Lebih dari separuh produk domestik bruto dunia memiliki risiko kehilangan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, implementasi pembangunan rendah karbon yang berketahanan iklim menjadi prioritas.
Oleh
ARIFIN RUDIYANTO
·5 menit baca
Kompas
Didie SW
Gelaran pertemuan perubahan iklim dunia COP 26 di Glasgow, Skotlandia, baru saja usai dengan menghasilkan beragam resolusi sekaligus pekerjaan rumah. Salah satunya isu tematik loss and damage (L&D)/kerugian dan kerusakan yang menjadi salah satu bahasan utama antarpara pihak (negara peserta COP 26).
Menurut Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, L&D), merujuk kepada efek negatif variabilitas (fluktuasi yang tiba-tiba) dan perubahan iklim yang tak dapat diatasi atau diadaptasi oleh manusia, isu ini mengemuka karena meningkatnya dampak L&D akibat perubahan iklim saat ini dan frekuensinya yang cenderung meningkat di masa depan, khususnya negara-negara dengan kerentanan tinggi dan kapasitas adaptif rendah.
Dalam konteks L&D, perubahan iklim dipicu/diperparah oleh kegiatan ekonomi manusia yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) ke dalam atmosfer yang berimplikasi pada peningkatan suhu global di atas 1 derajat celsius dibandingkan dengan masa pra-industri dan berpotensi mencapai 3,5 derajat celsius di tahun 2100.
Dalam lembar keputusan akhir COP 26 yang diberi nama Glasgow Climate Pact dinyatakan, isu L&D akan terus mendapat perhatian dan menjadi agenda global. Salah satunya, kesepatakan untuk mengoperasionalisasikan Santiago network untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi L&D terkait perubahan iklim global, termasuk memobilisasi dukungan pendanaan dari negara-negara maju.
Oleh karena itu, implementasi pembangunan rendah karbon yang berketahanan iklim harus menjadi prioritas.
Santiago network memiliki visi dalam mempercepat bantuan teknis dari aspek kelembagaan, jejaring, dan pakar yang relevan untuk implementasi dalam mencegah, meminimalkan, dan menangani L&D di tingkat lokal, nasional, dan regional di negara-negara berkembang, khususnya yang rentan terhadap bahaya iklim dan bencana hidrometeorologi.
L&D dan Indonesia
Pemerintah, khususnya Bappenas, menyadari bahwa lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB) dunia memiliki risiko kehilangan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, implementasi pembangunan rendah karbon yang berketahanan iklim harus menjadi prioritas.
Menurut laporan World Economic Forum berjudul ”Global Risk Report 2021”, risiko-risiko terkait lingkungan hidup adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, dan bencana alam yang disebabkan oleh gangguan ekosistem dan perubahan iklim bernilai lebih dari 300 miliar dollar AS per tahun. Merespons permasalahan dan ancaman tersebut, Bappenas telah meluncurkan kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) di April 2021.
Program dan kebijakan difokuskan pada penguatan sistem ketahanan bencana dan peringatan dini terhadap multiancaman bencana. Baik yang bersifat seketika (sudden onset disasters) seperti badai tropis, gempa bumi, dan tsunami maupun yang bersifat perlahan (slow onset disasters) seperti degradasi lahan dan hutan, kenaikan suhu, kenaikan permukaan air laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Hasil analisis Bappenas menemukan bahwa peningkatan curah hujan ekstrem menyebabkan peningkatan potensi banjir dan longsor di wilayah Pulau Jawa-Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua pada periode 2020-2045.
Ancaman tenggelamnya beberapa wilayah dengan tingkat kenaikan permukaan air laut bervariasi, dari 0,6 sentimeter per tahun sampai lebih dari 1,2 sentimeter per tahun.
Hal ini diperparah lagi oleh fenomena land subsidence atau penurunan muka tanah, rata-rata mencapai 1-20 sentimeter per tahun di Pulau Jawa dan bahkan mencapai 20 sentimeter per tahun di DKI Jakarta.
Ancaman perubahan iklim juga menerpa beberapa sektor kunci di Indonesia. Seluas 5,8 juta kilometer persegi wilayah perairan Indonesia berbahaya bagi kapal nelayan kurang dari 10 gros ton (GT). Sepanjang 1.800 kilometer garis pantai masuk dalam kategori rentan hingga sangat rentan dan produksi beras akan menurun di beberapa wilayah. Valuasi kerugian ekonomi dari ancaman bahaya iklim mencapai Rp 544,9 triliun hingga tahun 2024.
Kompas
Supriyanto
Transformasi menuju ekonomi hijau
Pilihan untuk mengantisipasi ancaman L&D salah satunya adalah dengan transformasi menuju ekonomi hijau di mana Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) harus diterapkan secara komprehensif. Ekonomi hijau adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi juga ramah lingkungan, serta inklusif secara sosial.
Untuk menghubungkan kebijakan tersebut menjadi aksi nyata, Bappenas telah menentukan lokasi prioritas PBI pada tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan pendekatan ilmiah serta menyesuaikan dengan bahaya iklim yang mengancam di wilayah tersebut.
Pertama, sektor kelautan dan pesisir, lokasi super prioritas sektor kelautan terbanyak berada di wilayah Sumatera (pesisir barat); sedangkan wilayah pesisir yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim yaitu di Pulau Jawa-Bali, Sumatera, dan Sulawesi.
Kedua, sektor air, tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa-Bali dan Nusa Tenggara. Ketiga, sektor pertanian, wilayah prioritas berada di Pulau Jawa-Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Keempat, sektor kesehatan, wilayah prioritas untuk penyakit DBD, malaria, dan pneumonia berada di Pulau Jawa-Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku.
Berdasarkan hasil Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan aksi Ketahanan Iklim Bappenas, telah diimplementasikan 171 kegiatan ketahanan iklim oleh kementerian dan lembaga. Nilai pengurangan kerugian ekonomi akibat bahaya iklim di tahun 2020 mencapai Rp 44,86 triliun atau 85 persen dari target yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Membumikan kebijakan menjadi aksi nyata
Isu perubahan iklim sangat terkait dengan masifnya pembangunan tinggi karbon dan mengabaikan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Diperlukan aksi ketahanan iklim yang nyata untuk menghadapi perubahan iklim yang sedang dan akan terjadi, bahkan membesar peluang kejadiannya di masa depan.
Kegiatan ketahanan iklim perlu dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu infrastruktur, pengembangan dan penerapan teknologi, peningkatan kapasitas para pihak termasuk masyarakat, serta tata kelola dan pendanaan yang inovatif.
Kami optimistis, strategi dan implementasi PBI dapat menjadi salah satu referensi sekaligus langkah penting penanganan isu perubahan iklim lintas sektor di Indonesia.
ARSIP PRIBADI
Arifin Rudiyanto
Dalam catatan Bappenas tahun 2021, iplementasi Pembangunan Berketahanan Iklim tahun 2020 pada empat sektor prioritas, yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, serta kesehatan mampu menurunkan kerugian ekonomi Indonesia dari ancaman bahaya iklim sebesar Rp 44,86 triliun.
Arifin Rudiyanto,Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas