Memang sains hanya mampu menyodorkan dan mengajarkan fakta dan nonfakta ke manusia, namun tak mampu (berhak?) mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan/jangan dilakukan orang.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·4 menit baca
Seorang suster biarawati, kepala sekolah dasar swasta, dalam rangka melayat orangtua siswanya, memberikan jawaban sangat lugas ketika kami sempat terlibat diskusi singkat terkait proses pembelajaran di 2022. “Kami akan memberikan pendampingan healing kepada orangtua siswa di awal tahun 2022 ini,” tegasnya.
Suster berkilah, para siswa sampai penghujung 2021 ini telah sangat cepat beradaptasi dengan berbagai teknologi dan model pembelajaran yang menyertainya, apakah daring, semi luring, campuran daring-luring, atau pun uji coba tatap muka; namun justru sebagian orangtua siswa belum sukses beradaptasi dengan kondisi selama ini, sehingga sampai saat ini belum mengizinkan anaknya ke luar rumah, apalagi ke sekolah.
“Beliau yang meninggal ini salah satu contohnya. Almarhum sering ketakutan karena katanya menderita sakit jantung, dan traumanya itu mengimbas ke berbagai larangan pada anaknya.”
Tiga resolusi tahun 2022
Di awal 2022 ini, terutama di semester kedua tahun ajaran 2021/2022, Kemendikbudristek selayaknya terpanggil untuk memberikan sekurangnya tiga resolusi pendidikan. Pertama, resolusi untuk orangtua, berupa pendampingan healing kepada orangtua. Kedua, resolusi tentang arah “kebudayaan digital". Ketiga, resolusi tentang “akar dan buah teknologi” yang akan menjelaskan sosok pohonnya.
Tak mustahil daya tahan mental maupun emosi sebagian orangtua tergerus, bahkan mengarah ke kondisi traumatis yang harus segera dicari jalan keluarnya.
Harus diakui, selama pandemi ini, orangtua siswa adalah pihak yang paling pontang-panting, namun memang mengembalikan marwah asas utama pendidikan, untuk ikut menyelenggarakan suksesnya proses pembelajaran anaknya, apa pun model pembelajaran yang sedang dialami anak saat ini. Tak mustahil daya tahan mental maupun emosi sebagian orangtua tergerus, bahkan mengarah ke kondisi traumatis yang harus segera dicari jalan keluarnya.
Pendampingan healing oleh pihak satuan pendidikan (sekolah) adalah salah satu jalan keluar terbaik, mengingat orangtua tak terpisah dari anaknya dan sekolahnya di mana mereka bergelut dengan model-model pembelajaran yang silih-berganti berhubung kondisi pandemi. Seolah tumbuh berdampingan, model pembelajaran di masa pandemi beriringan dengan kian cepat tumbuhnya “kebudayaan digital,” dalam setiap rumahtangga dan lebih-lebih dalam masyarakat.
Salah satu pemicu trauma orangtua tentu lantaran gempuran digital ini, sehingga kompletlah penderitaan mereka, “memaksa” mereka harus segera bisa. Kebudayaan digital sangat cepat merasuki siapa pun, baik yang tak siap, tak mau, maupun yang merasa tak membutuhkannya. Akselerasi kebudayaan digital harus memanggil Kemendikbudristek untuk secara konkret menumbuhkan ekosistem pendidikan (masyarakat) secara baru, yakni: tetap berkiblat pada pengembangan cipta, rasa, dan karsa untuk menghasilkan karakter berbangsa dan bernegara secara modern.
Akar dan buah teknologi
MT Zen (1984) selaku editor buku Sains, Teknologi, dan Hari Depan Manusia menuliskan antara lain: "Sains tanpa teknologi bagaikan pohon tak berbuah, sedangkan teknologi tanpa sains, bagaikan pohon tidak berakar".
Memang sains hanya mampu menyodorkan dan mengajarkan fakta dan nonfakta ke manusia, namun tak mampu (berhak?) mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan/jangan dilakukan orang. Yang terakhir ini tugas kesenian (kebudayaan) dan teologi, karena sains dan teknologi tetap membutuhkan bimbingan moral sebagaimana pameo lama mengatakan: sains tanpa religi/teologi akan buta, religi/teologi tanpa sains akan lumpuh.
Di sinilah kebudayaan sangat berperan yaitu membantu orang (manusia) untuk terus menemukan jati dirinya untuk akhirnya memampukan orang itu memberikan jawaban religius atas pertanyaan-pertanyaan: siapa aku, siapa engkau, siapa mereka; ke mana aku, ke mana engkau, ke mana mereka. Kualitas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah buah sains dan teknologi; dan dalam konteks nomenklatur Kemendikbudristek, tentu ada pertanyaan, di mana riset berkiprah: di pendidikannya, kebudayaannya, ataukah teknologinya?
Dan inilah resolusi 2022 yang harus tegas menyebutkannya, betapa riset itu akar dari pendidikan, kebudayaan, dan teknologi; sedangkan buahnya dapatlah dilihat antara lain dari orangtua (siswa) yang merdeka karena tak lagi stres atau trauma serta kebudayaan digital yang membangun cipta, rasa, dan karsa secara modern.
Dalam buku editannya, MT Zen menampilkan kutipan puisi WB Yeats yang gelisah karena, di satu sisi “akal budi kita dipaksa memilih kesempurnaan dalam hidup atau pekerjaan,” padahal di sisi lain manusia itu sebenarnya senang jadi pemalas namun nikmat hidupnya.
Maka ambil semua emas dan perak sebisamu. Puaskan ambisimu/tuangi hari-biasa dengan sinar mentari.
Dan semarakkan bagai hari raya/. Dan atas pepatah ini renungkan: lelaki malas dirindukan semua perempuan/tapi anak-anak mengharapkan harta kekayaan./Sesungguhnya, belum pernah ada seorang lelaki jua/cukup hidup hanya dengan rasa syukur anak-anaknya/ dan peluk kecup perempuannya. (hal. 77-78)
Penggalan puisi (tepatnya satire) ini bisa kita pakai sebagai pengingat dua hal penting terkait resolusi 2022 menuju hari depan berbangsa dan bernegara. Pertama, teruskan kerja keras (dan cerdas) Kemendikbudristek sebagaimana terjadi di 2021. Kedua, bagaikan lelaki yang “tak cukup hidup hanya dengan rasa syukur anak-anaknya dan peluk kecup perempuannya,” pengabdian kementerian ini cakupannya bukan saja untuk “anak dan istri,” melainkan sangat luas di aspek-aspek pendidikan dan kebudayaannya, berikut menyangkut buah riset dan teknologinya.
JC Tukiman TarunaPengajar pada Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata, Semarang