Pelaksanaan ketiga hajatan pemilu di tahun yang sama adalah kali pertama dan akan digelar di 2024. Belum ditetapkannya jadwal Pemilu 2024 bisa menghantui rencana ukiran sejarah itu.
Oleh
RIFQINIZAMY KARSAYUDA
·5 menit baca
Dinamika penetapan jadwal pemilu tahun 2024 belum kunjung usai. Sebagaimana diketahui, Pemilu 2024 adalah gelaran pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres), pemilihan umum legislatif (pileg) untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (pilkada).
Pelaksanaan ketiga hajatan pemilu di tahun yang sama adalah kali pertama dan akan digelar di 2024. Belum ditetapkannya jadwal Pemilu 2024 bisa menghantui rencana ukiran sejarah itu. Di awal masa persidangan DPR sebelum ini, KPU dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR telah menyampaikan desain pelaksanaan Pemilu 2024 beserta jadwal tahapannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
KPU mengusulkan pelaksanaan hari pemungutan suara untuk Pilpres dan Pileg 2024 pada 21 Februari 2024, sementara pemungutan suara Pilkada 2024 pada 27 November 2024.
Di pihak lain, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan usulan hari pemungutan suara Pileg dan Pilpres 2024 pada 15 Mei 2024. Pernyataan Mahfud ini dianggap sebagai sikap dan usulan resmi pemerintah. Perbedaan jadwal versi KPU dan pemerintah inilah yang hingga kini belum menemukan kata putus.
Padahal, kepastian jadwal Pemilu 2024, terutama pelaksanaan hari pemungutan suara, sangat penting bagi terlaksananya tahapan-tahapan lainnya, mulai dari pendaftaran calon, masa kampanye, verifikasi badan hukum partai politik, hingga ketentuan soal waktu jika terjadi sengketa. Semuanya berpatokan dari jadwal pemungutan suara sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Secara normatif, kewenangan untuk menentukan jadwal tahapan, termasuk jadwal pencoblosan suara Pemilu 2024, berada di tangan KPU. Pasal 167 Ayat (2) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, ”...hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU”. Pembentuk UU memberikan kewenangan secara mandiri kepada KPU untuk menetapkan hari pemungutan suara.
Hal ini senapas dengan ketentuan Konstitusi Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan, ”Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
Kendati demikian, dapat dipahami, selama ini pengambilan keputusan-keputusan penting perihal pelaksanaan pemilu selalu melibatkan KPU dan penyelenggara pemilu lainnya, yaitu Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pemerintah dan DPR. Polemik soal kepastian pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 lalu diputuskan bersama secara tripartit oleh ketiga pihak dimaksud dalam RDP di Komisi II DPR.
Pengambilan keputusan bersama KPU, DPR, dan pemerintah dimaksudkan agar berbagai konsekuensi dari keputusan itu dapat dilaksanakan dengan baik, seperti soal anggaran, keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan kepemiluan, seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, kementerian/lembaga negara lain, hingga pemerintah daerah dan berbagai aspek lainnya, yang tidak mungkin diselesaikan sendiri oleh KPU.
Walaupun pola tripartit dalam pengambilan keputusan-keputusan penting soal kepemiluan menjadi semacam ”konvensi ketatanegaraan” kita, ia tak boleh menegasikan, terlebih menyandera kewenangan KPU yang bersifat mandiri itu.
”Ratio Legis” versi KPU
Usulan hari pemungutan suara versi KPU pada 21 Februari 2024, secara yuridis dan teknis kepemiluan, telah memitigasi setidaknya tiga hal penting.
Pertama, jeda waktu antara pelaksanaan Pileg 2024 dengan pelaksanaan pilkada di tahun yang sama. Jeda waktu delapan bulan dari Februari 2024 ke November 2024 adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan berbagai kemungkinan hadirnya sengketa pileg, terutama bagi pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota.
Hasil pileg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan menjadi modal pencalonan bagi calon kontestan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada November 2024 itu.
Kondisi ini akan menciptakan ketidakpastian hukum, sekaligus kerugian konstitusional parpol dan calon kontestan pilkada.
Bisa dibayangkan, jika sengketa pileg belum selesai, baik terkait sengketa administrasi, pidana, maupun perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), sementara tahapan pendaftaran peserta pilkada telah digelar. Kondisi ini akan menciptakan ketidakpastian hukum sekaligus kerugian konstitusional parpol dan calon kontestan pilkada. Di pihak lain, ia dapat memicu konflik sosial dan politik di daerah tersebut.
Jeda waktu antara pileg dan pilkada delapan bulan itu dapat memberikan waktu yang cukup untuk kampanye calon kepala daerah sehingga bisa menyosialisasikan pelbagai visi, misi, dan programnya ke calon pemilih di daerah masing-masing.
Kedua, diperlukan jeda waktu yang cukup pula antara pelaksanaan Pilpres 2024 dan akhir masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yakni pada 20 Oktober 2024. Desain pelaksanaan pilpres tidak boleh menutup kemungkinan digelarnya pilpres putaran II sebagaimana pernah terjadi pada 2004. Ini bisa terjadi, jika kontestan pilpres lebih dari dua pasangan calon sehingga tak ada satu pasangan pun yang memperoleh raihan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara pilpres sebagaimana ketentuan Pasal 416 Ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu, jadwal Pemilu 2024 juga harus memberikan waktu yang cukup bagi penyelesaian sengketa administrasi, pidana, dan PHPU pilpres di MK sebelum KPU menetapkan capres/cawapres terpilih.
Ketiga, pelaksanaan hari pemungutan suara pada Februari 2024 bertepatan waktunya sebelum bulan Ramadhan pada tahun itu. Berdasarkan kalender Hijriah, Ramadhan 2024 akan dimulai pada 9 Maret 2024. Jika hari pemungutan suara dilaksanakan pada Mei 2024, maka Ramadhan tahun itu akan menjadi bagian dari tahapan kampanye Pileg dan Pilpres 2024.
Selain kewajiban untuk menghormati kaum Muslimin yang menjalankan ibadah puasa dan ritual lainnya di bulan suci umat Islam itu, Ramadhan harus dijauhkan dari pelbagai kegiatan politik praktis yang berpotensi memecah belah bangsa melalui berbagai kampanye berisikan politik identitas dan politik SARA. Ramadhan juga tak boleh dijadikan legitimasi berbalut kegiatan keagamaan melalui buka puasa dan sahur bersama, pembagian zakat, infak, sedekah, dan berbagai kegiatan lain yang ada potensi praktik politik uang terselubung.