Mendadak Natuna
Kelima kapal itu seakan menari-nari berlantai permukaan laut. ”KRI yang mana?” tanya saya. ”Yang kecil,” jawab seorang tentara. Duh, sedih rasanya. Dari atas pesawat, tak terbayangkan situasi yang dihadapi para kru KRI.
Hangover malam Tahun Baru belum usai. Kehebohan banjir masih menjadi trending topic di mana-mana. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, media didominasi berita banjir.
Jadi, sebagai wartawan bidang pertahanan, saya relatif hanya memantau perkembangan. Sebab, beberapa minggu sebelumnya mulai muncul kehebohan. Nelayan-nelayan di Natuna mendapati kapal-kapal pencuri ikan dari China. Meski begitu, saya kaget juga ketika tiba-tiba mendapat pesan singkat di telepon.
”Mbak, besok sibuk nggak? Ke Natuna, yuk. Pake Boeing TNI AU. Kalau bisa di baseops Halim jam 7,” begitu pesan pendek yang saya terima pada 2 Januari 2020 sore.
Sudah seperti diajak teman nongkrong ke mal sebelah saja, nih, pikir saya. Walau masih suasana liburan, saya tahu ajakan yang kelihatan santai itu sebenarnya serius.
Ajakan itu saya sampaikan kepada Kepala Desk Politik Harian Kompas yang membawahkan masalah keamanan. Ia pun langsung setuju. Alhasil, semua janji harus saya batalkan.
Berhubung sudah beberapa kali ke Natuna, saya sudah bisa memperkirakan kondisi yang akan dihadapi. Walaupun terpencil, Natuna sudah cukup lengkap sehingga tidak perlu takut kalau kekurangan baju atau uang.
Meski belum punya mal, toko kelontong dan ATM bertebaran di mana-mana. Yang penting, siap mental saja karena biasanya perjalanan seperti ini bisa molor hingga berhari-hari.
Pagi-pagi saya sudah ada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Rupanya, rombongan dipimpin oleh Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) 1, sebuah organisasi baru di tubuh TNI.
Baca juga : Saatnya Menegaskan Kedaulatan di Laut Natuna Utara
Dengan adanya Kogabwilhan 1, semua operasi yang biasanya dikendalikan oleh Panglima TNI didelegasikan ke Panglima Kogabwilhan yang jumlahnya ada tiga, yakni di bagian barat, tengah, dan timur Indonesia. Kogabwilhan 1 bisa mengerahkan baik angkatan darat, laut, maupun udara dalam sebuah operasi.
Sambil menunggu keberangkatan, saya dan beberapa wartawan memperhatikan, ada yang berbeda dengan pesawat yang akan kami naiki. Pesawat itu adalah pesawat intai strategis yang dimiliki Skuadron Udara 5 yang bermarkas di Makassar.
Pesawat Boeing 737-200 ini bukan pesawat angkut, melainkan pesawat pengintaian. Dalam pertempuran, pesawat ini yang memantau seluruh pergerakan kawan dan lawan dari udara serta memberikan masukan kepada panglima perang untuk mengambil keputusan. ”Wah, baru sekali ini kita naik pesawat ini,” kata seorang wartawan.
Benar saja. Kali ini, semua penumpang sipil, yaitu para wartawan, harus menyerahkan KTP dan kartu identitas wartawan untuk security clearance. Setelah semua dokumen itu beres, baru kami diminta bersiap-siap naik ke pesawat.
Baca juga : Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Akan tetapi, sebelum itu, bagian penerangan Armada I mengatakan bahwa Pangkogabwilhan Laksamana Madya Yudo Margono bersedia diwawancara dengan latar belakang pesawat intai strategis itu.
”Kita akan melaksanakan operasi siaga tempur laut,” kata Yudo.
Sontak saya kaget. Lho, mau bertempur dengan siapa? Kok, mendadak ingin bertempur? Segera saya mengonfirmasi hal ini kepada Yudo sebelum naik ke pesawat.
Ia lalu menjelaskan bahwa operasi siaga tempur laut itu adalah operasi rutin yang dilaksanakan sepanjang tahun oleh Armada I TNI AL. ”Ooh…,” kata saya lega.
Pesawat intai strategis ini tidak bisa memuat banyak penumpang. Sebagian besar pesawat itu diisi oleh alat pengintai. Kamera yang terletak di perut pesawat bisa dinaikturunkan sesuai kebutuhan.
Ruangan tempat alat-alat monitor terpasang adalah ruang yang super-rahasia. Walau hanya dibatasi gorden, wartawan tidak diperbolehkan masuk. Boro-boro menjejakkan kaki, mengintip dari balik gorden saja tidak bisa. Awak pesawat terlihat ramah, tapi jelas mereka tidak akan main-main kalau ada yang nekat.
Baca juga : Menembus Pertambangan Liar dan Menggali Kisah Bayi Berkelainan
Di ruang penumpang yang hanya terdiri dari empat baris kursi VIP itulah wartawan duduk. Terdapat satu monitor televisi yang menyiarkan ulang hasil pantauan di ruang super rahasia.
Televisi itu padam sampai kira-kira setengah jam sebelum mendarat. Rupanya, pesawat terbang dahulu ke arah Laut Natuna Utara, baru nanti kembali lagi ke selatan untuk mendarat di Lanud Ranai, Natuna.
Yudo dan stafnya sedang sibuk di balik gorden. Karena tidak boleh masuk, kami terkantuk-kantuk di kursi. Tiba-tiba, Yudo ke ruangan penumpang dan menyalakan layar monitor televisi. Ia menunjukkan gambar-gambar kapal asing.
Semua langsung berdecak, antara kagum dan khawatir. Ukuran kapal-kapal nelayan China sangat besar. Dari udara bisa terlihat, ada dua kapal yang melaju berdampingan, tengah menarik satu jala besar.
Mereka tidak tanggung-tanggung menangkap ikan. Ibaratnya seperti menyaring laut. ”Itu namanya double trawl, kira-kira besaran kapalnya di atas 300 gros ton,” kata Yudo.
Seketika hati saya seperti jatuh ke perut. Kapal-kapal nelayan Indonesia 95 persen berukuran di bawah 150 gros ton. Tidak heran, walaupun lagunya Indonesia bangsa pelaut, nelayan-nelayannya kebanyakan gurem dan berlayarnya tidak jauh-jauh dari pantai. Berbeda dengan nelayan-nelayan China, bahkan Thailand, yang bisa berbulan-bulan ada di laut.
Baca juga : Kelebat Putih di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Logistik mereka dibawa oleh kapal besar yang datang untuk mengangkut ikan hasil tangkapan dan membawa bahan bakar minyak dan makanan agar kapal-kapal ikan yang besar itu bisa bertahan di tengah laut. Selain masalah logistik, keberadaan para nelayan di laut juga tergantung mental.
Di sekitar kapal-kapal nelayan China itu tampak kapal-kapal berukuran lebih kecil. Itulah kapal-kapal coast guard-nya. Ciri-cirinya, catnya putih dan ada garis putih membentuk huruf H kalau dilihat dari atas, di bagian geladak kapal. Huruf H itu adalah tempat helikopter mendarat.
Jika dilihat dari samping, di kapal-kapal coast guard itu tertera nomor lambung. Kamera pesawat intai memutar ke samping dan mengambil beberapa foto dan video yang merekam nomor lambung kapal-kapal coast guard itu.
Yang menarik, semua kapal itu menyalakan sistem identifikasi otomatisnya yang memancarkan identitas kapal. Ini berarti mereka ingin kehadirannya diketahui pihak lain.
Diskusi pun merebak di atas pesawat. Pertama, setelah tahun 2016, baru kali ini kapal-kapal nelayan China masuk lagi ke wilayah berdaulat Indonesia, yaitu di zona ekonomi eksklusif (ZEE). Apa yang mendorong mereka melakukannya?
Yang kedua, modusnya berubah. Kalau dulu kapal-kapal coast guard ada di belakang dan mengawal dari jauh, kali ini kapal-kapal itu berlayar bersama-sama dengan kapal-kapal nelayannya.
Baca juga : Di Bawah Bayang-bayang Teror Penembakan di Papua
Ketiga, walaupun mereka dikategorikan mencuri ikan alias ilegal, mereka melakukannya dengan terang-terangan, yaitu dengan menyalakan sistem identifikasi otomatisnya. Hal ini yang menjadikannya menarik untuk dianalisis.
Tiba di Natuna, rombongan bergerak ke arah Selat Lampa. Di sini baru setahun diresmikan Pangkalan Terintegrasi TNI. Tampak, KRI Tjiptadi dan KRI Teuku Umar beserta jajaran awak dan berbagai artileri pertahanan udara dan medan TNI yang telah bersiap-siap untuk apel operasi siaga tempur laut.
Upacara selesai dengan melambai-lambaikan tangan ke kru KRI Tjiptadi dan KRI Teuku Umar. ”Daah… daah…. Mas-mas yang gagah berani,” teriak saya dari pinggir dermaga.
Para awak kapal, seperti biasa, saat meninggalkan dermaga akan berdiri di tepi-tepi kapal. Mukanya sih dingin, tapi saya yakin mereka pasti tersenyum bangga. Kru KRI Tjiptadi ini nyalinya gede-gede.
Momen paling diingat masyarakat adalah saat beberapa bulan lalu KRI ini hampir ditabrak (dengan sengaja) oleh kapal penjaga pantai Vietnam. Saya masih ingat awak-awak kapal yang berlari di haluan kapal sambil berteriak, ”Dian***k!”
Susahnya, KRI sebagai kapal perang tidak boleh bertindak berlebihan pada kapal nelayan ataupun penjaga pantai asing. Pasalnya, aturan baku di seluruh dunia, militer tidak boleh bertindak agresif terhadap sipil, apalagi dalam kondisi damai.
Baca juga : Nyaris Karam di Kapuas Saat Meliput Daun Ajaib
Makanya, walaupun emosi, tindakan mereka harus terjaga. Menghadapi China akan lebih berat lagi. Pasalnya, tidak saja kapal-kapal China berukuran lebih besar, senjata mereka—walau pasukan penjaga pantai—juga canggih.
KRI Teuku Umar dan KRI Tjiptadi ini bukan saja bekas dari Jerman Timur yang dibeli tahun 1993, tetapi memang sudah tergolong renta karena dibuat sekitar tahun 1985. Jangan tanya tentang kesiapan persenjataannya. Perpaduan antara cerita horor dan drama romantis karena bisa mengharu biru.
Malam itu diakhiri dengan istirahat di kamar masing-masing. Karena satu-satunya perempuan dalam rombongan, saya dapat fasilitas menginap di penginapan dekat pangkalan Angkatan Laut.
Untung bisa tidur nyenyak malam itu. Karena pagi-pagi, saat sedang asyik menikmati sarapan, seorang staf Pangkogabwilhan I mendekati sambil senyum-senyum. ”Wah, alamat enggak asyik, nih,” pikir saya.
Dan, benar saja. ”Mbak, kalau diperpanjang… kalau nih… mau, ya?”
Ibarat makan buah simalakama. Aslinya sih sudah malas karena secara psikologis, siapnya hanya sehari. Urusan baju dan makan sih sebenarnya tidak terlalu masalah. Akhirnya, dengan agak menggantung, saya pun menjawab. ”Ya, kalau emang perlu… enggak apa-apalah,” kata saya.
Rupanya, staf tersebut menyampaikan kepada Pangkogabwilhan Laksamana Madya Yudo Margono. Pagi itu, di meja makan, seusai mengucapkan selamat pagi, saya meng-update kondisi terakhir keberadaan kapal-kapal China di Laut Natuna Utara.
Baca juga : Kota Wuhan yang Saya Kenal
Laporan sementara menyatakan, beberapa jam sebelumnya kapal-kapal China sudah berlayar jauh dari posisi sebelumnya. Akan tetapi, Yudo mengatakan, perlu ada pengecekan lagi secara kasatmata dengan pesawat intai strategis. Kami pun kembali naik pesawat.
Dan, benar saja. Ternyata kapal-kapal China itu masih ada. Mereka bahkan semakin dekat ke arah Natuna. Pagi itu, pesawat Boeing berada di koordinat 5 35 Lintang Utara dan 109 23 derajat Bujur Timur. Jaraknya sekitar 115 mil laut dari Ranai, Kabupaten Natuna.
Sehari sebelumnya, di koordinat 5 51 Lintang Utara dan 109 19 Bujur Timur, pesawat itu menemukan sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal coast guard atau penjaga pantai. Saat itu, belum ada kapal nelayan Indonesia ataupun kapal perang RI (KRI) di lokasi.
Pada Sabtu, kapal-kapal China sudah bergeser ke selatan, makin mendekati Ranai. Pelanggaran ini telah jauh melewati batas ZEE yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200 mil ke arah laut. Kapal-kapal China ini telah masuk sekitar 93 mil ke dalam ZEE Indonesia.
Kamera pesawat menyoroti lima kapal yang berada di sekitar 107 mil laut dari Ranai, ibu kota Natuna. Lima kapal itu terdiri dari KRI Teuku Umar, KRI Tjiptadi, dua kapal penjaga pantai China, serta sebuah kapal pengawas maritim.
Baca juga : Mental Ditempa di SEA Games Filipina
Kelima kapal itu seakan menari-nari berlantai permukaan laut. ”KRI yang mana?” tanya saya. ”Yang kecil,” jawab seorang tentara. Duh, sedih rasanya.
Dua KRI yang panjangnya 76 meter itu tampak kecil di tengah gelombang setinggi 4 meter serta tiga kapal Cina dengan panjang 99 meter. Dari atas pesawat, saya tidak bisa membayangkan situasi yang dihadapi para kru KRI.
Salut untuk mereka semua yang telah melaksanakan tugasnya dengan kondisi serba terbatas. Entah sampai kapan situasi ini akan terus berlangsung. Semoga identitas bangsa maritim tidak sekadar menjadi gincu, tetapi dilaksanakan juga dengan baik.