Menonton Drama Penyelundupan BBM di Cilincing
Jalan-jalan kecil nan gelap mengantar kami tiba di depan pintu gerbang sederhana yang terbuka. Petualangan mengungkap penyelundupan BBM pun dimulai. Penyelundupan yang hingga 20 tahun kemudian masih terus terjadi.
Pertengahan April 2000. Mobil yang kami bawa memasuki sebuah perkampungan sempit di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Jalan-jalan kecil nan gelap mengantar kami tiba di depan sebuah gerbang sederhana yang terbuka. Petualangan mengungkap penyelundupan BBM pun dimulai.
Saya dan rekan fotografer Kompas, Eddy Hasby, dan wartawan Kompas lainnya, Bambang Wahyu (almarhum), berbincang dengan seseorang yang menjadi sumber informasi kami. Tak lama, kami diajak naik tangga ke lantai dua sebuah rumah.
Melalui sebuah jendela kecil di salah satu kamar, kami melihat jelas aktivitas yang berlangsung tidak jauh di bawah kami. Sejumlah mobil tangki bahan bakar minyak (BBM) antre untuk ”kencing” ke salah satu tongkang yang berada di pantai. Makin malam makin ramai.
Saya terhenyak karena selama ini saya hanya sebatas mendengar kabar soal penyelundupan. Kali ini saya benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri aktivitas penyelundupan itu.
Apalagi kejadian itu saya alami tidak lama setelah saya dipindah tugas dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ke Jakarta. Saya ditempatkan di desk ekonomi dengan penugasan yang awalnya beragam.
Aparat keamanan dan juga pegawai berseragam kejaksaan ikut nongkrong di tempat itu. Entah apa yang mereka lakukan. Malam itu kami masih mengamati dari jauh.
Baca juga : Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Meski dengan cahaya minim, Eddy Hasby berhasil mengambil gambar aktivitas di tempat itu. Satu kali pengambilan gambar membutuhkan waktu hingga 30 menit. Begitu lama karena kamera harus ”menghimpun” cahaya sekitar agar menghasilkan gambar yang baik dan jelas alias tidak hitam kelam.
Di tengah ketegangan, sempat terjadi peristiwa ”lucu”. Bambang Wahyu tak sengaja mengguncang kamera Eddy yang sudah dipanteng lama untuk menghimpun cahaya. Kontan Eddy marah. Saya menyaksikannya sambil cekikikan. Apa daya, pengambilan gambar harus diulang lagi. Tanpa perlu melihat hasil, film negatifnya dipastikan blur akibat kamera terguncang.
Hari kedua, kami kembali melakukan pengintaian. Kami kembali berada di kamar itu hingga makin yakin dengan aktivitas penyelundupan tersebut. Sejumlah mobil tangki BBM kembali memasuki tempat itu.
Kami terus memantau dari ruangan itu hingga saya terpikir untuk masuk ke lokasi penyelundupan. Teman-teman sempat ragu-ragu, tetapi akhirnya saya jalan sendirian ke tempat itu.
Baca juga : Menjadi Saksi Tangisan Fan Brasil Saat Takluk 1-7 dari Jerman
Saat itu saya hanya mengenakan kaus sehingga tak terlalu mencolok. Sambil berdebar saya masuk ke tempat itu. Untunglah kemudian terlihat warung yang membuat saya sedikit lebih tenang.
Saya langsung terpikir untuk membeli apa pun di warung itu agar orang-orang di sekitar tidak terlalu menaruh curiga dengan aktivitas saya. Di sebelah warung ada tempat duduk yang lumayan ramai. Seingat saya, saya membeli teh botol dan kemudian ikut bergabung dengan mereka.
Saya duduk lumayan lama di tempat itu sambil mendengarkan perbincangan mereka. Aparat keamanan ikut duduk di antara mereka. Entah apa yang mereka lakukan di tengah penyelundupan yang jelas-jelas terjadi di depan mata.
Mobil-mobil tangki bahan bakar terus masuk dan ”kencing” bergantian. Tongkang tampak sandar di pinggir laut. Setelah minum teh botol, saya kembali ke warung untuk membeli makanan, namun entah apa, saya lupa.
Baca juga : Menembus Hutan, Mengendus Jejak Konflik Satwa
Saya sempat kembali duduk, tetapi hanya sebentar. Tempat itu bagi saya sangat jorok sehingga saya tak tahan berlama-lama. Kemudian saya kembali dan bertemu dengan kawan-kawan saya. Malam itu kami mengakhiri pemantauan dan kembali ke kantor sebelum balik ke rumah masing-masing.
Keesokan sorenya kami berinisiatif melihat aktivitas mereka dari laut. Kami kemudian mencari kapal untuk disewa. Iseng kami ke Marina Ancol. Kami langsung menyerah karena harus membayar sekitar Rp 2 juta untuk menyewa kapal yang sebenarnya tidak dipakai lama. Pemilik kapal mengatakan, biaya tetap dihitung seperti satu hari sewa meskipun kami hanya memakainya paling lama satu jam.
Kami kemudian teringat dengan pelabuhan kecil Kaliadem yang biasanya menjadi tempat mangkal kapal rakyat. Banyak kapal di pelabuhan itu yang juga bisa disewa. Di tempat itu, kami sempat tawar-menawar sebelum akhirnya sepakat dengan harga sewa Rp 250.000.
Dengan kapal kecil yang mudah sekali digoyang ombak, kami bertiga menuju laut bersama pengemudi kapal. Mengarungi lautan sore hari dengan kapal semacam itu tentu saja bikin kami deg-degan sepanjang perjalanan.
Baca juga : Ketika Gas Air Mata Mengganas
Ketika ombak menerjang, refleks kami berpegangan ke badan kapal. Selama 30 menit kami melihat-lihat pantai sekitar, hingga akhirnya menemukan titik tempat penyelundupan berlangsung.
Karena masih sore, tak terlihat aktivitas berarti. Tempat itu sepi. Sesekali saja terlihat orang melintas dan hewan piaraan berkeliaran. Beberapa alat seperti mesin pompa dan kapal kecil berada di tempat itu. Sungguh, suasana yang jauh berbeda dengan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat.
Petang hari, aktivitas kami akhiri untuk kemudian pulang dan beristirahat. Keesokan harinya, kami mulai menyusun bahan-bahan untuk menjadi tulisan. Bahan sudah mencukupi. Bukti-bukti penyelundupan sudah cukup kuat.
Harga BBM yang disubsidi di dalam negeri memang sangat murah dibandingkan dengan harga di luar negeri maupun untuk industri. Selisih inilah yang membuat mereka tergiur untuk melakukan tindakan merugikan negara.
Baca juga : Menembus Jantung Pertempuran Paramedis Versus Covid-19
Saat menulis, kami berdebat soal judul. Judul yang paling sangar tentu saja menggunakan kata ”penyelundupan” di depan. Namun, seperti biasa kami tidak akan meledak-ledak sehingga lebih penting memperlihatkan kerugian negara dan juga foto penyelundupan yang menjadi bukti telak.
Masalah kedua adalah dampak tulisan terhadap keselamatan kami. Dari beberapa kasus pengungkapan penyelundupan masa lalu, beberapa senior kami memilih menyembunyikan nama atau inisial fotografer maupun penulis.
Setelah dipertimbangkan, kami tetap menulis inisial di akhir tulisan dan juga di foto seperti biasanya. Kami pasrah jika kemudian muncul masalah. Setelah selesai, rekan saya, Bambang Wahyu, yang biasa dipanggil BW, menyerahkan tulisan ke editor. Setelah itu, kami memilih menghilang beberapa hari alias tidak ke kantor demi menghindari berbagai kemungkinan soal keamanan kami.
Keesokan harinya, berita penyelundupan itu muncul di halaman 1 koran Kompas berikut foto penyelundupan. Hari itu, 15 April 2000, geger pun terjadi. Berita kami menjadi perbincangan.
Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian menjadi presiden negeri ini langsung meninjau lokasi penyelundupan. Pagi hari dia mungkin membaca laporan kami dan menindaklanjuti ke lapangan.
Sejumlah media juga mencari tempat itu dan meliput kedatangan menteri. Hari itu lokasi langsung ditutup oleh polisi. Namun entah kelanjutannya. Sepertinya tidak ada penyidikan dan penindakan hukum kasus itu sehingga berlalu begitu saja. Tidak mengherankan apabila kasus penyelundupan kemudian masih saja terjadi di berbagai tempat.