Keterlibatan Milenial Aceh dalam Isu Antikorupsi Butuh Dukungan
Akses informasi keuangan daerah masih sukar diperoleh. Padahal, anak muda juga berhak tahu ke mana anggaran daerah digunakan. Kepedulian anak muda pada pembangunan jadi modal mengawal proses pengelolaan anggaran publik.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI MASRY
Kaum muda lintas komunitas di Banda Aceh, Aceh, Kamis (9/12/2021), mendiskusi isu korupsi di Aceh.
BANDA ACEH, KOMPAS — Kelompok milenial semakin aktif menyuburkan gerakan antikorupsi di Aceh. Keterlibatan mereka ikut mengawasi pengelolaan keuangan daerah harus terus didorong. Tidak tertutup kemungkinan, kelak mereka bakal bertanggung jawab mengelola anggaran tersebut.
Kaum milenial lintas komunitas dan kelompok minoritas di Aceh bertemu untuk mendiskusikan isu korupsi di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu (9/12/2021). Digelar dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi, acara ini bertema ”Demokrasi Bersih Tanpa Korupsi, Wujudkan Aceh Bebas dari Korupsi”. Pesertanya yang sebanyak 50 orang membahas potensi kasus korupsi di Aceh.
Aceh menjadi salah satu daerah rawan korupsi. Kompas mencatat, dalam kurun 2020-2021, terdapat delapan kasus korupsi di Aceh yang telah ditetapkan tersangkanya. Kasus korupsi yang tersebar di beberapa daerah itu ditangani kepolisian dan kejaksaan. Mayoritas program yang dikorupsi itu dibiayai dengan dana otonomi khusus.
Nilai kerugian negara dari delapan kasus itu mencapai Rp 33,5 miliar. Nilai kerugian negara setara dengan 6.700 toilet untuk rumah warga miskin atau 372 rumah layak huni untuk warga duafa.
Salah satu kelompok antikorupsi yang banyak diminati anak muda adalah Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA). Lebih kurang 200 orang sudah lulus dari SAKA. Sebagian besar pesertanya adalah mahasiswa. Mereka belajar menelaah anggaran hingga memberi advokasi soal kasus korupsi.
Kepala SAKA Mahmuddin menuturkan, keterlibatan anak muda penting untuk menumbuhkan gerakan antikorupsi. Sebagian dari mereka, katanya, bisa jadi kelak akan mengelola jalannya pemerintahan.
”Anak muda tidak boleh apatis terhadap pembangunan. Korupsi menyebabkan pembangunan terhambat dan pemuda ikut merasakan dampak,” kata Mahmuddin. Dia menyebutkan, korupsi masif terjadi di Aceh. Dia mencontohkan kasus korupsi beasiswa, pengadaan sapi, dan pembangunan jembatan.
Raudhatul Hasanah Lie, Ketua Koalisi Anak Muda Demokrasi Resilience, organisasi yang fokus di bidang pembangunan dan antikorupsi, menuturkan, peran forum diskusi anak muda vital untuk mendalami isu korupsi. Peserta memulai dengan persoalan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya pembangunan kampus, desa, dan pengelolaan pendidikan.
Akan tetapi, semua bukan tanpa kendala. Raudhatul mengatakan, akses informasi keuangan daerah masih sukar diperoleh. Padahal, anak muda juga berhak tahu untuk apa anggaran daerah digunakan. ”Semoga anak muda di Aceh lebih peduli pada pembangunan agar anggaran publik benar-benar diperuntukkan untuk rakyat,” katanya.
Monumen Kerajaan Samudera Pasai di Kabupaten Aceh Utara dibangun menggunakan APBN tahun jamak. Pembangunan monumen itu diduga tidak sesuai karena anggaran dikorupsi oleh oknum pegawai dan rekanan. Foto direkam pada 7 Agustus 2021.
Ketua Komite Pemantau Barang dan Jasa Banda Aceh Irmasari menuturkan, organisasi yang fokus dalam isu antikorupsi ini dibentuk setahun lalu. Mereka dibekali pengetahuan perencanaan penganggaran daerah dan realisasi anggaran oleh lembaga swadaya masyarakat Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh.
Setelah itu, mereka ikut mengawasi pengadaan wastafel atau sarana cuci tangan di sekolah-sekolah. Sejauh ini, pihaknya menemukan banyak wastafel yang tidak berfungsi. Padahal, fasilitas itu dibangun untuk penerapan protokol kesehatan di sekolah.
”Anggaran pengadaan wastafel untuk sekolah di Aceh Rp 44 miliar di 390 titik. Sistem pengadaan penunjukan langsung tanpa lelang. Temuan tersebut akan menjadi bahan kajian di komunitas untuk menentukan langkah advokasi hukum,” kata Irmasari.