Bertaruh Nasib di Jalur ”Merah” Pedalaman Papua
Perjalanan menuju pedalaman Papua ternyata penuh kejutan. Demi meliput kopi, kami harus menjelajah ratusan kilometer jalan tanpa sinyal telepon seluler. Meski kami juga bertaruh nasib di kawasan konflik, hasilnya pun sepadan. Kami menemukan kekayaan Papua di pedalaman.
Dogiyai adalah kota utama yang harus Tim Jelajah Kopi datangi di Lembah Kamuu. Kota ini pernah ternama sebagai kota kopi pada masa penjajahan Belanda.
Namun, kini, Dogiyai jarang disinggahi pemburu kopi walau dikenal sebagai produsen utama kopi Papua. Salah satu penyebabnya adalah kawasan ini masuk dalam zona merah keamanan. Namun, sejarah dan keunikannya membuat kami nekat datang ke daerah ini.
Kawasan ini masuk dalam zona merah keamanan. Namun, sejarah dan keunikannya membuat kami nekat datang.
Nekat? Boleh dikata demikian karena kami mendengar banyak isu separatisme saat menuju ke sana. Kondisi keamanan kabarnya sulit ditebak. Saat mengontak beberapa teman dan narasumber, kami diminta mengontak warga setempat sebelum dapat menjelajah masuk ke perkampungan warga.
Biasanya, dalam liputan di wilayah lain, kami berkelana sendirian. Kami juga bebas sesuka hati untuk berhenti di titik-titik yang dianggap menarik untuk diliput.
Beberapa rekan kemudian mempertemukan kami dengan Frans Pigai, anak muda dari Dogiyai. Dia memenuhi kriteria untuk menemani kami karena dia juga mengurusi kopi.
Kedatangan kami ternyata tidak dalam waktu yang tepat. Ketika kami tiba di Dogiyai sedang tidak ada panen sehingga juga tidak ada kegiatan pengolahan. Petani juga sulit ditemui. Namun, karena sudah ada jadwal pemuatan tulisan, maka kami tetap harus jalan.
Baca: tulisan lengkap terkait kopi di Papua
https://jelajah.kompas.id/kopi-nusantara/baca/kisah-bulir-kopi-dari-pedalaman-papua/
Tanpa sinyal
Sebelum sampai Dogiyai, kami harus melintasi jalan darat sejauh 200 kilometer dari Nabire. Karena kondisi jalan tidak prima, biasanya perjalanan ditempuh dalam waktu lebih dari empat jam. Namun, Alwi, pengemudi kami, melintasinya hanya dalam waktu empat jam.
Rem dan gas sering diinjak secara maksimal secara bergantian. Kami layaknya dadu yang dikocok dalam kaleng. Pusing sudah….
Kami layaknya dadu yang dikocok dalam kaleng.
Setibanya di Dogiyai, kami sempat bingung karena tak bisa mengontak siapa pun. Tidak ada sinyal telepon seluler apalagi data di kota itu. Padahal, kami harus memastikan janji dengan beberapa narasumber. Bagaimana harus menghubungi narasumber?
Beruntung, kami menemukan warung dengan fasilitas Wi-Fi berbayar. Meski Wi-Fi hanya bisa dipakai untuk Whatsapp, kami lega karena dapat mengontak beberapa narasumber untuk ditemui esok paginya.
Seperti dugaan kami, di Dogiyai, Deiyai, tak ada panen kopi. Unit pengelolaan kopi pun tak berkegiatan. Hanya ada stok karung-karung kopi yang disimpan di gudang.
Frans memang bercerita banyak, tetapi kami belum mendapatkan gambaran riil tentang cerita kopi.
Mengingat kisah Dogiyai sebagai pusatnya kopi, saat berangkat dari Jakarta, kami membayangkan jajaran pohon kopi berderet di Lembah Kamuu. Ternyata, kondisi di lapangan jauh beda. Lembah itu sungguh luar biasa indahnya tetapi kami tak menemukan perkebunan kopi yang luas.
Kebun kopi hanya ada di dekat rumah warga. Itu pun tak semua kebun kondisinya bagus. Sebagian kebun terbengkalai, dan ditumbuhi rumput ilalang. Apabila kondisinya seperti itu, maka tidak masalah. Itulah temuan kami di lapangan. Namun, yang membuat kami khawatir adalah kami tak bertemu satu pun petani kopi. Padahal, kami sudah berkeliling. Lantas dari siapa kami akan menggali cerita?
Di Paniai, kondisinya lebih parah lagi. Paniai digolongkan sebagai daerah ”merah”. Banyak konflik yang terjadi dan kondisi keamanannya tak bisa ditebak. Warga tak mau berbicara banyak karena tidak mengenal kami. Frans Pigai, pemandu kami, juga bukan asli penduduk setempat.
Hari kedua, kami hanya dapat memandangi Danau Paniai dari kejauhan sambil berpikir cerita apa yang bisa kami bawa pulang. Fotografer Kompas, Danu Kusworo, pun tak dapat memotret banyak. Dari awal, Frans minta kami tak mengeluarkan kamera karena warga dapat menjadi tak nyaman.
Epouto dan Obano, dua daerah yang masuk dalam daftar daerah kunjungan kami, juga tidak jadi kami sambangi. ”Basis separatis,” kata Frans. Pusing kami dibuatnya. Kali ini pusing karena sulit untuk bergerak meliput.
Persoalan di pedalaman
Tentu, kami pantang pulang tanpa cerita. Kami akhirnya menyasar soal persoalan di pedalaman di antaranya soal transportasi dan infrastruktur. Beberapa warga akhirnya mau berbicara banyak tentang infastruktur, termasuk harga barang yang tinggi. Ternyata, ada banyak persoalan di pedalaman.
Persoalan itu juga telah terlihat di sepanjang jalan yang kami lewati. Dari Nabire menuju Paniai, dan sebaliknya, kami melihat ada aksi palang warga di jalan yang kami lalui.
Saat menuju Bomomani, di sebuah kampung di bawah Dogiyai, mobil kami diberhentikan. Seorang anak muda mengajak bicara kami dengan bahasa lokal. Beruntung, kami ditemani oleh Frans. Frans yang turun dari mobil dan berbicara dengan mereka. Sekitar 10 menit tak ada perubahan, beberapa pemuda tetap tak memberi kami jalan.
Akhirnya, Frans berbicara dengan kami. Para pemuda itu ternyata butuh uang untuk membantu menutup saluran air yang longsor. Mereka meminta imbalan Rp 100.000.
Saat pulang dari Deiyai dan Paniai, seorang pengendara mobil Toyota Avanza memberi kode sopir kami untuk berhati-hati. ”Warga memalang jalan. Ada yang menabrak babi tetapi tak ketahuan siapa,” katanya. Kami sempat khawatir, tetapi tetap memutuskan melaju. Beruntung, kami tidak dicegat.
Namun, saat kami mendekati Kota Nabire, kami kembali dicegat. Kali ini, pelakunya adalah anak-anak mabuk. Mereka berdiri di tengah jalan sambil membawa parang. Saat mobil kami mendekat, mereka tak menyingkir malah mengacungkan parangnya.
Saat mobil kami mendekat, mereka tak menyingkir malah mengacungkan parangnya.
Alwi, sopir kami, tidak gentar. Dia tak takut digertak. Kami yang justru jantungan. Mobil kami berjalan dengan kecepatan tinggi menuju mereka. Anak-anak itu akhirnya kocar-kacir menghindar.
Cerita lebih seram kami dapatkan dari Frans. Menurut dia, ada tatanan sosial yang kuat dalam hal pertanggungjawaban. ”Di sini warga harus bertanggung jawab dengan apa yang diperbuat. Pernah ada tukang ojek yang membawa serta ibu dan anak sebagai penumpang. Mereka kecelakaan. Si ibu dan anak meninggal. Tukang ojeknya luka parah. Keluarga korban tak terima, maka si pengojek dihabisi seketika di rumah sakit,” ujar Frans.
Karena Frans bercerita di dalam mobil, seketika Alwi mengemudi dengan lebih kalem.
Bertemu dengan para pastor
Di Bomomani, kami beruntung dapat bertemu Frater Salto dan Pastor Reynaldo Antony Pr. Mereka ternyata salah satu pelaku kunci kopi di Pegunungan Papua Tengah. Dari mereka, kami belajar banyak tentang kopi hingga kondisi sosial masyarakat pedalaman.
Pastor Aldo kemudian mengenalkan kami dengan biji tipika papua sebuah varietas arabika yang tua dan kini langka sekali. Mereka bahkan menjamu kami dengan secangkir tipika v60, sesuatu kopi yang sangat ”mewah” di pedalaman.
Saat kami datang, mereka juga sedang memproses kopi. Danu Kusworo akhirnya dapat memotret setelah berkali-kali menyarungkan kameranya karena dilarang memotret.
Kami akhirnya mendapatkan gambaran betapa sulitnya perjuangan untuk menyangrai kopi di pedalaman. Sangrai kopi hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu karena tak semua warga bisa melakukannya.
Para pastor dapat menyangrai karena ada mesin diesel meski suara mesin itu mengalahkan bunyi pecah kopi.
Kami juga beruntung karena tidak sengaja bertemu Pastor Biru Kira Pr di Bandara Enarotali. Pastor Kira adalah pemuka agama di Kampung Modio yang aktif memberdayakan kopi untuk kesejahteraan warga.
Jauh sebelum berangkat, kami sudah mengontak beliau tetapi komunikasi terputus sejak kami tiba di Nabire akibat tak ada sinyal. Kami sudah pasrah tak bisa mengontaknya. Tiba-tiba, Pastor Kira muncul di hadapan kami saat kami sedang mencari cerita tentang infrastruktur di Papua.
Walau liputan di Papua tidaklah mudah, tetapi adakalanya semesta mendukung kami. Gagal menyeberang ke Obano, kami malah berkunjung ke Modio bersama Pastor Kira. Modio adalah kawasan pedalaman di Dogiyai yang masih terisolasi dan tertinggal.
Hanya di Modio kami mendapatkan cerita tentang sulitnya infrastruktur. Warga harus berjalan kaki menyeberangi sungai dan naik turun bukit untuk menjual kopi. Di sinilah jantung cerita tentang ekspedisi kopi di Papua.
Di dekat kediaman Pastor Kira, kami juga menemukan perkebunan tipika yang masih luas. Sesuatu hal yang amat langka kami temukan di sepanjang perjalanan ekspedisi dari Aceh hingga Papua.
Berjalan bersama Pastor Kira akhirnya kami dapat bertemu dengan para petani di pedalaman. Mereka ternyata amat ramah.
Kami kemudian mendapatkan gambaran banyak tentang kehidupan mereka. Menurut beliau, warga pernah mendapatkan pengalaman buruk dengan para pendatang sehingga kerap bersikap keras pada orang asing. Walau mungkin, kondisi sosial dan politik saja yang akhirnya membuat kesalahpahaman antara warga asli dan pendatang.
Betapa pun sulitnya kehidupan di pedalaman, kami juga melihat selalu ada individu tangguh seperti Pastor Kira yang tetap menghadirkan harapan bagi para warga.