekolah Dasar Negeri Bemori, Kota Dili. Sudah sejak subuh, warga Kota Dili berduyun-duyun menuju halaman sekolah itu untuk mengikuti jajak pendapat (referendum).
Mereka terlihat berpakaian rapi, seperti hendak menghadiri misa di gereja. Masing-masing menggenggam surat pendaftaran untuk mengikuti pencoblosan.
Untuk pertama kalinya, sejak bumi Timor Timur berada 23 tahun di bawah NKRI, mereka akan memilih tetap menjadi bagian Indonesia atau berdiri sendiri.
Petugas lokal United Nations Mission in East Timor (Unamet), organisasi di bawah PBB, sudah sejak sehari sebelumnya menyiapkan bilik dan kotak suara di SD Bemori.
Matahari makin meninggi. Antrean menuju bilik suara makin mengular. Di bawah rindang bayangan pohon di halaman sekolah tersebut, sejenak saya berpikir. Bagaimana caranya merekam sejarah, antusiasme warga yang antre mengular menuju bilik suara.
Sejurus kemudian, ”Bapak, boleh saya pinjam tangga ini?” tanya saya kepada pemilik rumah di kompleks sekolah tersebut. Matanya seakan terpana melihat tangga yang ada di depan rumahnya.
”Bapak buat apa dengan tangga itu?” ujar pria yang saya lupa menanyakan namanya itu.
”Saya ingin naik ke atap gedung itu untuk memotret suasana pemungutan suara,” jawab saya sembari menunjuk salah satu bangunan di kompleks sekolah.
Tidak lama, setelah pemilik rumah mengizinkan, saya mengangkat tangga tersebut dibantu warga sekitar. Betul saja, setelah berada di atap gedung sekolah, pemandangan yang saya lihat sesuai bayangan dan perkiraan. Terlihat antrean mengular warga secara kolosal.
Di atap gedung, saya segera mengambil beberapa frame gambar dari berbagai sudut komposisi fotografi sembari mengendap-endap agar tidak ketahuan teman-teman yang berada di bawah gedung. Meskipun pada akhirnya ketahuan juga saat saya turun dan mengembalikan tangga kepada pemiliknya.
Hari itu, saya mendapat puluhan gambar dengan tiga kamera yang saya bawa: kamera digital Kodak DCS 420 berbodi Nikon N90 untuk menghasilkan foto segera kirim ke redaksi untuk mengejar tayang esok hari, kamera Nikon F5 dengan negatif film berwarna, dan kamera Nikon F4 berisi negatif film hitam putih untuk menghasilkan foto-foto dengan pendekatan pribadi.
Matahari mulai condong ke barat. Bayangannya mulai bergeser ke arah timur. Halaman SD Bemori berangsur sepi ditinggalkan warga seusai memasukkan hak suara mereka. Hanya terlihat petugas Unamet yang merapikan kotak-kotak suara untuk nantinya dibuka dan dihitung isinya.
Sore itu, seusai pemungutan suara, Kota Dili terlihat sepi. Bagai air yang tenang, namun di dalamnya penuh pusaran mencekam. Suasana itu mengiringi langkah kaki kembali ke rumah tempat saya dan teman-teman harian Kompas menginap di kawasan perumahan Delta Komoro.
Pascareferendum, kondisi Dili semakin tak menentu hari demi hari. Suasana tegang dan saling curiga semakin terasa. Tidak terkecuali dialami wartawan.
Baca juga : Satu Kata yang Bikin Dua Kelompok Kolintang Geger
Tekanan demi tekanan yang mengancam keselamatan jiwa wartawan yang meliput di kota ini semakin nyata. Termasuk kepada kami yang dianggap berpihak pada kubu prokemerdekaan.
Kami harus bersusah payah menghindari sweeping pihak-pihak yang tak menyukai kami. Hingga akhirnya, pada hari Kamis, 2 September 1999, kami dipaksa meninggalkan Dili menuju Jakarta menumpang pesawat Hercules dengan dalih ”dievakuasi”.
Kembali ke Dili
Saya sempat kembali ke Dili selama beberapa hari di bulan September mengikuti rombongan TNI. Saat itu, pascakerusuhan, Kota Dili dipenuhi puing-puing bangunan gedung yang rusak. Pasukan TNI berangsur ditarik dari Timor Timur.
Baru pada pertengahan Oktober, saya dan wartawan harian Kompas, Rien Kuntari, kembali lagi ke Dili untuk meliput. Kami menginap di Hotel Turismo yang dijadikan markas International Force for East Timor (Interfet) dan para wartawan yang meliput di Timor Timur. Tidak ada tempat lain yang bisa digunakan karena banyak bangunan di Kota Dili hancur.
Baca juga: Video Serial 20 Tahun Referendum Timor Timur
Meskipun namanya hotel, jangan bayangkan kondisinya seperti hotel pada umumnya. Sebagian Hotel Turismo saat itu hancur, tidak luput menjadi sasaran kerusuhan. Meskipun mendapat kamar, saya harus mendirikan tenda di kamar yang berukuran tak lebih dari 4 meter x 3 meter itu.
Kamar yang saya tempati berlokasi di lantai 2, tanpa jendela dengan kusen-kusen sudah berupa puing arang sisa terbakar. Saya merasa sedikit lega setelah bisa menempatkan beberapa peralatan kerja di dalam tenda.
Tenda biru yang saya pakai saat itu sebelumnya pernah dipakai di hutan Kalimantan dalam Ekspedisi Kapuas Mahakam tahun 1994. Tenda itu kembali berjasa, menaungi saya selama dua hari sejak tiba kembali di Dili tanggal 14 Oktober 1999.
Baca juga : Ketika Hasil ”Rapid Test Saya Dinyatakan Reaktif Covid-19
Tenda akhirnya saya gulung kembali setelah mendapatkan kamar yang layak huni. Saya sekamar dengan Ramdani Sirait, wartawan kantor berita Antara yang saat itu ditugaskan meliput ke Timor Timur.
Saya dan Rien Kuntari bukan tanpa alasan kembali ke Dili pada pertengahan Oktober itu. Kali ini, kami hendak meliput penarikan pasukan TNI dan warga Indonesia yang masih berada di Timor Leste.
Rien Kuntari sendiri selama tahun 1999 sudah beberapa kali bolak-balik ke Dili untuk liputan suasana di Timor Timur. Wartawati Kompas satu ini memang ”tahan banting”.
Empat hari sebelum referendum tanggal 30 Agustus, di tengah kerusuhan di kawasan Kuluhun, Dili, Rien diancam dengan granat yang ditempelkan ke dahinya oleh simpatisan salah satu kubu yang berseteru. Namun, hal itu tak membuatnya jera untuk menuntaskan liputan di Timor Timur.
Aura Kota Dili saat itu memang tak nyaman bagi kami yang berkewarganegaraan Indonesia, terutama setelah jajak pendapat warga Timor Timur yang memilih lepas dari Indonesia dan menentukan nasib sendiri. Rangkaian ini berakhir dengan kerusuhan dan kehancuran Kota Dili.
Baca juga : Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Perlakuan tak nyaman saya rasakan, antara lain berupa tatapan tajam puluhan pasang mata warga saat berpapasan. Mereka seperti ingin meluapkan kemarahan yang terpendam selama ini kepada orang-orang seperti saya, yang berkulit kuning langsat dan berkartu tanda penduduk Indonesia.
Perlakuan itu, misalnya, saya terima ketika harus menerobos kerumunan massa yang sejak pagi memadati bekas gedung gubernuran di Kota Dili. Mereka hadir di sana untuk mendengarkan pidato perdana Xanana Gusmao pascajajak pendapat.
Tanpa sadar, saya sudah terkepung di tengah massa yang seperti ingin meluapkan kemarahannya terhadap orang Indonesia. Tiba-tiba tangan saya ditarik. ”Jangan, ini wartawan Kompas, selama ini sering meliput di Dili,” teriak seorang pria sembari menarik saya keluar dari lingkaran massa.
Dengan cepat ia kemudian membimbing saya hingga tiba di barisan terdepan, seolah memberikan ruang terbaik untuk memotret Xanana yang berpidato dengan kawalan pasukan Interfet.
”Bapak lupa sama saya, tapi saya tidak lupa sama Bapak,” ujarnya setelah saya mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan saya dari suasana yang tak nyaman tadi. Ternyata bapak itu salah satu pegawai di Hotel Mahkota Dili. Dia dulu sering mengamati ketika saya menginap di hotel itu.
Baca juga : Selalu Ada Berita Seharga Bersepeda
Ketidaknyaman semacam itu sebenarnya sudah kami rasakan sejak menginjakkan kaki dan menginap di markas Interfet yang merupakan bekas Hotel Turismo. Bagaimana tidak, kami berlabel wartawan Indonesia yang meliput konflik skala internasional di negeri sendiri.
Ini berbeda dengan puluhan wartawan asing yang juga menginap di Hotel Turismo. Mereka tidak punya konflik batin seperti yang saya dan Rien Kuntari rasakan saat meliput. Tatapan mereka seperti mempertanyakan kemampuan dan independensi kami sebagai wartawan. Apalagi wartawan-wartawan asal Portugal yang melihat kami dengan sinis.
Namun, akhirnya saya mulai tenang setelah mengamini pandangan Rien Kuntari bahwa kami cukup bekerja secara profesional dan konsisten dengan memberikan ruang dan porsi yang netral dan seimbang kepada pihak-pihak yang bertikai.
Pada 24 Oktober 1999, kami berangkat ke Reximio, perbukitan di luar Kota Dili yang menjadi distrik markas Falintil, guna mewawancarai Xanana Gusmao. Kami berdua disambut hangat oleh Xanana.
Bahkan, kami diberi durasi wawancara lebih panjang dibandingkan untuk wartawan asing lain. Semua mata wartawan asing tertuju kepada kami saat mewawancarai Xanana dalam bahasa Indonesia.
Baca juga : Pengalaman Menjadi Putra Jawa Keluyuran di Sumatera
Saya sendiri tak menyia-nyiakan waktu untuk membuat potret Xanana sedekat mungkin dari berbagai sudut dengan lensa 24 mm. Pikiran saya waktu itu, sekalian buat show of force kepada wartawan asing dan beberapa petinggi militer Falintil yang mengamati gerak-gerik kami.
Sejak wawancara dengan Xanana, riak kecurigaan terhadap kami mulai surut, bagai air gelombang yang mulai tenang. Kami mulai merasa nyaman meliput di Kota Dili. Bahkan, kami merasa terlindungi. Begitu pula dengan wartawan-wartawan asing. Sikap mereka berubah, mulai sok akrab dan menyapa kami dengan ramah.
Perubahan paling besar terlihat pada wartawan-wartawan Portugal yang ”bermarkas” selang beberapa rumah saja dari Hotel Turismo tempat kami menginap. Suatu kali, tengah malam, kami dikejutkan oleh kedatangan seorang petugas Interfet yang mencari-cari Rien Kuntari. Wah, ada apa gerangan?
Ternyata ia mengantar seorang wartawan Portugal dan tim dokternya. Mereka datang untuk memeriksa kesehatan Rien setelah siang sebelumnya mendengar Rien mengeluhkan kesehatannya kepada wartawan Portugal itu. Ah, akhirnya kami bisa melunakkan pikiran negatif mereka kepada kami.
Kenyamanan lain yang kami rasakan adalah ketika diterima dengan pintu terbuka di markas Indonesia Task for East Timor (ITFET) yang diketuai Brigjen (Pol) JD Sitorus. Markas komando yang tengah menyiapkan penarikan seluruh pasukan TNI di Timor Leste itu berada di bibir pantai yang indah.
Baca juga : Membongkar Kasus Penyelundupan Beras
Keterbukaan para petinggi militer, seperti Kol (CZI) J Suryo Prabowo, waktu itu Wakil Komandan ITFET, serta Komandan Satgas Pengamanan ITFET Kol (Inf) Sahala Silalahi, menambah ketenangan kami saat meliput.
Cukup sering kami ke markas ITFET. Kadang-kadang kami liputan sampai larut malam sehingga pulangnya harus berjalan kaki ke Hotel Turismo. Tidak jarang, saat pulang, kami dibekali makanan kaleng pasukan TNI dan kelambu nyamuk. Kedekatan kami dengan ITFET akhirnya diketahui wartawan lain yang juga menginap di Turismo.
Namun, Rien berhasil menjelaskan kondisi dan keberadaan ITFET di Dili. Tidak jarang, ia menjadi penghubung antara wartawan asing dan petinggi ITFET jika ada materi berita yang ingin ditanyakan atau sebaliknya jika ITFET ingin memberikan informasi kepada para wartawan.
Detik terakhir
Hari Sabtu, 30 Oktober 1999 pagi. Hampir seluruh jalan menuju markas Batalyon Lintas Udara (Linud) 700 di kawasan Pantai Farol diblokade pasukan Interfet dengan kawat berduri. Suasana itu membuat saya panik sampai harus berputar-putar keliling Kota Dili, mencari jalan tikus menuju ke sana.
Meski telah berulang kali menunjukan kartu identitas wartawan agar diperbolehkan liputan, tetap saja kami tidak diberikan izin melintasi kawat berduri yang mereka jaga. Padahal, pagi itu dilangsungkan upacara penurunan bendera Merah Putih yang menandai ditariknya semua pasukan TNI dari tanah Timor Lorosa’e.
Baca juga : Bertemu Keluarga Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Upacara berlangsung hikmat, namun sepi. Dengan rasa kecewa karena tidak bisa meliput proses upacara, kami hanya bisa menyaksikan iring-iringan truk yang mengangkut pasukan TNI keluar dari Pantai Farol menuju pelabuhan.
Siang harinya, barulah kami dapat bertemu dengan para pejabat ITFET di Bandara Komoro. Tampak Brigjen (Pol) JD Sitorus, Kol (CZI) J Suryo Prabowo, Kol (Inf) Sahala Silalahi, dan perwira lain tengah berkumpul di ruang tunggu bandara. Mereka menantikan Xanana Gusmao yang akan hadir memberikan salam perpisahan.
Tak lama, Xanana Gusmao datang dengan kawalan ketat pasukan Interfet. Ia langsung menemui para pejabat ITFET dan berbincang dengan mereka yang telah menunggunya cukup lama.
Ketika matahari mulai condong ke barat, pertanda petang mulai datang, tampak beberapa prajurit TNI bersalaman dengan prajurit Interfet di dekat pesawat Hercules TNI yang akan tinggal landas meninggalkan Kota Dili.
Sebuah helikopter milik Pusat Penerbangan TNI Angkatan Darat (Penerbad) juga telah siap mengangkut pejabat ITFET menuju KRI Teluk Banten yang berada di perairan Timor Timur. Kapal itu akan menjemput prajurit TNI yang sudah menunggu di Pelabuhan Dili.
Saya dan Rien Kuntari kemudian diajak pejabat ITFET ikut terbang naik helikopter menuju KRI Teluk Banten. Kapal itu akan lego jangkar menjemput prajurit terakhir dari Batalyon Infanteri Lintas Udara (Linud) 700 yang akan meninggalkan Timor Timur untuk selamanya.
Helikopter Penerbad yang kami tumpangi dipiloti oleh Kapten (Inf) Agus Yaman dan kopilot Letda Kandek Prayitno. Saat mesin mulai menyala, semua penumpang, yakni Brigjen (Pol) JD Sitorus, Kol (CZI) J Suryo Prabowo, Kol (Inf) Sahala Silalahi, Rien, dan saya telah mengencangkan sabuk pengaman masing-masing.
Namun, ternyata helikopter tidak bisa langsung membubung ke langit, tetapi hovering lalu kembali lagi landing. Hal ini saya rasakan tiga kali, seperti saat latihan pendaratan.
Sesaat saya tertegun, teringat bahwa helikopter yang kami tumpangi adalah milik Penerbad, yang sepengetahuan saya jarang melakukan pendaratan di atas kapal perang. Apalagi pada posisi kapal tengah berlayar.
Saya hanya bisa mendaras doa dalam hati seiring deru heli yang akhirnya mulai meninggi meninggalkan Bandara Komoro. Dari ketinggian terlihat puing-puing bangunan di Kota Dili yang luluh lantak akibat kerusuhan di bulan September.
Setelah beberapa menit terbang di atas laut, akhirnya pilot menemukan titik koordinat KRI Teluk Banten yang tengah berlayar menuju Timor Timur.
Setelah berputar di atas KRI Teluk Banten, heli kemudian mengambil posisi di atas buritan KRI bernomor lambung 516 itu. Perlahan namun pasti, heli mulai mengimbangi laju KRI Teluk Banten yang berlayar dengan kecepatan 8 knot. Semakin lama, heli semakin mendekat ke landasan yang berada di buritan.
Beberapa petugas kru darat terlihat siap siaga di sisi helipad sambil memegang tali pengikat pesawat. Saya hanya bisa berdoa tak putus-putus seiring heli yang perlahan-lahan mulai mendekati landasan. Lalu terdengar landing skids heli menyentuh landasan. Terasa sedikit guncangan. Namun, dengan cepat petugas ground crew mengikat landing skids agar heli tidak tergelincir.
Ketika pintu heli mulai terbuka, tepuk tangan dan ucapan selamat dari para awak kapal menyambut kami. Mereka sejak awal menonton pendaratan ”nekat” itu. ”Terima kasih, Tuhan. Kau sudah memberikan keselamatan kepada kami dalam perjalanan ini,” ucapku dalam hati.
Sekitar pukul 20.00, prajurit Batalyon Infanteri Lintas Udara 700 satu per satu memasuki KRI Teluk Banten. Rasa sedih berkecamuk, sesaat setelah telunjuk lepas dari tombol rana kamera, seusai memotret semua personel TNI yang memasuki lambung Teluk Banten, dan benar-benar akan meninggalkan Dili.
Kami lalu berpamitan mengucapkan terima kasih kepada petinggi ITFET dan Letkol Laut Widodo yang memimpin KRI Teluk Banten untuk kembali ke markas Interfet tempat kami menginap.
Kaki terasa berat saat melangkah meninggalkan pelabuhan. Hati terasa sepi seperti tertinggal seorang diri di Kota Dili. Malam itu, kami kembali berjalan kaki menelusuri jalanan yang sunyi di antara dinginnya angin malam di bibir pantai.
Setelah ditinggalkan TNI dan warga negara Indonesia lainnya, saya dan Rien Kuntari masih tinggal di Dili selama tiga hari berikutnya. Di hari-hari yang sunyi itu, kami menyempatkan diri melihat kondisi warga Indonesia di Masjid An-Nur, Kampung Alor, Dili Barat, yang masih bertahan ingin menetap di Dili.
Kami juga meliput prosesi devosi Bunda Maria yang dihadiri ribuan warga Dili dan menyempatkan ke Taman Makam Pahlawan Seroja serta kompleks pemakaman Santa Cruz yang ramai didatangi warga untuk berziarah.
Dengan perasaan sedih yang terpendam, akhirnya kami berdua meninggalkan Timor Timur, kembali ke Jakarta melalui Darwin, Australia.