Kisah Menumpang Beragam Helikopter dalam Operasi Militer
Buat generasi tahun 1990-an mungkin teringat film seri perang Vietnam, Tour of Duty, yang mengisahkan satu regu infanteri Amerika, ada sosok bintara senior Sersan ”Zig” Anderson bertugas di berbagai mandala pertempuran di Vietnam dengan angkutan helikopter.
Konsep mobilitas udara memang dikenalkan, terutama semasa Perang Vietnam pada tahun 1960-1975 dengan gelaran formasi helikopter US Army menjadi Kavaleri Udara dan sekaligus pengangkut pasukan infanteri dari satu lokasi ke lokasi lain dalam operasi militer perang (OMP).
Biasanya heli angkut tersebut diperlengkapi sepasang senapan mesin di sisi kanan dan kiri kabin penumpang, pintu dicopot untuk memasang senapan mesin agar leluasa dioperasikan seraya pasukan menumpang di dalam kabin.
Tak ketinggalan di Indonesia sejak Operasi Seroja di Timor Timur, 1975-1976, keberadaan helikopter sebagai angkutan mobilitas udara menjadi penting.
Tak ketinggalan di Indonesia sejak Operasi Seroja di Timor Timur, 1975-1976, keberadaan helikopter sebagai angkutan mobilitas udara menjadi penting. Kompas beberapa kali mengikuti operasi dan latihan militer dengan menggunakan helikopter militer yang dioperasikan TNI Angkatan Darat oleh Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad) hingga helikopter angkut TNI Angkatan Udara, serta pesawat baling-baling variabel (tilt rotor) V 22 Osprey US Marines di berbagai mandala, seperti Aceh, Sulawesi Tengah, dan Jawa, tempat di dalam dan luar negeri.
Operasi mobilitas udara terakhir yang diikuti Kompas dengan helikopter angkut berat Mi-17 yang dioperasikan Puspenerbad. Sekadar catatan, helikopter buatan Rusia tersebut menjadi andalan militer berbagai negara di dunia, bahkan termasuk untuk dukungan operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan.
”Helikopter ini bisa mengangkut 30 prajurit dengan perlengkapan. Kemampuan jelajah terbang selama 2 jam dengan kecepatan sekitar 250 kilometer per jam,” kata Letnan Satu (Cpn) Wahyu yang menjadi Teknisi Kepala Helikopter Mi-17 yang dioperasikan Skuadron Udara 31 yang berpangkalan di Lanud Ahmad Yani, Semarang, saat ditemui di tarmac Bandara Blimbing Sari, Banyuwangi, Jawa Timur, 28 November 2018.
Pagi itu menjelang latihan bantuan tembakan dari laut, darat, dan udara di Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur, sudah dipersiapkan heli Mi-17 untuk mengangkut 21 wartawan dan beberapa perwira TNI, diawaki 8 personel Penerbad yang dipimpin Mayor (Cpn) Nyoman Astika asal Amlapura, Karangasem, Bali. Astika memiliki rating Bell 412 dan Mi-17 dengan keseluruhan jam terbang mencapai 2.500 jam terbang.
Ramp belakang (pintu belakang) heli dibuka dan segera setengah lusin wartawan duduk dan sebagian berbaring di sana. Para awak heli dengan sopan memberi tahu, maksimal 5 orang yang boleh duduk di ramp yang terbuka. Lebih dari itu, dikhawatirkan engsel akan rusak dan pintu jebol alias tidak bisa ditutup. Para wartawan yang sebagian wartawan muda pun tersipu-sipu menyingkir.
Pagi itu, beberapa heli Mi-17, helikopter Bell 412-EP dari Penerbad, dan heli angkut EC-725 Caracal dari Skuadron 7 TNI AU Lanud Atang Senjaya, Bogor, akan mengangkut para peninjau latihan.
Adapun helikopter serbu Mi-35 milik Penerbad terlibat dalam serbuan udara-darat dalam simulasi serangan yang dimulai sejak pukul 07.30 WIB hingga pukul 12.00 melibatkan gempuran senjata permukaan oleh kapal perang KRI Sultan Iskandar Muda, serbuan barase artileri howitzer 105 milimeter milik Korps Marinir TNI AL, Batalyon Armed Kodam V Brawijaya, roket Astros milik Yon Armed Divisi 2 Kostrad, dan tembakan mortir berat 81 milimeter dari Korps Marinir dan TNI AD.
Serbuan pembuka dari udara dilakukan dengan bom dan tembakan roket dilancarkan jet tempur F-16 dan Super Tucano milik TNI AU dalam beberapa gelombang.
Adapun helikopter Mi-17 pengangkut rombongan wartawan bertolak pukul 07.20 WIB menuju lokasi sasaran di Asem Bagus. Penerbangan dilakukan di ketinggian sekitar 600 kaki dari permukaan tanah (sekitar 200 meter) menyusur pesisir Banyuwangi dan Taman Nasional Baluran di ujung timur laut Pulau Jawa.
Penyeberangan feri Ketapang-Gilimanuk, hutan savana, kerumunan burung kuntul terbang di pesisir dan tibalah helikopter Mi-17 yang penuh sesak ditumpangi wartawan di pesisir Lewung, terlihat KRI Sultan Iskandar Muda tersamar di laut sekitar 2 mil dari daratan.
Helikopter terbang mendekati sebuah dermaga hingga tiga kali. Pendaratan di sana dibatalkan karena penembakan artileri sedang berlangsung. Pilot memutuskan mencari titik pendaratan di pantai. ”Kita tidak cut engine, begitu roda menyentuh, pintu dibuka, wartawan turun dan menjauh,” perintah load master (juru muatan) heli di tengah bisingnya suara rotor Mi-17 di dalam kabin.
Tidak lama kemudian, heli mendekati sebuah menara tinjau milik Korps Marinir dan terlihat truk amunisi dan truk pengangkut roket multilaras tersembunyi di antara pepohonan kelapa. Heli pun menyentuh daratan di tepi pantai, suara bising, pasir berhamburan tersibak ke kanan kiri helikopter, dedaunan di pohon dan semak-semak terdorong.
”Turun, turun terus ke sana,” kata load master membuka pintu samping Mi-17 sambil menunjukkan arah semak belukar sekitar 50 meter dari helikopter yang baling-balingnya masih berputar deras dan suara bising mesin membuat telinga pekak.
Seperti di film-film perang Vietnam, adegan menyusul ketika para wartawan membawa kamera, tripod, dan ransel berlompatan serta segera lari menjauhi helikopter. Bukan sekadar bahaya tebasan baling-baling helikopter yang mengintai, melainkan wash (siraman) pasir yang disemburkan akibat putaran baling membuat terasa seperti potongan kaca disiramkan ke leher, muka, tangan, dan bagian-bagian tubuh yang terbuka.
”Nah operasi militer betulan ya seperti itu,” komentar para perwira pendamping rombongan Panglima TNI Marsekal (TNI) Hadi Tjahjanto menanggapi puluhan wartawan yang berlompatan turun dari helikopter Mi-17.
Mencicipi Osprey
Pengalaman itu berbeda dengan operasi penerbangan dengan V 22 Osprey bersama Korps Marinir Amerika Serikat yang melakukan manuver pendaratan di atas kapal perang US Navy dengan ramp belakang terbuka. Osprey bermanuver di angkasa di Laut Jawa dengan lincah dan mendarat di kapal perang US Navy setelah terbang dari Lanud Halim Perdana Kusuma dengan posisi rotor horizontal seperti helikopter saat lepas landas dan mendarat lalu mengambil posisi rotor vertikal saat dipacu dalam kecepatan jelajah.
Beda lagi pengalaman menumpang berbagai helikopter TNI di dalam operasi Darurat Militer Aceh tahun 2003 melintasi wilayah Banda Aceh hingga daerah pesisir pantai barat Aceh termasuk lokasi yang kerap terjadi penghadangan di Gruntee bersama Komandan Korem Teuku Umar yang ketika itu dijabat Kolonel (Inf) Geerhan Lantara (kini purnawirawan letnan jenderal TNI) dengan menumpang helikopter Bell 212 dan BO-105. Salah satu helikopter yang biasa ditumpangi penulis kemudian jatuh saat terbang dari Takengon ke Lhokseumawe di Aceh pada tahun 2004.
Pengalaman lain lagi ketika menumpang helikopter serbu Bell 412-EP milik Penerbad yang digunakan memburu kelompok teroris Poso pimpinan Santoso dan wakilnya Barok alias Rangga. Helikopter yang diterbangkan Mayor (Cpn) Athenius Murip terbang kontur mengikuti permukaan bumi ke Pegunungan Bumi yang ketinggiannya membentang 1.500 meter sampai 2.000 meter dari permukaan laut di pedalaman Kota Poso, Sulawesi Tengah.
Komandan Satgas Intel ketika itu, Kol (Inf) I Gusti Putu Dany Karya mengajak penulis menumpang heli Bell 412 yang dilengkapi senapan mesin di dua sisi kabin penumpang lengkap dengan pengawak senjata (gunner). ”Tolong rompi antipeluru dipakai. Ini SOP untuk keamanan,” kata Putu Dany.
Memang tidak mengada-ada karena heli Penerbad di Poso harus terbang di ketinggian nyaris maksimal di kondisi alam ekstrem dengan hutan lebat dan tebing batu membentang di area operasi di Pegunungan Biru. Jangkauan tembakan kelompok teroris selalu mengancam operasional penerbangan untuk mendukung pasukan yang bertugas di pegunungan.
Sekitar 10 hari penulis pulang dari Poso terjadi penembakan oleh sisa kelompok teroris yang menewaskan seorang petani di arah Parigi Moutong di sebelah utara lokasi yang diterbangi tim satgas intel bersama penulis. Bahaya terbang dengan helikopter militer di daerah operasi itu memang nyata….