Ada Asap, Ada Korupsi
Dengan sangat hati-hati, saya masuk, melompat, melangkahi kubangan bara api gambut, lalu bersama masyarakat menemukan sumur bor fiktif yang hanya berupa pipa yang ditanam begitu saja di tanah.
Kebakaran lahan gambut sejak 1 Juli 2019 di Kalimantan Tengah, khususnya Kota Palangkaraya, menimbulkan asap yang menelusup hingga ke kamar-kamar di rumah warga. Asapnya menyesakkan dada dalam arti yang sebenarnya, selain menyesakkan dada akibat prihatin karena kebakaran yang hampir tiap tahun terjadi.
Pada Jumat (26/7/2019) malam, tas ransel sudah siap saya gendong ke Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur. Di lokasi yang berjarak 7 jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya itu, saya berniat meliput kerusakan sungai. Namun, tiba-tiba, istri mengeluh sesak napas dan pusing di bagian belakang kepala.
Saya lalu menaruh kembali semua barang dan memanggil layanan mobil daring. Saya berganti menggendong anak saya yang masih berusia 1 tahun 9 bulan. Kami lantas berangkat ke Rumah Sakit Betang Pambelum yang paling dekat dengan rumah.
Di ruangan unit gawat darurat (UGD), dokter melakukan uji spirometeri. Ini dilakukan untuk melihat kadar oksigen dalam tubuh. Ternyata benar dugaan saya, kadar oksigennya menurun. Padahal, dirinya tidak memiliki riwayat asma.
Seusai istri masuk UGD, gantian anak saya yang mulai batuk-batuk. Padahal, saya dan istri sudah membatasinya agar sesedikit mungkin bermain di luar rumah. Begitulah, kebakaran lahan gambut telah memengaruhi kesehatan warga Palangkaraya, termasuk keluarga kami.
Kami berusaha menahan sebisa mungkin masuknya asap ke dalam rumah. Semua ventilasi jendela dan pintu kamar ditutup agar asap seminimal mungkin masuk. Kamar ini menjadi ruang andalan yang kondisi udaranya cukup baik untuk dihirup.
Baca juga: Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Namun, ternyata semakin hari kondisi udara di Kota Palangkaraya semakin buruk hingga masuk level berbahaya. Akhirnya, meski sempat menolak, istri dan anak saya minta untuk mengungsi sementara karena kondisi semakin mengkhawatirkan.
Awalnya, saya berencana mengungsikan mereka ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Namun, dengan segala pertimbangan, akhirnya istri dan anak saya pulang ke kampung kami di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka berangkat dari Palangkaraya awal Agustus dan baru kembali awal Oktober lalu.
Saya terpaksa mengungsikan anak dan istri karena mereka baru satu tahun tinggal di Palangkaraya. Sebelum ini, keduanya tidak pernah berada dalam situasi kota yang diselimuti asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Sementara saya sudah 4 tahun bertugas meliput di Kalimantan Tengah. Hampir setiap tahun pula saya menulis tentang kebakaran hutan dan lahan karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Pada 2019, kebakaran begitu hebat dan terjadi di mana-mana, menyerupai bencana asap 2015.
Baca juga: Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2019, secara nasional setidaknya 328.000 hektar hutan dan lahan terbakar dan 189.000 hektar di antaranya merupakan lahan gambut. Di Kalteng sendiri, sedikitnya 44.769 hektar terbakar, yang sebagian merupakan lahan gambut.
Selain faktor kebiasaan, membakar lahan dinilai menjadi cara paling cepat dan murah untuk membuka lahan. Meskipun ada ancaman hukuman terhadap perbuatan membakar dan ratusan orang sudah ditangkap, kebakaran tetap terjadi.
Apabila gambut sudah terbakar, hanya hujan yang bisa menghentikan api yang terus membara. Pencegahan dilakukan dengan membuat gambut tetap basah. Pemerintah sampai membentuk lembaga khusus untuk mengurusi gambut.
Saya pun menulis banyak tentang proses pemulihan dan menjaga gambut agar tidak terbakar. Hingga suatu hari saya melakukan investigasi terkait proyek pembasahan gambut.
Bau korupsi
Sebagai bentuk pencegahan, pemerintah membangun infrastruktur pembasahan lahan gambut, yakni dengan membangun sekat kanal dan sumur bor. Belasan ribu sumur bor dibangun. Ribuan sekat kanal dipasang di parit-parit pembelah lahan gambut.
Selama liputan bersama para petugas pemadam, saya mendapat informasi banyaknya sumur bor yang tidak berfungsi atau bahkan tidak dibuat di lokasi-lokasi yang dekat dengan kebakaran.
Berdasarkan informasi masyarakat, saya mencoba menelusuri lokasi-lokasi sumur bor yang tidak berfungsi. Salah satunya di Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau; dan Tanjung Taruna.
Beberapa sumur saya temukan dalam keadaan terbakar. Ada juga yang sama sekali tidak terpasang atau yang saya sebut fiktif dalam pemberitaan. Pemerintah membantah sumur-sumur fiktif itu buatan mereka.
Baca juga: Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Untuk mencari sumur bor yang fiktif itu, saya masuk ke lokasi-lokasi kebakaran. Sebagian besar merupakan kebun dan hutan yang dijangkau dengan kelotok (perahu bermotor) sewaan atau berjalan kaki di atas lahan gambut yang sebagian masih berasap.
Beberapa kali kaki saya terjerembab ke dalam gambut yang masih membara. Untung saja sepatu bot yang saya gunakan masih mampu menahan panas bara gambut.
Dengan sangat hati-hati, saya masuk, melompat, melangkahi kubangan bara api gambut, lalu bersama masyarakat menemukan sumur bor fiktif yang hanya berupa pipa yang ditanam begitu saja di tanah.
Selain itu, saya juga menemukan sedikitnya 14 plang penunjuk pipa yang entah dibuang atau sengaja tidak ditanam.
Baca juga: Berdamai dengan Darah Korban Kecelakaan
Lalu, saya kembali ke Kota Palangkaraya dan membuat beritanya. Butuh dua hari lamanya untuk mendapatkan semua konfirmasi dari pihak yang terlibat pembuatan sumur bor itu.
Tulisan kemudian saya kirimkan ke kantor Jakarta seperti biasa. Berita pertama naik di Kompas.id pada Jumat, 6 September 2019, dengan judul ”Evaluasi Sumur Bor di Kalteng”. Berita itu juga terbit di harian Kompas pada Senin, 9 September 2019.
Setelah berita itu muncul, sesuai perkiraan, banyak orang kemudian menghubungi saya. Sebagian bertanya lebih jauh soal temuan itu. Sebagian lagi membuat klarifikasi.
Hingga akhirnya, Pemerintah Provinsi Kalteng membuat konferensi pers khusus untuk menanggapi pemberitaan itu. Menurut mereka, sumur bor itu berada di luar wilayah kerja mereka dan menganggap ada yang mencoba menjatuhkan mereka dengan membuat sumur bor fiktif.
Baca juga: Perjuangan Jurnalis yang Menjadi Ibu Menyusui
Semua orang membicarakan berita itu. Ada yang menuduh saya membuat berita bohong, ada juga yang bilang saya tendensius, dan banyak lagi. Saya tak banyak menanggapi.
Tak sedikit juga yang mengirim pesan dukungan. Bahkan, salah satu pelanggan setia koran Kompas di Palangkaraya menelepon dan berkata, ”Mereka yang protes beritamu itulah yang terlibat. Maju terus, Do. Saya percaya Kompas.”
Ada juga yang mendatangi saya di tempat biasa saya mengetik berita hanya untuk mendengar langsung penjelasan mengenai berita tersebut. Beberapa orang lagi menunjukkan sejumlah percakapan di grup Whatsapp yang isinya menglarifikasi berita tersebut atau berupa tuduhan kasar bahwa berita itu hoaks.
Tak lebih dari dua minggu setelah berita itu, saya ditelepon teman satu profesi, ”Do, ke kantor dinas lingkungan hidup (DLH) sekarang. Gara-gara beritamu, nih, jaksa geledah kantor ini,” ujar teman itu.
Baca juga: Pertemuan Berkesan dengan Para Pemenang Kehidupan
Saya yang tadinya berada 23 kilometer dari Kota Palangkaraya untuk meliput penanganan kebakaran dan kunjungan Kepala BNPB Doni Monardo segera berbalik arah menuju kantor itu.
Sampai di kantor DLH, semua orang terlihat sibuk. Jaksa belum mau memberikan komentarnya. Saya dan teman-teman wartawan menunggu lebih kurang 3 jam hingga kami akhirnya mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Palangkaraya.
Di sana, jaksa mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam proyek pembasahan gambut. Mereka menemukan berbagai bukti, tak hanya yang fiktif, tetapi juga mesin serta peralatan pembuatan sumur bor dan pembasahan lahan yang tidak digunakan sama sekali.
Saat itu, jaksa belum menetapkan tersangka. Namun, menurut mereka, dalam waktu dekat akan segera dilakukan penetapan tersangka.
Baca juga: Pengalaman Diterjang ”Badai Pasir” Sumberbrantas
Seusai berita penggeledahan itu, banyak orang mengait-ngaitkan berita saya sebelumnya dengan tindakan jaksa. Seperti biasa, saya tak banyak menanggapi, tidak juga tersenyum atau bangga, bahkan sebenarnya merasa sedih.
Sedih karena semua orang, terutama yang bosan dengan bencana asap karena terjadi setiap tahun, memiliki harapan besar akan hadirnya program yang benar-benar bisa membantu menghilangkan atau sedikitnya meminimalkan bencana.
Namun, kenyataannya, asap bertahan begitu lama di permukiman. Semua orang menjadi korban, termasuk keluarga orang-orang tamak yang mungkin saja melakukan korupsi dalam proyek tersebut.
Semua bantahan, kritikan, saran, pesan, bahkan makian dari orang-orang yang menanggapi pemberitaan itu menjadi bahan refleksi saya agar menjadi wartawan yang lebih baik dari hari ke hari. Namun, tugas saya tetap untuk memberikan informasi sebaik mungkin, sebenar mungkin.