Meliput Bencana di Bumi Laskar Pelangi
MASIH ingat dengan novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata? Novel itu mengisahkan kehidupan 10 pelajar dengan latar belakang Pulau Belitung. Sebuah pulau yang indah meski di pertengahan bulan Juli 2017 lalu “pelangi” tak lagi terlihat di pulau itu.
Hari Senin (17/7/2017) lalu, saat Kompas menginjakkan kaki di pulau itu, kondisi Belitung cukup memilukan. Ribuan rumah terendam, sejumlah akses jalan terputus, dan ratusan warga mengungsi.
Tragedi ini bermula saat hujan lebat bak air bah dicurahkan dari langit pada hari Minggu (16/7/2017). Dalam hitungan jam, ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir pun memutus sejumlah akses jalan sehingga ratusan orang warga sempat terjebak di sejumlah titik. Sejumlah warga akhirnya terisolasi.
Daerah terparah yang diterjang banjir berada di Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Kebetulan, di Kecamatan Gantung terdapat Desa Lenggang yang “mendunia” berkat novel Laskar Pelangi yang meledak pada tahun 2008.
Karena Harian Kompas tidak memiliki kantor biro di Bangka Belitung maka reportase hari pertama tidak dapat dikerjakan langsung dari lapangan. Saya menulis kondisi Belitung dan Belitung Timur dari berbagai narasumber melalui telepon genggam. Walau kami sadar bahwa kami harus secepat mungkin menjejakkan kaki di Belitung untuk melaporkan secara langsung dan akurat kondisi di lapangan.
Baca berita banjir Belitung di hari pertama di Harian Kompas
Namun, sebagai negeri kepulauan, tentu tidak mudah untuk menjangkau pulau lain dalam hitungan jam. Belum lagi, menuju sebuah pulau yang sedang tertimpa kemalangan. Infrastruktur dan angkutan berdasarkan pengalaman ikut bermasalah.
Menuju Belitung
Minggu malam itu juga, saya mencari tiket dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang menuju Bandara HAS Hananjoeddin, Tanjung Pandan, Belitung. Karena tidak ada penerbangan langsung dari Palembang menuju Tanjung Pandan, maka terlebih dahulu pesawat akan transit di Bandara Depati Amir di Pulau Bangka.
Sebelum tiket terbeli, saya mendengarkan berbagai informasi diantaranya terkait cuaca buruk di Pulau Belitung. Sejumlah penerbangan dikabarkan terlambat. Saya sempat mempertimbangkan alternatif transportasi berupa kapal cepat dari Pelabuhan Pangkalan Balam, Bangka.
Saya jelas harus berhitung. Karena bila naik kapal cepat, maka saya baru dapat berlabuh di Tanjung Pandan pada pukul 18.00 WIB. Terlalu sore. Terlalu singkat waktunya untuk mengejar deadline bagi sebuah koran yang harus terbit di keesokan harinya. Di sisi lain, bila saya tetap dapat mendarat di Tanjung Pandan maka pesawat dijadwalkan menyentuh landasan pada pukul 14.30 WIB. Ada ekstra waktu kira-kira 3,5 jam untuk meliput.
Hari Senin itu, saya terbang menuju Bangka. Dan, begitu mendarat, saya langsung mengontak Pelaksana Harian Kepala Bandara HAS Hananjoeddin, Belitung, yang menginformasikan kalau kondisi bandara sudah lebih baik dibandingkan hari sebelumnya. Atas dasar itulah, saya memutuskan tetap naik pesawat terbang menuju Belitung.
Roda pesawat kemudian menyentuh landasan Bandara HAS Hananjoeddin, Belitung tepat pukul 15.00 WIB. Begitu turun dari pesawat, saya langsung bertanya dalam hati, darimana saya harus memulai reportase? Apakah langsung menuju tempat kejadian?
Begitu saya keluar dari terminal kedatangan, ternyata rombongan pemerintah daerah Bangka Belitung sedang di bandara. Ada sejumlah pejabat seperti Wakil Gubernur Provinsi Bangka Belitung Abdul Fatah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bangka Belitung Najamuddin serta Kepala Satuan Pamong Praja Kabupaten Belitung Alkar.
Mereka menyambut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Willem Rampangilei, yang hendak memimpin rapat koordinasi penanggulangan bencana banjir di Belitung dan Belitung Timur.
Begitu Kepala BNPB mendarat, para pejabat bergegas menyambut, dan bersiap untuk menuju kantor Bupati Belitung untuk rapat koordinasi. Kesibukan pun segera meningkat di bandara. Saya mencoba mencari cara untuk dapat menuju kantor bupati. Terlebih lagi, Wagub Bangka Belitung menolak untuk diwawancarai. “Nanti saja, habis rapat,” ujarnya.
Namun tiba-tiba, Alkar melihat saya. Relasi dengan kepala satpol PP itu memang sudah saya bina sejak awal. Beliau juga kerap saja jadikan narasumber. “Ayo, ikut rapat,” ujarnya.
Tanpa pikir panjang, saya melompat masuk ke dalam mobilnya. Mobil itu pun langsung melesat menuju kantor Bupati Belitung dengan rombongan dikawal oleh voorijder alias mobil pengawalan.
Keberuntungan terkadang dibutuhkan dalam perjalanan jurnalistik. Meski, relasi baik dengan narasumber kerap juga mendatangkan kebaikan di saat-saat tidak baik.
Keberuntungan terkadang dibutuhkan dalam perjalanan jurnalistik.
Begitu rombongan tiba di kantor Bupati Belitung, rapat segera dimulai. Karena datang bersama Kepala Satpol PP Belitung, saya juga langsung masuk ruang rapat dan menyimak materinya dengan seksama.
Data pun tersaji lengkap. Terdata ada 3.773 warga Belitung Timur yang terdampak banjir sedangkan di Kabupaten Belitung terdapat 1.000 orang warga yang terdampak banjir. Di dalam rapat juga dibahas dampak terhadap infrastruktur dan solusi untuk penanggulangan banjir.
Rapat sempat memutuskan distribusi bantuan bahan pangan melalui udara karena jalur darat terputus akibat banjir. Dua helikopter akan diterbangkan dari Palembang menuju beberapa daerah yang membutuhkan bantuan. Namun, sayang sekali cuaca buruk melanda Belitung sehingga dua helikopter itu tertahan di Kabupaten Ogan Komering ilir, Sumatera Selatan. Akhirnya, bantuan didistribusikan dengan perahu karet.
Kalau hanya bicara soal data, wawancara, dan rencana tanggap darurat, dinamika dan hasil dari rapat itu sesungguhnya sudah cukup. Namun, sebagai wartawan, saya berkeinginan lebih untuk melihat kondisi di lapangan. Reportase yang baik itu ya dari pengamatan lapangan.
Jam telah menunjukkan pukul 17.30 WIB, ketika saya bertanya kepada seorang petugas Satpol PP terkait lokasi banjir. Jawabannya tidak memuaskan. “Wah, jauh Mas. Kira-kira, satu jam dari sini,” ujarnya, tanpa menyebutkan lokasinya dengan pasti.
Rapat belum usai. Namun, saya memprediksi takkan ada lagi bahasan yang penting. Saya segera beranjak keluar ruangan menuju lokasi banjir. Namun, masalah transportasi langsung menghambat.
Di Belitung, transportasi umum kurang bisa diandalkan atau bahkan nyaris tidak ada. Mayoritas warga Belitung naik kendaraan pribadi. Saya memutuskan untuk kembali ke bandara untuk mencari mobil travel yang bisa disewa.
Akan tetapi, bagaimana menjangkau bandara? Saya kemudian memutuskan untuk berjalan kaki menuju bengkel motor dimana ada anak-ana muda nongkrong. “Dik, bisa antarkan saya ke bandara?” tanya saya. Untung saja, ada seorang anak muda yang tinggal di dekat bandara.
Hanya dalam 30 menit, setelah menempuh perjalanan kira-kira 10 kilometer, saya tiba di bandara. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.10 WIB. Dan, betapa beruntungnya saya, ketika masih tersisa satu unit mobil travel!
Betapa beruntungnya saya, ketika masih tersisa satu unit mobil travel!
Dengan cepat, saya meminta Bambang, pengemudi mobil itu untuk mengantar saya ke kawasan banjir terdekat. “Oh, saya tahu itu. Lokasinya ada di Desa Buding, Kelapa Kampit,” ujarnya. Kami segera meluncur. Hari mulai gelap.
Dalam waktu satu jam, Bambang menempuh perjalanan menuju Desa Buding. Sepanjang perjalanan, saya sibuk “menyicil tulisan” agar tidak terlambat sampai ke tangan editor.
Setiba di lokasi, saya langsung memantau situasi dan mulai mewawancarai warga. Saya juga menyambangi posko pengungsian untuk memperkaya tulisan. Tepat pukul 20.00 WIB, tulisan dan foto pun terkirim.
Menginap di Posko Pengungsian
Bambang sesungguhnya hanya mengantar saya sampai ujung kawasan yang terkena banjir, tepatnya di Desa Buding, Kecamatan Kelapa Kampit, Belitung Timur. Ketika air terlihat mulai menggenangi jalan, Bambang tak berani melintas. “Air sudah tinggi, takutnya mobil saya mogok di tengah jalan,” ujar Bambang.
Saya memahami kekhawatirannya. Ketinggian banjir tidak jauh dari ujung jalan itu mencapai 50 sentimeter. Bambang juga memakai mobil avanza dengan ground clearance yang tidak terlalu tinggi. Sudah begitu, badan jalan dan kawasan sekitarnya pun nyaris tidak terlihat karena minimnya penerangan jalan.
Menurut Marwandi (52), warga setempat, sejak sehari sebelumnya setidaknya delapan mobil dan 40 motor terjebak di tengah banjir akibat luapan Sungai Buding. Mendengar itu, Bambang pun makin surut.
Demi mendapatkan foto terbaik, saya berjalan kaki menembus banjir dengan mengandalkan penerangan dari telepon genggam yang saya bawa. Saat berjalan, saya menyaksikan para warga sedang berupaya mengeluarkan barang berharganya. Saya segera mengabadikan peristiwa itu untuk kemudian dikirimkan ke Jakarta.
Malam itu, saya akhirnya memutuskan untuk menginap di posko pengungsian. Penginapan terdekat jelas tidak ada, dan yang utama adalah, tidak ada kendaraan untuk menjangkau kota terdekat.
Untung saja, petugas dan pengungsi menyambut hangat. “Silakan mas, tapi tempatnya seadanya ya,” ujar Feri Alriandi, Ketua Posko I Dusung Buding, Desa Buding, Kecamatan Kelapa Kampit.
Setidaknya, ada 16 orang di posko itu dimana delapan orang diantaranya adalah pengungsi. Tepat di samping posko ada dapur umum yang didirikan untuk mengolah makanan bagi pengungsi. Bantuan pun mulai berdatangan.
Malam itu, kira-kira pukul 00.30 WIB, saya baru dapat tidur setelah ngobrol bersama para pengungsi dan petugas posko. Sebelumnya, kami makan masakan dapur umum berupa nasi, mie goreng, dan irisan telur, yang di malam itu terasa sangat nikmat. Meski tentu saja, saya tidak mandi sebelum tidur karena terbatasnya air bersih.
Memulai Penjelajahan
Keesokan harinya, Selasa (18/7) pagi, saya bermaksud memulai penjelajahan daerah yang terendam banjir. Namun ternyata, pagi itu hujan masih mengguyur Belitung. Mendung pun terlihat di wajah warga. “Mudah-mudahan hujan tidak deras. Jangan sampai banjir lagi,” kata Kepala Dusun Buding, Syaril, dengan suara tertahan.
Syahril kemudian menceritakan kerugian warga akibat banjir. Mulai dari hilangnya dua perahu milik warga, tenggelamnya sejumlah rumah, dan terseret hilangnya sapi milik warga akibat banjir.
Sejak tahun 2012, di Desa Buding terdapat kelompok tani Jurai Sekaput yang sempat mendapatkan bantuan pemerintah. “Awalnya, hanya ada 10 sapi tapi kemudian menjadi 50 sapi. Setelah banjir, sekitar 20 sapi ditemukan mati,” ujarnya.
Setelah banjir, sekitar 20 sapi ditemukan mati.
Tidak lama setelah perbincangan itu, saya dijemput oleh Muharmando, warga Desa Buding yang memiliki mobil pick up. Saya hendak diantar menuju Kecamatan Gantung meski akhirnya juga diperlihatkan sejumlah titik yang terdampak banjir. Mulai dari banjir di Kecamatan Simpang Renggiang, Kecamatan Manggar, sampai akhirnya di Kecamatan Gantung.
Infrastruktur jalan jelas rusak meski saya juga melihat satu dermaga di pesisir Sungai Buding juga rusak.
Di sepanjang perjalanan, saya juga melihat pemandangan memilukan seperti pengungsi yang berdiam di posko, warga yang harus kehilangan rumah akibat banjir, dan juga warga yang tengah berbenah setelah rumahnya terendam.
Pemandangan memilukan
Ditengah perjalanan, saya melihat proses pemakaman warga dan memutuskan untuk singgah. Sumadi (47) warga Desa Lalang, Kecamatan Manggar, ternyata kehilangan saat anak sulungnya, Firman (15), yang meninggal dunia akibat terseret banjir.
Walau jasad puteranya sudah dimakamkan, air mata Sumadi masih terus mengalir. Tatapannya tidak tergeserkan dari pusara Firman.
Suharli (47), tetangga korban mengatakan, Sumadi kehilangan putranya saat mencari ikan di daerah Manggar. Banjir tiba-tiba menerjang, dan keduanya langsung terseret arus deras. Sumadi sempat memegang tangan putranya namun arus deras seolah menarik putranya sehingga hanyut.
Satu hari setelah kejadian, jenazah Firman ditemukan ke arah hilir sungai. “Walau sedih, namun ini adalah bencana yang harus kami terima,” ujar Sumadi. Firman adalah satu-satunya korban jiwa dalam bencana banjir di pulau Belitung.
Gotong royong
Salah satu tantangan dalam liputan ini adalah, akses jalan yang terputus akibat digerus banjir. Jalan penghubung antara Kecamatan Manggar dengan Kecamatan Gantung, misalnya, amblas sepanjang 121 meter. Untuk mencapai Kecamatan Gantung, saya harus berjalan kaki menyusuri jalan yang ambas itu.
Ketika saya melintas, sejumlah warga terlihat bekerjasama untuk membangun jembatan darurat agar kendaraan roda dua dapat melintas. Di Belitung Timur, ternyata masih ada praktek gotong royong antarwarga.
Bahkan, saya menyaksikan puluhan aparat keamanan dan warga bekerjasama mengangkut barang logistik seperti obat-obatan hingga orang sakit dari RSUD Belitung Timur melintasi jalan Kerawan. Jalan itu merupakan jalan penghubung Kota Manggar dengan komplek Kantor Pemerintahan Kabupaten Belitung Timur yang amblas sepanjang 50 meter.
Baca berita di Harian Kompas terkait putusnya jalan akses.
Setibanya di Kecamatan Gantung, tantangan lain pun dihadapi yakni sulitnya sinyal di kawasan tersebut. Sejak banjir melanda, sinyal komunikasi di kawasan itu terputus. Hal ini menyulitkan saya untuk berkoordinasi dengan redaksi. Beberapa kali, pengiriman berita terkendala sinyal telekomunikasi.
Ancaman Buaya
Dari tujuh kecamatan di Belitung Timur, banjir terparah melanda Kecamatan Gantung. Ribuan rumah sempat terendam bahkan hingga tiga meter, jalan akses terputus, dan jaringan komunikasi terganggu. Air bersih dan bahan pangan juga sulit didapat.
Namun, ketika banjir mulai surut, warga Gantung tidak mau terburu-buru kembali ke kediaman mereka. Warga menunggu supaya air benar-benar surut. Warga tidak ingin melihat ada genangan air.
Mengapa? Ternyata, warga justru khawatir dengan ancaman buaya. Kira-kira seminggu sebelum banjir, setidaknya terjadi tiga serangan terpisah oleh buaya terhadap warga Kecamatan Gantung. Serangan itu terjadi di tepi sungai, tapi saat banjir, warga melihat ada buaya melintas di permukiman.
Tapi saat banjir, warga melihat ada buaya melintas di permukiman.
Empat hari di Belitung Timur, banjir di sejumlah wilayah mulai benar-benar surut. Sejumlah warga mulai menata kembali hidupnya, tidak terkecuali di perkampungan nelayan di daerah aliran Sungai Lenggang, Kecamtan Gantung, Belitung Timur. Rumah mereka yang penuh lumpur mulai dibersihkan meski nelayan juga belum melaut karena perahunya rusak.
Apapun, begitu banjir di Belitung surut maka warga mulai menatap masa depan. Rumah mulai dibersihkan demi menata kembali kehidupan.
Bangka Belitung pun mulai belajar untuk membangun melakukan pembangunan berwawasan lingkungan. Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan pun menjelaskan, pembangunan harus mulai didasari dengan wawasan lingkungan. “Bencana ini menjadi pelajaran penting bagi setiap orang,” ujarnya.
Program yang kuat
Namun, tanpa program pembangunan yang kuat, yang mempertimbangkan berbagai aspek maka banjir di Belitung Timur sepertinya terus akan terjadi. Mengapa? Karena deforestasi hutan dan rusaknya lingkungan akibat penambangan ilegal dan penggalian pasir besar-besaran tetap akan memicu banjir.
Pemerintah jelas harus menyusun program yang lebih jelas dan tepat sasaran karena hampir 80 persen kehidupan masyarakat Belitung Timur, misalnya, bergantung pada galian timah dan penambangan pasir.
Nah, di sisi lain, kalau kita ingin supaya pariwisata Belitung terus tumbuh maka tidak ada jalan lain untuk tetap menjaga lingkungan. Bayangkan bila Bandara HAS Hananjoeddin lumpuh, atau semua jalan akses terputus akibat banjir. Bayangkan bila wisatawan tidak bisa kemana-mana akibat banjir. Bayangkan bila wisatawan diintai buaya ditengah banjir yang meluas….