Pemerintah Daerah Dinilai Belum Optimal Menjaga Kerukunan Antar-umat Beragama
Meski sudah 331 Forum Kerukunan Umat Beragama terbentuk di berbagai daerah, kinerja pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan dinilai masih belum optimal.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun hubungan antarkelompok agama di Indonesia secara umum berlangsung baik, ketegangan masih sering terjadi dan tidak jarang melibatkan kekerasan. Untuk memelihara kerukunan dan melindungi kemerdekaan beragama, kinerja pemerintah daerah yang selama ini dinilai belum optimal mesti ditingkatkan, begitu pula peran Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB.
Dalam laporan riset Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina yang dipublikasi pada Selasa (28/12/2021), disebutkan bahwa kinerja pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan masih belum optimal dan merata. Kelembagaan FKUB juga belum memiliki modal yang cukup untuk berperan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Hasil riset terakhir pada tahun 2021 ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan kajian yang sama pada 2018-2019. Ada banyak tantangan untuk mengimplementasikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 (PBM 2006) yang mencakup soal peran FKUB dalam memelihara kerukunan dan melindungi kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
Kinerja pemerintah daerah dalam pemeliharaan kerukunan masih belum optimal dan merata. Kelembagaan FKUB juga belum memiliki modal yang cukup untuk berperan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Saat ini, peraturan itu sedang direvisi untuk dinaikkan status hukumnya menjadi peraturan presiden (perpres). Tantangannya, antara lain, kinerja pemda, kelembagaan FKUB, dan peran serta kinerja FKUB.
Sebenarnya respons pemda terhadap PBM 2006 dinilai sudah cukup baik. Ini terlihat dari jumlah FKUB yang tercatat di pangkalan data PUSAD yang mencapai 331. Lebih dari separuh jumlah FKUB di pangkalan data PUSAD atau sebesar 51 persen berdiri dalam kurun 2006-2008 saat masa sosialisasi PBM. Selain itu, hampir semua provinsi juga telah memiliki peraturan gubernur (pergub) tentang FKUB. Namun, substansi peraturan di daerah umumnya masih kurang jelas dan tidak menyebutkan mekanisme untuk memastikan akuntabilitas pemda.
”Hal ini membuat dukungan kepada upaya pemeliharaan kerukunan sangat bergantung pada preferensi pribadi kepala daerah atau kedekatan personal kepala daerah dengan FKUB,” kata Peneliti PUSAD Raditya Darningtyas.
Penelitian PUSAD juga menemukan bahwa sejumlah daerah melakukan beberapa terobosan dengan menerbitkan peraturan sebagai tafsir terhadap PBM 2006. Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, misalnya, mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pendirian Rumah Ibadat dan Tempat Ibadat. Peraturan ini mempermudah persyaratan pendirian tempat ibadah yang berskala lebih kecil dari rumah ibadah, seperti mushala, kapel, taman doa, bakal jemaat, pos pelayanan, persekutuan, pepanthan, pura fungsional, dan tempat ibadah lainnya.
Pemerintah Kota Semarang juga menerbitkan Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 46 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Mendirikan Ibadat Terbit. ”Terobosan pada regulasi ini, 60 dukungan terhadap rumah ibadah boleh dari calon pengguna rumah ibadah tersebut,” imbuh Raditya.
Dari hasil riset PUSAD juga diketahui bahwa sebenarnya FKUB memiliki modal sosial untuk berperan dalam memelihara kerukunan dengan dukungan keanggotaan dan sumber daya umat beragama. Namun, FKUB masih memiliki keterbatasan berupa kapasitas dan akuntabilitas yang masih lemah. Hal itulah yang menghambat peran FKUB.
Selain itu, anggota FKUB juga masih didominasi laki-laki. Dari 5.736 anggota, 91 persen di antaranya laki-laki dan 9 sisanya perempuan. Karena itu, diharapkan prinsip keanggotaan perempuan dalam kepengurusan FKUB ditingkatkan.
Pengurus FKUB Provinsi DIY dan Peneliti Peran Perempuan dalam FKUB Wiwin Siti Aminah mengatakan, pola rekrutmen yang ada di FKUB bisa diperbaiki untuk memberikan representasi pada perempuan. Saat ini, rekrutmen juga dibentuk melalui majelis agama tertentu sehingga lebih banyak laki-laki yang masuk ke struktur organisasi FKUB.
”Menjadi tantangan bagi FKUB ke depan bagaimana mendorong perempuan untuk ikut dalam seleksi anggota FKUB. Perempuan harus dilibatkan dalam majelis agama karena posisinya krusial di FKUB,” kata Wiwin.
Staf Khusus Bidang Media Kementerian Agama Wibowo Prasetyo mengatakan, selama 15 tahun, FKUB telah berperan dalam memberikan rekomendasi kebijakan kepala daerah dan sosialisasi keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Masalah yang ditemui, antara lain, izin permohonan rumah ibadah baik di kabupaten, kota, dan lingkungan pemerintahan daerah.
”FKUB menjadi bagian penting sebagai aktor tata kerukunan antarumat beragama. Kemenag tidak hanya ingin merawat kerukunan, tetapi juga untuk memetakan potensi konflik maupun antarumat beragama,” kata Wibowo.
Kemenag meminta agar komunikasi dan koordinasi FKUB dengan organisasi massa di daerah ditingkatkan. Ruang diskusi FKUB bersama kementerian dan lembaga juga harus ditingkatkan untuk merefleksikan kembali fungsi dalam tata kelola umat beragama. FKUB harus menjadi bagian penting dari moderasi beragama. Ini juga penting untuk membekali FKUB untuk mengatasi konflik dalam konteks kehidupan beragama.
”Selama ini, FKUB mampu memberikan solusi yang win-win. Mereka juga aktif bicara moderasi beragama sampai saat ini dan terus-menerus merawat kerukunan antarumat beragama agar bisa tercapai,” kata Wibowo.
Wibowo juga menyebut bahwa penguatan moderasi beragama juga menjadi program prioritas nasional yang masuk untuk penjiwaan pembangunan nasional. Moderasi beragama adalah upaya antarumat beragama untuk mewujudkan lingkungan yang adil, inklusif, serta peningkatan literasi media.