Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Produktivitas Dalam Negeri Jadi Tantangan
Sejak dulu hingga kini, produktivitas dalam negeri Indonesia relatif rendah. Salah satunya tecermin dari indeks ”total factor productivity” Indonesia yang lebih rendah dari negara Asia Tenggara lainnya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kecamatan Gringsing, Batang, Jawa Tengah, Jumat (17/12/2021). Kawasan industri yang memiliki akses langsung ke Jalan Tol Trans-Jawa ruas Batang-Semarang ini digagas pemerintah untuk mendorong penguatan sektor industri di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan produktivitas dalam negeri menjadi kunci sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk naik kelas dari negara berpendapatan menengah menjadi maju. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah akan menggunakan semua instrumen yang diperlukan baik fiskal maupun nonfiskal.
Sejak dulu hingga kini, produktivitas dalam negeri Indonesia relatif rendah. Salah satunya tecermin dari indeks total factor productivity (TFP) Indonesia yang lebih rendah dari negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan, sejak krisis keuangan 1997-1998, indeks TFP Indonesia terus turun.
Indeks TFP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat produktivitas suatu perekonomian. Nilainya didapat dari rasio antara output total terhadap input total faktor produksi. TFP ini menggambarkan dampak ekonomi dari akumulasi atas modal dan teknologi.
Di ASEAN, produktivitas Indonesia jauh di bawah Singapura sebesar 1,51 poin, Malaysia 1,23 poin, dan Thailand 1,09 poin.
Indeks TFP Indonesia pada 2019 sebesar 0,7 poin. Di ASEAN, Indonesia hanya unggul dari Brunei Darussalam. Produktivitas Indonesia jauh di bawah Singapura sebesar 1,51 poin, Malaysia 1,23 poin, dan Thailand 1,09 poin. Posisi Indonesia bahkan lebih rendah dari Kamboja dan Laos yang masing-masing 0,78 poin dan 0,76 poin.
”Ini salah satu masalahnya. Jika kita ingin tumbuh lebih tinggi di masa depan, TFP adalah kunci untuk tumbuh secara jangka panjang, untuk lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah” kata Deputi bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti dalam webinar internasional yang digagas SDGs Center Universitas Padjadjaran, Selasa (11/1/2022).
Pandemi
Pandemi Covid-19 makin memperparah tingkat produktivitas Indonesia. Pandemi telah menyebabkan terjadinya penurunan permintaan produk dan jasa industri, yang kemudian memicu pengurangan tenaga kerja formal.
Dampaknya, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor informal sepanjang pandemi.
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada Agustus 2021, jumlah pekerja informal mencapai 59,45 persen dari penduduk bekerja di Indonesia. Jumlah ini sudah turun dari persentase Agustus 2020 sebesar 60,47 persen, tetapi masih di atas level sebelum pandemi, yakni 55,72 persen.
Untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri, Bappenas mempunyai program diversifikasi ekonomi mencakup industrialisasi, peningkatan produktivitas UMKM, serta modernisasi sektor pertanian. Untuk tercapainya tujuan tersebut, pemerintah akan mengandalkan insentif, baik fiskal berupa pelonggaran pajak maupun non-fiskal, seperti implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
”Hal yang pasti adalah insentif harus tepat sasaran. Insentif tidak bisa digeneralisasi untuk seluruh sektor karena setiap sektor punya karakternya masing-masing,” ujar Amalia.
Kelas menengah
Dalam kesempatan yang sama, ekonom Bank Dunia, Maria Monica Wihardja, mengatakan, pandemi Covid-19 di Indonesia juga telah menyusutkan pekerja kelas menengah.
Bank Dunia mendefinisikan pekerjaan kelas menengah sebagai pekerjaan yang memungkinkan orang untuk memenuhi gaya hidup kelas menengah yang membutuhkan Rp 3,75 juta per bulan.
Monica menjelaskan, terdapat 85 juta pekerjaan yang bisa memberikan gaji dan manfaat sosial dari total 124 pekerjaan di Indonesia. Pada 2018, dari 85 juta pekerjaan tersebut, hanya 15 persen pekerja yang berstatus menengah.
Adapun pada Agustus 2020, persentase pekerja berstatus menengah susut menjadi 10,2 persen.
”Terbatasnya dampak transformasi struktural terhadap produktivitas mencerminkan fakta bahwa tenaga kerja Indonesia tidak pindah ke sektor yang lebih produktif dalam jumlah yang memadai,” ujar Monica.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Bank Dunia merekomendasikan tiga arah kebijakan, yakni mempercepat pertumbuhan produktivitas industri secara menyeluruh, melapangkan transisi pada sektor padat karya, serta meningkatkan kapasitas tenaga kerja kelas menengah.
”Kunci ketiga kebijakan adalah meningkatkan kualitas UMKM agar dapat tumbuh sebagai penyerap tenaga kerja, mendorong investasi baru ke dalam negeri, serta membangun link and match antara industri dan lembaga pendidikan,” katanya.
Ekonom Universitas Harvard, Dani Rodrik, menyarankan kepada pemerintah untuk terus melanjutkan pemberian insentif bagi dunia usaha. Namun, alih-alih insentif fiskal berupa keringanan pajak, insentif non-fiskal, seperti kemudahan investasi, dinilainya akan lebih efektif untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
”Perusahaan tentunya juga membutuhkan akses ke tenaga kerja yang terampil. Dalam hal ini, pemangku kebijakan dan perusahaan dapat berkolaborasi untuk investasi pelatihan tenaga kerja dan transfer teknologi,” kata Rodrik.