Momen Wartawan Pindah Kota yang Penuh Kisah
Bagi wartawan baru di ”Kompas”, pindah tugas dari Jakarta ke berbagai daerah lainnya merupakan hal biasa. Proses pindah dan adaptasi di lokasi yang baru akan memberi kisah berbeda bagi setiap wartawan muda.
Bagi wartawan baru di Kompas, pindah tugas dari Jakarta ke berbagai daerah lainnya merupakan hal biasa. Atas nama kebutuhan kantor dan pematangan kemampuan jurnalistik, para wartawan muda harus menerima penempatan di lokasi yang baru.
Proses pindah dan adaptasi di lokasi yang baru akan memberi kisah berbeda bagi setiap wartawan muda. Ada yang langsung mendapatkan masalah, tetapi ada juga yang mendapatkan beberapa pencerahan setelah menjalani liputan yang beragam.
Dua wartawati Kompas, Kristi Utami dan Melati Mewangi mengisahkan proses pindah tugas dan proses adaptasi di lingkungan baru mereka. Pengalaman-pengalaman sederhana yang bakal dikenang dalam waktu yang lama.
Kecopetan
”Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, melainkan juga karena ada kesempatan. Waspadalah!”. Kalimat tersebut selalu diucapkan pria bertopeng yang diberi nama Bang Napi dalam sebuah tayangan berita kriminal di sebuah stasiun televisi swasta. Hampir semua orang tahu, bahkan hafal dengan kata-kata itu, termasuk saya (Kristi Utami).
Hafal dengan kalimat tersebut tidak lantas membuat saya terus-menerus awas. Salah satu contohnya ketika saya kecopetan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Minggu (14/4/2019). Hari itu adalah hari terakhir saya di Jakarta karena mulai Senin (15/4/2019), saya akan mulai bertugas di harian Kompas Biro Semarang, Jateng.
Siang itu, saya memilih pergi ke Semarang menggunakan kereta api Brantas. Kereta tersebut dijadwalkan berangkat pukul 13.30, tetapi saya memilih berangkat ke stasiun lebih awal, yakni pukul 11.30. Saya sengaja memilih naik taksi karena saat itu bawaan saya banyak. Saya membawa 3 tas, yakni tas ransel, tas jinjing, dan koper.
Di dalam taksi, saya mengoperasikan ponsel pribadi dan ponsel dari kantor. Ponsel dari kantor saya gunakan untuk menghubungi Kepala Biro Harian Kompas Semarang Mas Gre. Sementara itu, ponsel pribadi saya gunakan untuk berpamitan kepada teman-teman kantor.
Sekitar pukul 12.30 saya tiba di pintu timur Stasiun Pasar Senen. Dua ponsel yang tadi saya operasikan, saya masukkan ke dalam tas ransel. Setelah turun dari taksi, ada wanita paruh baya yang tiba-tiba menabrak saya dari belakang. Karena kaget, saya menoleh sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat pencetakan tiket.
Saat tiba di depan mesin pencetakan tiket, saya merogoh kantong ransel untuk mencari ponsel. Terkejut bukan main, ponsel saya hilang. Dua-duanya!
”Aduh ! Bagaimana saya bisa cetak tiket. Kode pemesanan tiket saya ada di ponsel tersebut,” kata saya.
Dalam kondisi yang masih kalut, saya mencari petugas keamanan stasiun untuk mengadu. Saat saya mengadu, reaksi petugas keamanan sangat biasa. Petugas keamanan itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terkejut.
”Biasanya kalau sudah begitu, tidak akan kembali lagi ponselnya. Lebih baik diikhlaskan saja,” ucap petugas keamanan tersebut sambil berlalu meninggalkan saya.
Saya kemudian teringat bahwa di sekitar stasiun ada pos polisi. Inisiatif untuk melapor polisi muncul. Setibanya di pos tersebut, ada seorang polisi yang sedang berjaga. Kepadanya saya menceritakan kronologi pencopetan.
Saat tengah bercerita, polisi tersebut bertanya, apa pekerjaan saya. Saya kemudian menjawab bahwa saya adalah wartawan.
”Wartawan kok bisa kecopetan? Gimana sih kamu ini?” kata polisi tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mendengar pertanyaan tersebut, saya geram. Ingin sekali rasanya marah. Memang apa yang salah dengan wartawan yang kecopetan? Apa mungkin copet tidak jadi beraksi kalau tahu korbannya adalah wartawan? Wartawan ini kan tidak sama dengan polisi yang identitas profesinya terlihat.
Karena jengkel, saya memutuskan berpamitan kepada polisi tersebut, kemudian kembali ke stasiun. Saat sampai di stasiun, saya duduk dan menangis. Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar 25 tahun datang menghampiri saya. Dia bertanya menawarkan tisu dan air mineral.
Dari ibu tersebut, saya meminjam ponsel untuk membuka akun e-mail guna mencatat kode pemesanan tiket dan menelepon Bapak yang memang saya ingat.
Di dalam kereta, saya hanya bisa meratapi nasib, berpikir bagaimana cara saya bertahan tanpa ponsel. Ponsel itu berisi banyak nomor telepon, foto-foto, video, dan rekaman suara dari keluarga, teman, dan narasumber. Sedih!
Kesialaan datang bersamaan dengan keberuntungan. Meski kehilangan dua ponsel, tetapi saya beruntung karena dompet saya tidak ikut dicopet. Dengan uang di dompet itu, saya masih dapat membeli ponsel meskipun belum menginstal beberapa aplikasi dan belum memiliki nomer.
Tanpa ponsel yang bisa berfungsi sempurna, saya tidak dapat mengandalkan ojek daring untuk meliput berita. Saya hanya menumpang angkot untuk menuju lokasi liputan. Tanpa aplikasi peta, saya hanya bisa bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang arah yang saya tuju.
Namun, saya gembira karena saya bisa kembali merasakan hidup tanpa bergantung pada ponsel (meskipun cuma beberapa jam). Sejak kejadian tersebut, saya juga selalu protektif terhadap barang-barang saya, terutama saat di keramaian.
Dari hotel ke tengah sawah
Seusai meliput acara Komunikasi Pembangunan Daerah oleh Gubernur Jawa Barat di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Kamis (13/2/2020), Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Saefudin Noer mengajak saya (Melati Mewangi) ke lobi Hotel Pesanggrahan Jatiluhur. Ternyata ia ingin menunjukkan tulisan-tulisan yang dibingkai pigura. Rupanya ada dua tulisan fitur karya saya, yakni Cara Baru Nikmati Belaian Senja di Jatiluhur dan Setengah Abad Waduk Jatiluhur Bersolek.
”Orang harus tahu bagaimana cara menikmati sebuah tulisan yang khas dari sebuah media. Saya suka gayamu menulis, makanya ini saya pigura,” ujarnya semringah.
Ketika tulisan saya bisa dinikmati berbagai kalangan dan memberikan dampak sekitar, itulah yang kian memacu saya terus menelurkan karya yang lebih baik. Benarlah peribahasa Latin verba volant, scripta manentyang artinya, yang diucapkan akan lenyap dan yang tertulis menetap.
Ketika saya menjalin relasi dengan tokoh-tokoh penting sama artinya membangun kepercayaan mereka, juga penghargaan pada karya-karya yang dihasilkan media saya.
Pengalaman membangun kepercayaan narasumber tersebut mengingatkan saya pada saat-saat awal menjalani penugasan di daerah ini. Sebelum dikirim ke daerah, seorang senior di Jakarta pernah berpesan kepada saya bahwa kesepian akan mendera berkali lipat saat seseorang ditugaskan di daerah. Apa benar begitu? Pernyataan itu justru menantang saya menjalin relasi dan menemukan keluarga baru di lokasi penempatan.
Saya yakin kesepian tidak hanya dialami senior itu, tetapi juga sebagian besar wartawan yang pertama kali ditempatkan di suatu daerah. Perbedaan kultur, budaya, bahasa, kebiasaan, dan makanan menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi.
Sebagai gambaran, daerah ini memiliki potensi pertanian, pariwisata, dan budaya Sunda yang kental. Baru sekitar 10 bulan, saya ditugaskan di sisi utara Provinsi Jawa Barat, tentu masih berproses dalam menjalin relasi dengan narasumber dari instansi dan juga masyarakat sekitar.
Saat ditugaskan di Jakarta, biasanya seusai liputan, kami kembali ke kantor dan mengobrol santai dengan teman. Namun, berbeda saat ditugaskan di daerah, cara terbaik membunuh kesepian adalah bermain ke rumah warga atau narasumber seusai liputan. Jurus sok kenal sok dekat pun menjadi andalan.
Awal Januari 2020, saya berkesempatan meliput banjir di Kecamatan Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat. Saya memarkirkan motor di depan rumah warga. Siang itu, hujan lebat terus mengguyur, tangan saya sampai menggigil kedinginan. Maklum untuk ke lokasi itu, saya harus menempuh jarak 50 kilometer dengan kondisi hujan selama perjalanan.
Saya pun berteduh di rumah warga untuk memperoleh informasi awal tentang banjir yang melanda desa itu. Obrolan semakin seru di rumah Teh Ana, tidak terasa 3 jam berlalu begitu saja. Berinteraksi dengan warga lokal juga menambah kosakata bahasa Sunda.
Kami baru bertemu hari itu, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Senangnya bisa dipertemukan orang baik di tanah rantau. Setelah hujan reda, anak dan dua keponakan Teh Ana ikut menemani saya liputan. Kami pun berkeliling ke sekitar lokasi banjir, yup berboncengan seperti konvoi.
Saat ada liputan di sekitar sana, saya sempatkan berkunjung lagi ke rumah Teh Ana. Semangkok bakso dan teh manis panas menemani obrolan sore itu. Kali ini, teteh bercerita tentang perpisahan dirinya dan sang suami. Speechless, saat mendengarkan kisah itu, banyak hal yang bisa saya petik.
Singgah di rumah warga lainnya juga bisa menambah pengetahuan dan pengalaman. Ada saja cerita unik yang muncul dalam percakapan itu. Apalagi ketika mereka merasa didengar, obrolan bakal berlangsung lama karena mengalir begitu saja. Inilah salah satu cara mengusir kesepian cukup ampuh. Bisa jadi mereka juga kesepian dan membutuhkan teman mengobrol.
Setelah pamit, kalimat perpisahan yang paling sering mereka ucapkan adalah ”Sering-sering main sini, ya, Neng. Jangan kapok main ke rumah.” Tentu saja saya tidak kapok karena mendapatkan keluarga baru.
Kebiasaan warga desa adalah membawakan buah tangan untuk tamu. Kerap kali saya menolak karena tak ingin merepotkan. Ternyata, jika menolaknya, saya dinilai tidak sopan, dianggap tak menghargai mereka. Buah tangan istimewa adalah hasil kebun mereka sendiri, misalnya buah jambu, mangga, pepaya, dan petai.
Di Karawang, banyak sawah yang dikelola buruh tani dan petani penggarap. Mereka mudah dijumpai dari pagi hingga sore hari. Ketika panen raya, mereka akan meramaikan sawah dengan berbagai bekal yang mereka bawa dari rumah.
Terkadang kerinduan kepada keluarga bisa terobati sementara lewat hangatnya sapaan petani yang mengajak saya makan bersama di tengah sawah. Setiap petani membawa bekal yang berbeda dan mereka berbagi lauk. Rupanya tradisi potluck diterapkan di sana.
Ada nasi putih, ikan asin goreng, ikan teri, telur goreng, sambal bawang, dan petai goreng. Semuanya dibungkus dengan daun pisang. Mereka memakan semuanya dengan lahap. Saya pun tak mau ketinggalan. Teriknya matahari siang itu terkalahkan nikmatnya makan siang di tengah sawah.
Meski kakek dan nenek dari ayah akrab dengan dunia pertanian, saya belum pernah merasakan makan di tengah sawah. Pengalaman ini seolah menjadi sarana merasakan denyut kehidupan petani dan mengingat mereka.
Saat kesepian datang dan melawannya bukanlah hal tepat. Meleburkan diri dalam kesibukan dan menemukan keluarga baru semoga dapat menepiskan perasaan itu, sekaligus merajut kepercayaan narasumber dari beragam lapisan masyarakat.