Mental Ditempa di SEA Games Filipina
Meski mendapatkan banyak tantangan, liputan ajang olahraga juga selalu memberikan kegembiraan. Hal menyenangkan adalah ketika melihat bendera Merah Putih berkibar di tiang tertinggi dan ”Indonesia Raya” berkumandang.
”Saya akan mengawasi kamu dan memastikan kamu tidak memotret,” kata seorang petugas keamanan, di kompleks olahraga Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina, Rabu (27/11/2019).
Kata-kata petugas keamanan itu masih membekas dalam ingatan setiap kali saya mengenang pengalaman meliput SEA Games 2019. Saat itu, bersama fotografer Kompas.com, Garry Andrew Lotulung, dan juru kamera Kompas TV, Atmojo Widi Arif Wicaksono, saya berjalan kaki memasuki arena SEA Games 2019 untuk melihat latihan akhir tim angkat besi Indonesia.
Sebagai jurnalis olahraga, teman-teman dan saya dituntut membuat liputan lengkap mengenai pesta olahraga antarnegara se-Asia Tenggara ini. Liputan lengkap itu mulai dari persiapan atlet, masa kejuaraan, hingga evaluasi setelah SEA Games berakhir. Oleh karena itu, meskipun SEA Games resmi dimulai pada Kamis, 28 November 2019, liputan sudah berjalan beberapa hari sebelumnya.
Mulanya, saya berpikir bahwa rencana meliput latihan tim angkat besi akan berjalan sesuai agenda. Apalagi, sehari sebelumnya, saya sudah meminta izin liputan kepada pelatih dan atlet. Tim ”Merah Putih” sangat senang mengetahui jurnalis Kompas akan datang. Namun, begitu sampai di gerbang masuk Rizal Memorial Stadium, langkah kami justru terhenti karena dicegat petugas keamanan.
”Kenapa saya tidak boleh meliput?” tanya saya kepada petugas itu.
”Oh, ini aturan tuan rumah,” ujarnya.
Petugas itu mengatakan, media dilarang meliput SEA Games sebelum upacara pembukaan. Mendapat larangan itu, muncul rasa kesal di dalam hati. Apalagi, ini bukan pertama kalinya saya ditegur petugas. Pada Selasa (26/11/2019), petugas juga melarang saya memotret latihan tim tenis Indonesia. Ada perasaan tidak terima karena dua hari berturut dilarang mengambil gambar.
Saya tidak puas mendengar jawaban dari petugas itu. Kalau memang tuan rumah melarang semua jurnalis meliput sebelum upacara pembukaan, seharusnya informasi itu disampaikan kepada media sejak jauh-jauh hari. Ada perasaan beban karena saya sudah dikirim ke Manila untuk meliput persiapan SEA Games. Rasanya tidak puas kalau harus kembali dengan tangan kosong.
Baca juga: Stamina Prima demi SEA Games Filipina
Saya menarik napas panjang dan berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini. Kepada petugas keamanan itu, saya berusaha berkompromi. Saya meminta izin untuk berbicara kepada delegasi teknis angkat besi. Apabila delegasi teknis itu juga melarang tim Kompas liputan, saya memutuskan akan mundur. Setelah proses negosiasi, akhirnya delegasi teknis angkat besi mengizinkan Kompas meliput dengan catatan saya dan kawan-kawan hanya mengambil gambar tim Indonesia.
Oh, saya baru mengerti. Rupanya petugas keamanan tadi melarang saya memotret karena mereka takut disorot oleh media mengenai arena kejuaraan yang masih dalam tahap pembangunan. Sehari sebelum pembukaan, arena kejuaraan sebetulnya belum siap digunakan. Setelah diizinkan masuk ke dalam arena latihan, delegasi teknis mengizinkan tim Kompas mengambil gambar selama 10-15 menit. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Waktu memotret yang mulanya dijanjikan hanya 10-15 menit akhirnya bisa berjalan sekitar 45 menit. Kepada delegasi teknis itu saya mengucapkan terima kasih.
”Oh tidak masalah, saya senang membantu. Saya tahu tim angkat besi Indonesia sangat kuat karena itu kalian memotret,” katanya. Saya lega karena kesulitan liputan bisa diselesaikan dengan komunikasi dan kompromi dengan pihak-pihak terkait.
Liputan SEA Games 2019 memang meninggalkan banyak pengalaman suka dan duka. Untuk meliput event ini, Kompas mengirim tujuh jurnalis. Selain Garry, Mojo, dan saya, ada pula reporter Kompas Adrian Fajriansyah, reporter Kompas TV Rinintha Niken Dhaningtyas, reporter Kompas.com Ferril Dennys Sitorus, dan juru kamera Yasir Jarul Alam. Untuk menyusun liputan SEA Games, setiap jurnalis mendapatkan tugas masing-masing. Adrian dan Yasir bertugas meliput wilayah di luar Manila, seperti di New Clark City dan Subic, sementara yang lain bertugas di Manila.
Selama berada di Filipina, beberapa masalah yang dihadapi adalah kesulitan mendapatkan kartu akreditasi serta masalah transportasi dan akomodasi. Sulitnya transportasi sempat membuat tim Kompas menumpang kendaraan polisi saat dalam perjalanan dari Rizal Memorial Stadium menuju penginapan. Masalah ini memang membuat kesal, tetapi juga menempa jurnalis untuk bisa beradaptasi dalam berbagai situasi yang dihadapi.
”Jangan mengeluh... jangan mengeluh...” adalah mantra ajaib sekaligus prinsip yang dipegang teguh selama liputan di Filipina.
Sebetulnya, saya tidak terlalu kaget apabila tim tuan rumah Filipina tidak siap untuk menyelenggarakan ajang multicabang dua tahunan ini. Sejak beberapa pekan sebelum SEA Games bergulir, sudah banyak foto beredar di sosial media yang menggambarkan ketidaksiapan tuan rumah.
Foto yang viral misalnya kursi press conference media yang terbuat dari plastik. Ada pula foto yang menunjukkan arena pertandingan belum selesai dicat. Ketidaksiapan tuan rumah juga sudah terlihat dari keluhan-keluhan atlet yang tiba di Manila lebih awal. Contohnya, tim menembak Indonesia harus direpotkan karena peralatan latihan tertahan di bandara. Demikian juga kartu akreditasi tim polo air Indonesia yang belum selesai dicetak. Tanpa kartu akreditasi itu, tim polo air tidak bisa masuk ke dalam wisma atlet. Tim sepak bola juga sempat kesulitan transportasi latihan.
Mendapatkan informasi ini, saya tidak memasang ekspektasi tinggi terhadap liputan SEA Games 2019. Namun, tetap saja, ketika masalah-masalah itu mengganggu agenda liputan, perasaan menjadi campur aduk. Saat meliput pembukaan SEA Games 2019, misalnya, saya kesulitan mengirim berita dan foto-foto karena buruknya sinyal ponsel di lokasi pembukaan. Ketika itu, saya betul-betul merasa hilang harapan dan ingin menyerah. Jangankan untuk mengirim tulisan, untuk mengirim pesan atau menelepon saja tidak bisa.
Padahal, ketika pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, jurnalis dimanjakan dengan berbagai fasilitas media. Untuk liputan pembukaan, jurnalis disediakan arena khusus yang dilengkapi dengan meja, kursi, colokan, dan akses internet gratis. Dengan fasilitas kerja lengkap, jurnalis dari berbagai negara bisa menuliskan reportase pembukaan secara lengkap.
Hal menyenangkan adalah ketika melihat bendera Merah Putih berkibar di tiang tertinggi dan ’Indonesia Raya’ berkumandang.
Berbeda dengan di Filipina, tempat duduk wartawan bercampur dengan penonton. Tidak ada fasilitas khusus jurnalis sehingga merepotkan wartawan yang bekerja. Saya ingat, ketika itu reporter Kompas, Adrian Fajriansyah, berkata, ”Dengan situasi serba sulit seperti ini, memang kita tidak bisa bekerja secara ideal. Kita lakukan saja yang terbaik yang bisa kita lakukan,” katanya.
Setelah upacara pembukaan, dengan perasaan kacau, akhirnya saya bersama beberapa rekan jurnalis kembali ke Manila. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Perjalanan kembali ke Manila ditempuh selama 3 jam menembus kemacetan jalan raya. Di dalam kendaraan, saya menulis berita menggunakan telepon genggam. Tulisan itu langsung saya kirimkan begitu ada sinyal masuk.
Meski mendapatkan banyak tantangan, liputan ajang olahraga juga selalu memberikan kegembiraan. Hal menyenangkan adalah ketika melihat bendera Merah Putih berkibar di tiang tertinggi dan ”Indonesia Raya” berkumandang. Rasa bangga dan haru tidak hanya terasa oleh atlet, pelatih, dan penonton, jurnalis yang bekerja mengabadikan peristiwa juga merasa bangga.
Perjuangan atlet-atlet pada ajang olahraga tidak hanya tentang menang-kalah, tetapi juga tentang pengorbanan, dedikasi, serta kerja keras untuk selalu menunjukkan yang terbaik, terhebat, dan terkuat. Sekalipun, dalam perjuangan itu, apa yang dihadapi oleh atlet tidak selalu dalam kondisi ideal.
Edgar Xavier Marvelo merupakan contoh atlet yang mampu mengelola emosi menjadi prestasi. Atlet wushu itu harus tampil di tengah duka kepergian sang ayah, Lo Tjhiang Meng, yang meninggal beberapa saat sebelum ia bertanding. Di tengah duka, Edgar menyumbangkan dua medali emas nomor daoshu/gunshu combined putra dan nomor duilian putra bersama Seraf Naro Siregar dan Harris Horatius. Atlet angkat besi Windy Cantika Aisah juga menyumbangkan medali emas pada kelas 49 kg di tengah kemelut hati karena sang ayah menjalani operasi tumor.
Windy mengatakan, sebelum tampil di SEA Games ia sering menghadapi tantangan hidup. ”Kalau tantangan-tantangan itu bisa kita lalui, berarti tantangan kali ini juga bisa,” kata lifter berusia 17 tahun itu. Semangat, dedikasi, persistensi atlet-atlet sekiranya bisa menjadi refleksi siapa saja dalam menjalani hidup.