Bertemu Keluarga Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Dari pertemuan dengan sang keponakan terungkap, Noel menerbangkan pesawat tersebut bukan semata karena ia pilot. Melainkan karena ada idealisme yang meyakini Indonesia berhak mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.
Oleh
Iwan Santosa
·6 menit baca
Menulis sejarah Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) selalu menghadirkan tantangan untuk mencari fakta-fakta baru. Demikian pula saat menulis peristiwa penembakan pesawat Dakota VT-CLA yang ditembak jatuh sepasang pesawat pemburu P-40 Kitty Hawk Belanda yang mengakibatkan gugurnya Komodor Agustinus Adisutjipto, dokter Abdul Rahman Saleh, Adisumarmo, dan kawan-kawan. Peristiwanya kemudian diperingati sebagai Hari Bakti TNI Angkatan Udara.
Selama ini, narasi sejarah Indonesia lebih banyak membahas tentang gugurnya Adisutjipto dan kawan-kawan. Sementara, keberadaan para awak pesawat, seperti pilot Noel Constantine, kopilot Roy Hazelhurst, dan mekanik Bida Ram, yang berkebangsaan Australia, Selandia Baru, dan Inggris, jarang dibahas. Termasuk istri sang pilot, Beryl Constantine yang berasal dari Inggris dan hijrah ke Singapura untuk membuka bisnis adibusana.
Ketika akhirnya Geoffrey Constantine, keponakan pilot Dakota VT-CLA, bisa datang ke Yogyakarta pada 29 Juli 2017, penulis berhasil mewawancarainya. Wawancara ekslusif itu berlangsung di hotel dekat Lanud Adisutjipto, tidak jauh dari lokasi Ngoto, tempat jatuhnya Dakota VT-CLA yang terbang dengan misi membawa bantuan obat dari Palang Merah Malaya.
Penulis mendapat kisah tentang Noel Constantine yang didengar Geoffrey dari ayah dan tantenya serta catatan keluarga. Noel memiliki seorang adik perempuan dan adik laki-laki yang tinggal di Australia.
Dari kisah-kisah yang didengarnya, Geoffrey meyakini, pamannya mau menerbangkan pesawat tersebut bukan semata karena ia pilot. Melainkan karena ada idealisme yang meyakini Indonesia berhak mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Istri sang paman, Beryl, tercatat sebagai salah satu koordinator bantuan medis di Singapura.
Noel Constantine adalah mantan penerbang tempur Royal Air Force (RAF) Inggris Wing Commander (Komandan Wing) yang juga veteran Battle of Britain. Ia lalu bertugas di Mandala CBI (China Burma India) di bawah Laksamana Lord Louis Mounbatten. Noel pernah menerbangkan pesawat yang ditumpangi oleh Lord Louis Mounbatten, Panglima South East Asia Command (SEAC) yang juga paman dari Pangeran Charles, putra mahkota Kerajaan Inggris.
Berbagai keterangan tentang para awak Dakota VT-CLA juga penulis peroleh dari Michael Kramer, pegiat sejarah yang juga ketua Bidang Bahasa Indonesia di Asosiasi Indonesia-New South Wales yang berkedudukan di Sydney, Australia. Pertemuan pertama dengan Michael Kramer terjadi tahun 2012 saat pameran Peringatan 70 Tahun Pertempuran Laut Jawa di Museum Bahari, Jakarta.
Saat itu, Michael, putranya, dan penulis berdiskusi tentang berbagai pertempuran awal Perang Dunia II di Nusantara yang melibatkan negara Sekutu, termasuk Pasukan Australia. Satu yang paling terkenal adalah saat Pasukan Black Force bertempur dan menghadang Pasukan Jepang di Sungai Tjianten, perbatasan Leuwiliang-Bogor pada awal Maret 1942.
Berawal dari pertemuan tersebut, terjalin komunikasi erat terkait berbagai peristiwa sejarah Indonesia-Australia, termasuk di dalamnya peristiwa penembakan Dakota VT-CLA di Yogyakarta pada 27 Juli 1947.
Berbagai dokumen dan arsip dikirimkan Michael Kramer yang putrinya, Elizabeth, adalah ahli Asia dari Universitas Sydney. Elizabeth pernah membuat tulisan tentang makam Noel Constantine, Beryl Constantine, dan Roy Hazelhurst setelah menelusuri langsung makam-makam mereka di Yogyakarta.
Michael Kramer mengirimkan berbagai dokumen berharga atas penembakan Dakota VT-CLA, seperti laporan resmi Asisten Operasi AURI di Yogyakarta Halim Perdanakusuma, laporan resmi perwakilan Inggris, Australia, dan India, hingga data otopsi jenazah para pahlawan Indonesia dan para awak pesawat yang berkebangsaan Australia, Selandia Baru, dan India.
Dari Kramer-lah, penulis pertama kali mendengar rencana kedatangan keponakan laki-laki Noel, Geoffrey Constantine. Geoffrey sebenarnya pernah berkunjung ke Yogyakarta pada tahun 1970-an. Dia sempat bertemu Abdul Gani, satu-satunya penumpang Dakota-VT CLA yang selamat karena duduk di bagian ekor pesawat ketika pesawat diberondong tembakan pesawat tempur Belanda.
Setelah mendengar kabar tersebut, penulis menyampaikan informasi dan berkoordinasi dengan Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya serta kulonuwun kepada KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto dan Direktur Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala di Yogyakarta, Kolonel (Sus) Dede Nashrudin. Kebetulan mereka penyuka sejarah.
Koordinasi kemudian dijalin antara Atase Udara KBRI Canberra, Australia, dan Dinas Penerangan TNI AU. Setelah hampir setahun saling berkomunikasi, Geoffrey kemudian mendapat undangan khusus untuk hadir dalam upacara Hari Bakti TNI AU 2017 di Yogyakarta yang bertepatan dengan 70 tahun jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto memimpin upacara yang berlangsung di makam Adisutjipto di Ngoto yang dihadiri pula para pejabat, keluarga Marsekal Agustinus Adisutjipto, dan keluarga para pahlawan lainnya. Turut hadir Atase Udara Australia Michael Kramer dan Geoffrey Constantine.
Seusai upacara dan tabur bunga, Hadi Tjahjanto menyempatkan diri bercakap dengan keluarga Adisutjipto dan para pahlawan. Tidak ketinggalan, ia juga menyapa Geoffrey Constantine.
Setelah rangkaian acara selesai, pada malam harinya, penulis bertemu dengan Geoffrey Constantine di hotel tempat kami menginap, tidak jauh dari Bandara Adisutjipto. Michael Kramer membantu mengatur pertemuan tersebut.
Geoffrey mengaku senang, makam paman dan bibinya kini sudah terawat. ”Saya tahu dari keluarga bahwa paman saya melakukan penerbangan tersebut bukan karena alasan keuntungan pribadi, melainkan ada semangat mendukung perjuangan dan memprotes ketidakadilan yang dialami Indonesia,” kata Geoffrey Constantine.
Dalam arsip koran Malaya Tribune, 30 Juli 1947, terungkap, Beryl Constantine yang memiliki kehidupan mapan sebagai perancang adibusana di Singapura memang terlibat langsung dalam pengumpulan bantuan medis bagi Republik Indonesia. Saat itu, RI baru saja digempur oleh Belanda yang kemudian kita kenal sebagai Agresi Militer Belanda I.
Pesawat yang digunakan adalah milik Biju Patnaik, pengusaha dan pejuang nasionalis India asal Orissa, negara bagian India yang kini disebut Odisha. Ia pernah beberapa kali ke Yogyakarta pada periode 1945-1949. Pesawat itu khusus disediakannya untuk membantu RI yang dalam keadaan serba kekurangan.
Biju Patnaik dikenal memiliki hubungan sangat dekat dengan Presiden Soekarno. Ia pernah memberi masukan kepada Soekarno saat hendak memberi nama anak perempuannya yang baru lahir. Dewi Awan atau Mega Vati adalah nama yang disarankan Patnaik yang kemudian menjadi Megawati Soekarnoputri.
Pada saat akan terbang dengan Dakota VT-CLA di Yogyakarta, para awak pesawat tentu paham segala risiko yang mungkin mengancam karena mereka terbang dengan pesawat sipil di atas daerah konflik.
Sejarah akhirnya mencatat mereka turut gugur bersama para pahlawan Republik Indonesia. Constantine bisa saja hidup nyaman di Singapura (saat itu bagian dari British Malaya) sebagai veteran perang dan mantan Komandan Wing RAF. Namun dia, istri, beserta awak pesawat lainnya memilih terbang ke Yogyakarta di tengah ketidakpastian situasi politik dan keamanan Indonesia saat itu.
Seusai pertemuan penulis dengan Geoffrey Constantine, Michael Kramer berharap, adanya perhatian terhadap orang-orang Australia yang turut berjuang bagi eksistensi Republik Indonesia. Mengenang persaudaraan dan semangat dukungan bagi kebebasan Indonesia adalah modal untuk mempererat hubungan Indonesia-Australia sebagai negara tetangga yang berdekatan.