Mencari Kisah Petani ke Pelosok Negeri
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2F68026723.jpg)
Menyortir ceri merah.
Secara teori mudah bertemu dengan petani, tetapi kenyataannya tim Jelajah Kopi Nusantara harus berjibaku untuk bisa bertemu dengan petani yang punya banyak kisah menarik tentang kopi. Petani kopi, terutama di luar Jawa, banyak berada di pelosok dan sebagian dari mereka dipagari oleh para tengkulak.
Petani menjadi lakon utama karena dari mereka 80 persen rasa kopi dibentuk. Mereka pulalah tulang punggung industri kopi Nusantara, tetapi kadang mereka disisihkan.
Dari Toraja, Sulawesi Selatan, kisah tentang tengkulak diangkat. Tim yang saat itu dikoordinatori oleh Gregorius M Finneso beruntung bertemu dengan Sulaiman Miting, petani yang berani bersuara lantang tentang dominasi tengkulak yang menguasai perdagangan kopi di kawasannya. Wartawan Kompas Makassar, Renny Sri Ayu Taslim, yang menemukan Sulaiman setelah sekian lama mencari informasi tentang petani di pelosok.
Bertemu dengan Sulaiman tak mudah, tim harus menggali banyak informasi dari sumber sekitar hingga masuk ke pelosok. ”Kami masuk ke pelosok. Kadang bertemu dengan orang kadang tidak. Ketika bertemu pun kadang kami harus menerima info zonk alias tak ada isinya,” cerita Gre, koordinator tim Toraja. Gre baru menemukan kisah Sulaiman setelah hampir sepekan dia berkeliling Sulawesi Selatan.
Di Malang, Jawa Timur, pun tak mudah. Kami menemukan nama-nama petani pemilik kebun di lereng gunung yang punya cerita unik. Namun, beberapa tengkulak mencegah kami untuk bertemu mereka. Mereka tak ingin nama petani itu diangkat media karena biasanya setelah diangkat banyak yang mencari kopi petani itu. ”Mencari kopi itu susah Mbak. Kalau pedagang lain nemu dan menawarkan harga tinggi, habislah kami,” katanya kepada tim Kopi.

Petani melakukan arisan tenaga di perkebunan kopi rakyat di Desa Srimulyo, Dampit, Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1/2018). Arisan tenaga adalah bentuk gotong royong petani untuk mengolah kebun kopi. Kawasan ini merupakan penghasil utama kopi robusta di Malang.
Diskusi panjang kami lakukan dengan tujuan untuk mengangkat petani. Toh, kami bukan pedagang yang akan menjadi pesaing. Karena alot, kami pun cari jalan lain. Beruntung masih banyak petani di Malang yang punya kopi unik. Jadilah kami bertemu dengan petani-petani berdedikasi seperti Bu Katrin yang mendobrak dominasi tengkulak.
Bu Katrin dan koperasi desanya mampu menjual langsung kopi ke pasar hilir. Mereka tak lagi menjual lewat tengkulak. Bagi kami, kelompok tani ini keren karena memberi peluang kepada petani untuk memperbaiki nasib tanpa menggantungkan diri pada bantuan pemerintah.
Nama Bu Katrin kami dapatkan setelah kami mendapatkan cerita dari pemilik kedai Rembug Pawon di Malang yang menampung kopi mereka. Mereka tak masalah jika nama Dampit diangkat karena visi mereka memang mengangkat petani, sama dengan tujuan kami. Kami malah mendapatkan tumpangan tidur di rumah mereka dan mendapatkan cerita tentang jejak kopi kuno yang memang dimulai dari Malang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F04%2FChatarina2-1.jpg)
Katrin, petani kopi, mengecek kopi Dampit yang masih hijau. Petani di Baturetno hanya memetik buah kopi yang sudah berwarna merah.
Papua menjadi medan yang paling menantang. Di Papua, kami sengaja memilih petani yang belum banyak diekspos. Kawasan terpencil, seperti Dogiai, Deiai, dan Paniai, salah satunya. Selain pelosok, kawasan ini juga menyimpan sejarah perjalanan kopi Papua. Kami pun menandainya sebagai daerah yang wajib dikunjungi.
Pedalaman Papua yang kami kunjungi tergolong daerah rawan konflik. Kami diharuskan ditemani oleh warga lokal. Kami beruntung karena banyak kawan yang memberikan kami saran dan masukan.

Tim Jelajah Kopi Nusantara mewawancarai Glory, salah satu pemilik kafe yang membina petani di Papua.
Deg-degan sepanjang jalan
Frans Pigai adalah pendamping kami untuk masuk kawasan pelosok di Dogiai, Paniai, dan Deiai. Dia adalah anak muda setempat yang aktif membina petani kopi. Dari Frans, kami banyak punya nama petani kopi.
Meski ditemani Frans, kami masih dag-dig-dug sepanjang jalan. Frans menuturkan kebiasaan sekelompok warga yang menutup jalan jika ada kecelakaan. Mereka bisa meminta pertanggungjawaban pengemudi jika ada kecelakaan yang menimpa warga mereka. Kadang mereka bertindak sendiri dan tak jarang dengan cara yang keras. Cerita tentang berbagai macam konflik yang terjadi di pedalaman membuat kami berjalan hati-hati.

Fotografer Kompas, Danu Kusworo, memotret biji kopi di rumah pengeringan kopi di Dogiai, Papua.
Kami beruntung karena perjalanan kami berjalan lancar. Memang ada penutupan jalan, tetapi warga hanya meminta sumbangan karena telah menyingkirkan longsoran. Perjalanan mencari petani tak berlangsung baik.
Dari angka yang dimiliki pemerintah daerah setempat, seharusnya bertemu dengan petani dan menemukan kebun kopi adalah perkara mudah. Setidaknya ada belasan ribu hektar kebun kopi dan ribuan petani di Dogiai, Paniai, dan Deiai. Namun, ternyata data berbeda dengan di kenyataan di lapangan. Kebun kopi yang kami temukan lebih mirip hutan, penuh semak, dan tak terawat. Kebun kopi itu sudah ditinggalkan petani dua dekade.
Dalam tiga hari, Frans dan kami hanya menemukan kebun dan rumah kosong tanpa petani. Kami memang datang pada saat yang tak tepat, saat bukan panen kopi. Petani biasanya masuk hutan untuk mencari hasil hutan. Mengontak mereka pun tak memungkinkan karena sinyal jadi barang langka dan tak semua petani punya telepon genggam. Sebagian petani sudah pindah mencari pekerjaan lain. Sumber-sumber yang kami hubungi hanyalah lapis kedua dari lingkaran petani.
Jalan satu-satunya agar bisa bertemu dengan petani adalah masuk ke pedalaman. Berisiko, karena kami bisa saja meleset dan pulang tanpa hasil. Namun, kami tetap mencoba. Di Paniai lebih sulit lagi. Warga sama sekali menutup akses bagi pendatang seperti kami. Saat itu suasana panas menjelang pilkada. Kami tak dianjurkan mengobrol dengan warga ataupun memotret kegiatan mereka. Dua hari memutari Dogiai, Paniai, dan Deiai tanpa bertemu petani membuat kami lemas. Putar otak, kami pun kembali ke Dogiai melacak jejak petani yang mungkin masih ditemui di pelosok lain.

Beruntung setelah sekian banyak kebun kopi yang dikunjungi, kami berhasil bertemu dengan petani di Dogiai. Kami melonjak kegirangan saking senangnya. Apalagi petani tersebut bisa bercerita banyak tentang kisah unik di Papua dan kehidupan mereka. ”Sa sudah jarang ke kebun. Ibu beruntung sa ada kerja di kebun ini,” kata pak petani menyambut kami. Kami pun merayakannya dengan mencecap terung belanda di kebun bersama-sama.
Kami lebih beruntung lagi karena kami dipandu Romo Kira Biru untuk bertemu dengan petani lainnya di Modio, daerah yang menjadi jantung kopi di Dogiai. Walau harus berjalan kaki naik dan turun bukit, kami tetap senang karena kami pulang membawa cerita banyak tentang petani di pelosok Papua.
Harta karun keberagaman
Tak semua kisah petani kami dapatkan dengan susah payah. Beberapa petani sangat mudah dijangkau dan membuka diri. Mereka bahkan membagi kami cerita dan pegalaman menarik sepanjang perjalanan jelajah kopi. Di Jawa Barat, tim jelajah kopi yang diketuai Cornelius Helmy mendapatkan kisah menarik tentang kebangkitan kopi Preanger dari petani setempat. Mereka dengan sukacita bercerita tentang perjalanannya.

Tim jelajah kopi di Pangalengan bertemu dengan petani kopi, Prayoga.
Satu hal yang kami dapatkan dalam perjalanan berkeliling Nusantara mencari petani adalah kisah tentang kekayaan dan keberagaman. Di mana pun kami mendapati petani, mereka dengan tangan terbuka menerima kami, apa pun keadaannya.
Di Bali, misalnya, tim yang dikoodinasi Dahlia Irawati tetap disambut hangat oleh petani yang kala itu sibuk mempersiapkan upacara piodalan. Tim bahkan diperbolehkan meliput dan turut serta melihat kekayaan kultur kopi Bali dalam pura. Sebagian tim yang memeluk agama Hindu pun tetap bisa menjalankan ibadah mereka di sela-sela liputan.
Saat di Aceh, tim juga disambut oleh petani dengan keramahannya. Mereka tak melihat latar belakang agama atau suku di tim kami. Suguhan kopi manis dan sambutan hangat tetap diterima tim Kopi.
Di Papua, kami terbantu oleh para rohaniwan di Pastoran. Di daerah pelosok itu mereka meluangkan waktu membantu kami bertemu dengan petani. Mereka bahkan memberi tempat kami untuk berlindung dan beristirahat di sela-sela kesibukan mereka mempersiapkan misa Paskah.
Setelah menempuh perjalanan panjang, ekspedisi kopi untuk mengangkat petani dari Aceh hingga Papua akhirnya bisa direalisasikan. Sebagian petani yang kami temui di sepanjang perjalanan jelajah kopi akan hadir di Festival Kopi Nusantara mulai 19-22 Juli 2018. Mereka akan memperkenalkan kopi dari kebunnya dan membuka peluang pasar baru agar mendapatkan pasar dengan baik dengan harga pantas.
Mereka tak hanya menawarkan kopi, tetapi juga cerita. Sepantasnyalah kita berbangga karena para petani masih merawat kopi dengan setia. Merekalah lakon utama dari geliat kopi Nusantara.
Kini, mari merayakan kebergaman lewat secangkir kopi.
