Harga Minyak Goreng Kemasan Melejit, Warga di Sidoarjo Beralih ke Curah
Harga minyak goreng premium di Sidoarjo melejit setelah kebijakan harga minyak goreng subsidi Rp 14.000 per liter dicabut. Di sisi lain, permintaan curah meningkat karena harganya terjangkau. Operasi pasar terus digelar.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium di Sidoarjo, Jawa Timur, melejit setelah pemerintah pusat mencabut kebijakan minyak goreng subsidi Rp 14.000 per liter. Di sisi lain, permintaan minyak goreng curah meningkat tajam karena harganya dinilai lebih terjangkau. Intervensi pasar terus dilakukan untuk stabilisasi harga dan menjamin ketersediaan barang di masyarakat.
Pasokan minyak goreng kemasan premium cukup melimpah di sejumlah ritel modern di Sidoarjo. Produk tersebut dibanderol Rp 45.000 hingga Rp 63.000 per kemasan 2 liter. Minyak goreng dengan kemasan premium 1 liter dijual Rp 23.000 hingga Rp 25.000.
Harga minyak goreng ini meningkat tajam dibandingkan dengan sebelum pencabutan kebijakan tentang harga minyak goreng subsidi Rp 14.000 per liter. Saat itu, minyak goreng subsidi dijual Rp 28.000 per kemasan 2 liter di ritel modern dan Rp 35.000 per kemasan 2 liter di toko kelontong. Namun, minyak goreng sulit diperoleh karena barangnya langka.
Mahalnya harga minyak goreng kemasan mendorong masyarakat mencari produk curah karena dinilai masih terjangkau. Di Pasar Porong, Sidoarjo, misalnya, permintaan minyak goreng curah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Peminatnya beragam, dari ibu rumah tangga, penjual makanan, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah seperti produsen kerupuk.
Salah satu pedagang minyak goreng, Nafiri (45), mengatakan ia rata-rata mampu menjual 500 liter minyak goreng curah per hari. Namun, permintaan kini melonjak menjadi 1.000 liter per hari. Dia menduga masyarakat lebih memilih minyak curah. Selain itu, kebutuhan minyak goreng tinggi karena mendekati bulan Ramadhan.
Pernyataan serupa disampaikan Susanti (40), pedagang lainnya. Apabila sebelumnya permintaan minyak goreng di tokonya hanya 30 kilogram (kg) per hari, saat ini permintaan mencapai 60 kg. Mayoritas pelanggannya merupakan pedagang warung penyetan atau lalapan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo Tjarda mengatakan, pihaknya terus melakukan intervensi dengan menggelar operasi pasar minyak goreng curah di sejumlah pasar tradisional berskala besar di wilayahnya. Sasaran operasi pasar adalah pedagang kelontong, bukan konsumen langsung.
”Setiap pasar menerima distribusi minyak goreng curah sebanyak 5.000 liter per hari. Operasi pasar dilakukan dua hari sekali secara bergiliran di tiap-tiap pasar agar pendistribusian merata,” ujar Tjarda.
Intervensi dilakukan dengan menggelar operasi pasar minyak goreng curah di sejumlah pasar tradisional berskala besar di wilayahnya. Sasaran operasi pasar adalah pedagang kelontong, bukan konsumen langsung.
Pada Kamis, misalnya, Pemkab Sidoarjo mendistribusikan minyak goreng curah di Pasar Porong. Distribusi ini tidak hanya diminati pedagang, tetapi juga konsumen. Banyak warga datang dengan harapan bisa membeli minyak goreng yang dijual Rp 14.000 per liter atau Rp 15.556 per kg. Namun, mereka harus pulang dengan tangan hampa karena tidak dilayani.
”Operasi pasar minyak goreng curah ini dikhususkan bagi pedagang yang terdaftar di Pasar Porong. Jumahnya hanya 56 pedagang. Kuotanya pun sekarang dibatasi, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang dibebaskan sesuai kemampuan,” ujar Pengelola Pasar Porong Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo Muhammad Yusron Khoirudin.
Dia menambahkan, pembelian minyak goreng curah dibatasi. Misalnya, pedagang yang sebelumnya mendapat jatah 300 liter dikurangi menjadi 250 liter. Hal itu agar pendistribusian bisa merata. Adapun untuk mencegah penyimpangan minyak goreng curah, pembelian di tingkat konsumen dibatasi maksimal 5 liter per hari per orang.
Pasar Porong Sidoarjo berada di dekat perbatasan dengan Kabupaten Pasuruan. Dari pendataan pengelola pasar, minyak goreng curah yang diperoleh pedagang dari hasil operasi pasar banyak dijual ke Pasuruan karena disparitas harga yang tinggi. Akibatnya, warga Sidoarjo tidak menikmati subsidi tersebut.
”Pengelola pasar juga ingin menjaga stok agar minyak goreng tetap ada di Pasar Porong. Masak, setiap dua hari sekali dilakukan pendistribusian 5.000 liter, tetapi barangnya tidak ada di pedagang,” ucap Yusron.
Fenomena minyak goreng di Sidoarjo merupakan anomali. Hal itu karena di kota penyangga Surabaya ini terdapat perusahaan produsen minyak goreng dan juga distributor yang melayani pemasaran hingga Indonesia timur. Produsen minyak goreng juga terdapat di Gresik yang bertetangga langsung dengan Sidoarjo.
Wakil Bupati Sidoarjo Subandi mengatakan, pihaknya telah mengintervensi tata niaga minyak goreng dengan mewajibkan pedagang menandatangani pernyataan bersedia menjual dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Lapak pedagang juga ditempeli stiker untuk memudahkan masyarakat mendapatkan minyak goreng curah dengan harga terjangkau.
”Pedagang yang tidak mematuhi perjanjian tidak akan diberi alokasi minyak goreng curah pada saat operasi pasar. Pengawasan dilakukan oleh pengelola pasar,” ucap Subandi.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dalam kunjungannya ke PT Wilmar, produsen minyak goreng di Gresik, menyebutkan tidak ada gangguan di lini produksi. Bahkan, Jatim mengalami surplus minyak goreng hingga 4.000 ton per bulan. Hal itu karena kemampuan produksi minyak goreng mencapai 63.000 ton, sedangkan kebutuhan masyarakat hanya 59.000 ton per bulan.