Ketika Hasil ”Rapid Test” Saya Dinyatakan Reaktif Covid-19
Untuk bisa meliput upacara peringatan HUT Ke-75 RI di Istana Kepresidenan Yogyakarta, wartawan ”Kompas” Haris Firdaus harus mengikuti ”rapid test” Covid-19. Hasilnya reaktif. Ia pun harus menjalani tes PCR. Apa hasilnya?
Saya dan beberapa teman wartawan tengah asyik mengobrol ketika terdengar suara seorang petugas perempuan.
”Nomor 1523 siapa, ya?” tanyanya kepada kami.
Siang itu, kami baru saja mengikuti rapid test (tes cepat) Covid-19 di Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Yogyakarta, Kamis (13/8/2020). Balai itu merupakan unit pelaksana teknis di bawah Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Semua orang yang akan hadir dalam upacara tersebut, termasuk wartawan, harus menjalani tes cepat lebih dulu.
Kami menjalani tes cepat sebagai syarat meliput upacara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Protokol kesehatan ketat diterapkan dalam pelaksanaan upacara yang akan digelar Senin (17/8/2020) itu untuk mencegah potensi penularan penyakit Covid-19.
Semua orang yang akan hadir dalam upacara tersebut, termasuk wartawan, harus menjalani tes cepat lebih dulu. Jumlah wartawan yang bisa meliput pun dibatasi hanya 10 orang. Oleh karena itu, pada waktu yang sudah ditentukan, saya dan sejumlah teman wartawan mengikuti tes cepat.
Saya datang ke lokasi tes cepat bersama seorang fotografer koran di Yogyakarta. Di sana, sudah ada beberapa wartawan televisi dan fotografer lainnya. Begitu tiba, kami diarahkan mengisi data diri dan antre pengambilan sampel darah tes cepat.
Prosesnya berlangsung cepat dan lancar. Saya dan teman-teman bahkan sempat berfoto-foto di sela-sela pengambilan darah. Seusainya, kami memutuskan menunggu di lokasi karena petugas mengatakan hasil tes cepat bisa diketahui dalam waktu 15 menit.
Baca juga: Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Sambil menunggu, kami ngobrol banyak hal, termasuk soal pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Tak berapa lama, kami dipanggil kembali ke tempat tes karena hasil pemeriksaan sudah selesai.
Masing-masing kemudian diminta menyebut nomor yang sudah diberikan saat mengisi data diri. Nomor itulah yang disematkan pada alat tes cepat kami. Sejumlah teman telah menyebutkan nomornya dan petugas memberi tahu hasil tes cepat mereka yang nonreaktif. Dengan begitu, mereka dinyatakan memenuhi syarat untuk meliput upacara di Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Adapun saya awalnya merasa tenang-tenang saja karena meyakini hasil tes cepat saya pun akan nonreaktif. Namun, keyakinan itu ternyata salah besar. Saat seorang petugas menyebutkan nomor 1523, saya pun menyahut karena itu merupakan nomor saya.
”Hasilnya reaktif,” kata petugas itu.
Saya terkejut mendengar jawaban itu. Beberapa teman wartawan, yang awalnya tertawa-tawa karena hasil tes cepat mereka nonreaktif, juga langsung terdiam.
Badan capek
Beberapa jam sebelum menjalani tes cepat, saya bangun tidur dengan badan yang terasa capek. Rasanya seperti masuk angin, tapi saya tak mengalami demam, pilek, atau batuk. Oleh karena itu, saya merasa baik-baik saja dan siap bekerja seperti biasa. Seusai mandi dan sarapan, saya bergegas menuju ke kantor Gubernur DIY untuk liputan.
Di sana, saya sempat mewawancarai sejumlah narasumber dan bertemu beberapa teman wartawan lain. Namun, tak lama kemudian, saya diminta humas Pemerintah Provinsi DIY untuk mengikuti tes cepat di Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Yogyakarta.
Saat mengingat-ingat kembali berbagai momen sebelum menjalani tes cepat itu. Saya merasa tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa saya bakal mendapatkan hasil reaktif. Apalagi, sekitar sebulan sebelumnya, saya juga menjalani tes cepat secara mandiri di salah satu rumah sakit di Yogyakarta dengan hasil nonreaktif. Karenanya, saya merasa percaya diri bakal mendapat hasil yang sama saat menjalani tes cepat 13 Agustus lalu.
Di tengah pandemi Covid-19, saya memang masih kerap meliput ke lapangan demi mendapatkan informasi yang lengkap dan mendalam. Namun, tentu saja saya berupaya menjalankan protokol kesehatan. Begitu keluar dari rumah, saya selalu mengenakan masker dan berupaya mencuci tangan sesering mungkin.
Baca juga: Selalu Ada Berita Seharga Bersepeda
Saya juga selalu berusaha menjaga jarak dengan orang lain dan menghindari kerumunan, termasuk ketika mewawancarai narasumber. Seusai liputan dan kembali ke rumah, saya langsung mandi dan membersihkan diri sebelum menjalankan aktivitas di rumah. Dengan semua upaya itu, saya berharap bisa meminimalkan potensi tertular penyakit Covid-19.
Karena itu, saya sangat terkejut ketika hasil tes cepat saya dinyatakan reaktif. Tiba-tiba saya merasa virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19 telah berada sangat dekat dengan tubuh saya. Jangan-jangan virus itu malah sudah masuk ke tubuh saya?
Meski begitu, saya mencoba tetap tenang. Petugas juga berupaya menenangkan. Dia lalu memperlihatkan alat tes cepat yang digunakan untuk memeriksa sampel darah saya. Alat itu berbentuk persegi panjang dengan layar kecil di bagian tengah. Di layar itu, saya melihat dua garis berwarna merah. Satu garis tampak tebal, sementara satu garis lain terlihat tipis.
Menurut petugas, garis merah yang terlihat tipis itulah yang menjadi indikator hasil tes saya reaktif. Alat itu kemudian saya potret sebagai bukti. Sebab, saat itu tidak ada surat keterangan tertulis untuk hasil tes cepat tersebut.
Baca juga: Pengalaman Menjadi Putera Jawa Keluyuran di Sumatera
Petugas kemudian meminta saya segera pulang ke rumah untuk menjalani karantina mandiri. Saya juga diharuskan menjalani swab atau tes usap untuk memastikan apakah saya terinfeksi Covid-19 atau tidak.
Sesuai ketentuan pemerintah, mereka yang dinyatakan reaktif dalam tes cepat diwajibkan untuk tes swab (swab test). Sampel yang diambil dengan metode swab kemudian diperiksa dengan metode reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) di laboratorium. Hasil pemeriksaan PCR inilah yang menjadi standar untuk menentukan seseorang positif Covid-19 atau tidak.
Enam jam
Sehari setelah dinyatakan reaktif, saya kembali ke Balai Laboratorium Kesehatan dan Kalibrasi Yogyakarta. Kali ini untuk tes swab. Prosesnya melibatkan dua petugas. Satu petugas berada di dalam bilik khusus untuk pengambilan swab, sementara satu lainnya di luar bilik dengan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap.
Saya lalu diarahkan berdiri di luar bilik. Saya diminta berdiri menghadap ke samping, lalu petugas memasukkan alat swab ke dua lubang hidung secara bergantian. Setelah itu, saya diminta membuka mulut lebar-lebar, kemudian petugas memasukkan alat swab ke tenggorokan.
Saya lalu diminta mengucapkan ”Aaaaaa”. Saya tak paham kenapa harus begitu, tapi saya menurut saja. Bisa jadi, ucapan ”Aaaaa” itu untuk mempermudah proses swab.
Baca juga: Membongkar Kasus Penyelundupan Beras
Secara umum, proses swab berjalan lancar dan ternyata tidak semengerikan yang saya duga. Memang ada sedikit rasa sakit dan tak nyaman saat alat swab masuk ke hidung dan mulut. Namun, secara keseluruhan, tak ada yang perlu ditakutkan dari proses swab.
Seusai swab, saya sempat bertanya kepada petugas kapan kira-kira hasil pemeriksaan bakal keluar. ”Kemungkinan dua atau tiga hari, Mas,” ujar seorang petugas. Setelah itu, saya bergegas pulang untuk melanjutkan karantina mandiri di rumah.
Karena petugas memberi tahu hasil tes kemungkinan baru keluar dua atau tiga hari lagi, saya pun menyiapkan diri untuk menjalani karantina mandiri selama beberapa hari. Sesuai ketentuan, saya harus melakukan karantina sampai hasil pemeriksaan PCR keluar demi mencegah potensi penularan penyakit Covid-19 kepada orang lain.
Namun, sekitar 6 jam setelah menjalani swab, saya ditelepon seorang pegawai Pemprov DIY. Dia mengabarkan, hasil swab saya ternyata sudah keluar. Melalui aplikasi Whatsapp, ia mengirimkan file surat hasil pemeriksaan swab saya. Di surat itu tertulis identitas diri saya dan kesimpulan pemeriksaan yang menyatakan saya negatif Covid-19.
Baca juga: Bertemu Keluarga Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Begitu selesai membaca surat itu, saya langsung melakukan sujud syukur. Rasanya lega sekali. Saya segera mengabarkan hasil pemeriksaan tersebut kepada sejumlah pihak, termasuk keluarga dan atasan saya di Kompas. Teman-teman wartawan di Yogyakarta juga mengontak saya dan memberi ucapan selamat.
Meski telah dinyatakan negatif Covid-19, saya tetap melanjutkan karantina mandiri di rumah selama beberapa hari sambil memulihkan kondisi badan yang kecapekan. Bagi saya, peristiwa ini memberi pelajaran yang sangat berharga. Saya bertekad lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan diri dan semakin ketat menerapkan protokol kesehatan.