Ketika Bus Kami Mogok di Dekat Makam Paman Pangeran Diponegoro
Selama mengikuti Tapak Tilas Pangeran Diponegoro, Sabtu-Minggu (9-10/11/2018) di pinggiran Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah, didapat berbagai kesan. Mulai dari mengunjungi lokasi petilasan masjid peninggalan Pangeran Diponegoro yang justru diplester semen dan tidak dilestarikan, hingga pengalaman bus rombongan mogok di dekat rumah kuncen makam Paman Pangeran Diponegoro. Lokasi bus kami mogok di pelosok Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, di antara perbukitan dan hutan yang sepi.
Perjalanan rombongan kami, sebanyak 30 orang yang sebagian besar dari Jakarta, ditambah satu peserta dari Yogyakarta dan satu peserta dari Semarang, diawali kedatangan sejarawan Peter Ramsey Carey tahun 1970 silam di Yogyakarta.
Carey yang mulai meneliti sejarah era Napoleon di Jawa (1808-1811) kemudian mendalami kajian tentang Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830).
Kedatangan Peter Carey, yang lahir di Rangoon (sekarang Yangon), Burma, tahun 1948, itu, seperti ditakdirkan bertemu dengan jejak-jejak Diponegoro. Pada malam pertama kedatangannya di Yogyakarta, 7 Desember 1971, Carey bersama seorang warga Inggris yang bekerja untuk Unicef, menonton pertunjukan wayang orang di Tegalrejo. Sebuah lokasi yang ternyata tepat di bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Malam itu, Peter Carey langsung merasa disambut Pangeran Diponegoro di bekas kediamannya yang dibakar Belanda. Pertanda baik bagi awal risetnya yang berlangsung hingga tahun 1973 di Yogyakarta dan Surakarta.
Kemudian, dia pun tinggal di sebuah paviliun milik keluarga Pangeran Tejokusumo di dekat Pasar Ngasem di seberang rel kereta api yang mengarah ke Yogyakarta dari arah Pabrik Gula Madukismo milik Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Di paviliun rumah itu, tergantung lukisan cat minyak Pangeran Diponegoro buatan tahun 1950-an dan ukiran kayu Jepara yang menggambarkan sang pangeran sedang menunggang kuda Sumba menyongsong gelanggang pertempuran.
Tidak lama tinggal di paviliun tersebut, Carey mengalami rangkaian peristiwa tidak lazim, yakni sakit perut tanpa penyebab pasti dan berbagai gangguan, seperti kamera yang hilang. Padahal, kamera tersebut sangat penting digunakan untuk memotret naskah kuno berbahasa Jawa dan Pegon yang menjadi bahan risetnya.
Daripada melapor ke polisi, Carey memilih jalan ”kearifan lokal” dengan bertanya kepada ”orang pintar” tentang pengalaman anehnya itu.
Tak dinyana, tempatnya tinggal di Tejokusuman itu adalah bekas kediaman Raden Tumenggung Reksoprodjo, juru tulis Pangeran Diponegoro. Menurut ”orang pintar” tersebut, Tumenggung Reksoprodjo tidak suka ada ”londo” atau orang kulit putih tinggal di rumahnya.
Carey pun diminta mengadakan selamatan di Tejokusuman bagi warga. Sang ”orang pintar” juga menjelaskan soal maksud baik Carey untuk menuliskan riwayat Pangeran Diponegoro. Carey juga diminta meminum rebusan daun delima dan air mendidih. Dia pun mengikuti permintaan itu.
Ternyata, cara tersebut manjur, kamera yang hilang pun ditemukan, dan situasi membaik sehingga riset bisa dituntaskan. Pada 1973, Carey kembali ke Eropa menuntaskan pendidikannya. Puluhan tahun kemudian, kita mengetahui betapa hidup Carey seolah diabadikan demi kisah dan di balik kisah dari Pangeran Diponegoro.
baca: Reportase Kompas mengikuti jejak-jejak sejarah Pangeran Diponegoro
Dirombak total
Saat rombongan napak tilas yang diorganisasikan oleh Penerbit Buku Kompas ini datang ke Tegalrejo, Sabtu (10/11/2018), ternyata bekas sisa pelataran masjid dan puing-puingnya sudah diplester habis oleh pengelola baru yang mendapatkan hak mengurus kompleks Tegalrejo dari aparat setempat.
Keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro, Ki Roni Sudewo, menjelaskan, tidak ada lagi yang tersisa dari pelataran dan lantai masjid yang dulu menjadi tempat Diponegoro menghabiskan hari dengan belajar agama.
Situs peninggalan Pangeran Diponegoro sekarang diberdayakan sebagai tempat resepsi.
”Tempat padasan—tempat wudu—juga tidak sesuai lokasi aslinya. Situs-situs peninggalan Pangeran Diponegoro sekarang diberdayakan sebagai tempat resepsi untuk pemeliharaan lokasi,” kata Ki Roni Sudewo.
Sekeliling Situs Tegalrejo pun sudah dipenuhi perkampungan warga. Di bagian depan terdapat patung dada Jenderal Soedirman dan Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo. Lambang Kodam IV Diponegoro menghiasi ambang masuk kompleks Tegalrejo.
Perjalanan diteruskan ke Goa Selarong. Perjalanan berjalan lancar dan lagi-lagi di pelataran Selarong dipersiapkan panggung karena ada hajatan warga kampung. Kami kemudian melihat salah satu ceruk di bukit Selarong yang diyakini sebagai tempat Pangeran Diponegoro biasa bertirakat.
Selepas hujan deras ketika meninggalkan Selarong, rombongan bergerak ke arah Sengir di Kulon Progo sekitar 30 kilometer di sebelah barat Yogyakarta.
Perjalanan menempuh jalan sempit, berbukit dengan jurang dan hutan selama 2,5 jam. Menjelang maghrib, rombongan tiba di makam Pangeran Joyokusumo I, paman dan pengasuh Pangeran Diponegoro kala kanak-kanak.
Pangeran Joyokusumo adalah putra Sultan Hamengku Buwono II dan beristrikan perempuan Tionghoa yang diberi nama Mas Ayu Sumarsonowati. Ia gugur setelah disergap Hulp Troepen, pasukan bantuan Belanda asal Minahasa, Ternate, dan Madura, di Sengir.
Paman kesayangan Diponegoro tersebut dipenggal. Tubuhnya dibuang ke jurang meski kemudian oleh masyarakat setempat dievakuasi, lalu dimakamkan di puncak bukit. Adapun kepalanya yang dipenggal, menurut Ki Roni Sudewo, dimakamkan di Banyusumurup.
Banyusumurup adalah lokasi pemakaman kerabat Keraton Yogyakarta yang dianggap berseberangan dengan pihak penguasa pada zamannya.
Carey dan Ki Roni Sudewo pun memimpin ziarah dengan khidmat. Menjelang maghrib, rombongan beristirahat dan menunaikan shalat Maghrib di rumah warga sekitar 100 meter dari pemakaman Joyokusumo dan putra-putranya.
Menjelang malam, rombongan bermaksud ke Goa Sriti, lokasi gerilya Diponegoro di dekat perbatasan Yogjakarta-Magelang. Tiba-tiba, ketika bus baru bergerak sekitar 100 meter, mesin bus mati.
Segala upaya dicoba, tetapi mesin tidak kunjung hidup. Mesin berkali-kali dihidupkan tetapi tidak juga hidup. Bahkan, mesin sempat diotak-atik meski tidak juga dapat hidup kembali.
Rombongan pun turun. Kami singgah di rumah tepat di sisi bus kami mogok. Ternyata, rumah tersebut adalah rumah kuncen makam Pangeran Joyokusumo. Rombongan pun berkenalan. Kami kemudian menyampaikan maksud tujuan berziarah.
Akhirnya, didatangkan alat berat jenis ekskavator yang digunakan di penggalian batu dekat lokasi makam Pangeran Joyokusumo itu. Dibantu sebuah truk, alat berat itu mendorong dan menarik bus yang mogok dari dua sisi depan dan belakang. Itu setelah tidak ditemukan kelainan apa pun di mesin bus.
Menjelang pukul 22.00, upaya itu baru membuahkan hasil. Bus itu bisa digeser lokasinya. Dan, setelah kami usai berbincang dengan kuncen makam Pangeran Joyokusumo, barulah mesin bus itu seolah dapat dihidupkan tanpa terlalu banyak upaya berarti.
Karena sudah larut malam, acara ke Goa Sriti dibatalkan. Rombongan langsung menuju Hotel Sriti di Kota Magelang. Namun, di perjalanan kami tidak habis pikir mengapa mesin bus kami tidak dapat dihidupkan. Apalagi, kami tiba di Magelang tanpa suatu kendala apa pun.