Aktivitas Warga di Lhoksukon, Ibu Kota Aceh Utara, Lumpuh Terendam Banjir
Bencana banjir di kawasan utara timur Aceh adalah dampak akumulasi dari kerusakan lingkungan. Alih fungsi lahan, pembalakan liar, dan perambahan hutan membuat daya dukung lingkungan menyerap air tanah berkurang.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
LHOKSUKON, KOMPAS — Banjir yang terjadi sejak Minggu (2/1/2022) melumpuhkan aktivitas warga di Kota Lhoksukon, ibu kota Aceh Utara. Sejauh ini, pola mitigasi banjir di Aceh belum ideal sehingga bencana alam ini terus terulang setiap tahun.
Banjir di Aceh Utara dipicu luapan Krueng Keureuto, Krung Peutoe, dan Krueng Pirak. Sungai-sungai yang berhulu di Bener Meriah itu meluap karena debit air naik akibat hujan intensitas tinggi.
Hingga Senin (3/1/2022), banjir yang melanda 15 kecamatan dan 108 desa itu belum surut. Air setinggi 1 meter masih menggenangi kompleks pertokoan di Lhoksukon. Akibatnya, toko-toko menghentikan aktivitas jual-beli. Kantor pemerintahan, perbankan, masjid, sekolah, dan kantor Polsek Lhoksukon juga tidak luput dari banjir.
Kios-kios pedagang di tepi jalan nasional Banda Aceh-Medan juga sebagian rusak akibat banjir mencapai 1,5 meter. Kendaraan roda dua tidak bisa melintasi. Sebagian mobil yang nekat melintas mogok.
Junaidi (45), pedagang buah di Kota Lhoksukon, pasrah kiosnya rusak dihantam banjir. Rak kayu tempat buahnya patah. Sebagian buahnya juga busuk. ”Setiap tahun, Lhoksukon dilanda banjir. Meski tahun ini tidak separah tahun lalu, saya rugi sekitar Rp 20 juta,” kata Junaidi.
Aktivitas warga juga terganggu. Sebagian warga kini mengungsi ke rumah kerabat, balai desa, hingga tepi jalan. Jumlahnya 24.332 orang. Mereka yang ingin melintas bahkan harus menggunakan tali diikat ke tiang lampu jalan karena arus air deras.
Sakdiah (40), warga Lhoksukon, telah dua hari mengungsi ke madrasah terdekat. Dia turut membawa peralatan masak dan alas tidur. ”Mudah-mudahan banjir cepat surut. Lelah juga setiap tahun jadi korban,” kata Sakdiah.
Terkait kejadian ini, Pemkab Aceh Utara menetapkan status darurat bencana daerah sejak 3 Januari hingga 17 Januari 2022. Harapannya, penanganannya ikut melibatkan Pemprov Aceh.
”Penanganan banjir di Aceh Utara perlu peran Pemprov Aceh dan pemerintah pusat. Sebagian besar sungai di Aceh Utara berada di bawah mereka,” kata Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf.
Sejauh ini, Fauzi menuturkan, masih fokus menyalurkan kebutuhan pokok ke posko pengungsian. Tim evakuasi juga menyisir permukiman banjir untuk memastikan tidak ada warga yang terjebak. Dia meminta warga tetap siaga dampak banjir.
Ke depan, Fauzi berharap Waduk Keureuto yang sedang dibangun bisa menjadi jalan keluar menekan kejadian banjir. Progres pembangunannya mencapai 70 persen. ”Jika waduk rampung, mungkin banjir tidak akan separah ini,” ujar Fauzi.
Banjir juga terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang. Sebanyak 115 desa tergenang banjir, sejak Minggu (2/1/2022) hingga Senin (3/1/2022). Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Aceh Tamiang Syahri mengatakan, banjir hingga 2 meter berdampak pada 22.511 warga. Sebanyak 9.459 orang di antaranya mengungsi.
Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin menuturkan, penanganan banjir di Aceh selama ini belum ideal. Salah satu yang harus dibenahi adalah pola mitigasinya.
”Untuk penanganan jangka panjang, Pemprov Aceh harus segera menyusun masterplan pengelolaan banjir terpadu. Tujuannya agar penanganan bencana banjir di Aceh dapat dilakukan komprehensif dari hulur ke hilir,” kata Shalihin.
Shalihin mencontohkan, banjir di kawasan utara dan timur Aceh adalah dampak akumulasi kerusakan lingkungan. Alih fungsi lahan, pembalakan liar, dan perambahan hutan membuat daya dukung lingkungan menyerap air tanah berkurang.
”Hutan harus dipulihkan. Pola perkebunan monokultur seperti hutan tanaman industri dan perkebunan sawit harus dievaluasi,” kata Shalihin.