Bekal Pahit Buruh di Jabar Menjauh dari Kemiskinan
Buruh di Jawa Barat masih berharap kabar bahagia itu datang. Beratnya hidup saat pandemi jelas tidak mudah bagi mereka yang berpenghasilan seadanya untuk tetap ngotot mimpi sejahtera.

Sekitar 1.000 buruh berunjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/11/2021). Buruh meminta Gubernur Jabar Ridwan Kamil menetapkan UMK sesuai rekomendasi pemerintah kabupaten/kota dengan kenaikan upah 3-18 persen.
Penetapan upah minimum/kabupaten kota (UMK) 2022 di Jabar terus jadi polemik. Jangan sampai ujungnya justru memicu ketimpangan baru yang berpotensi berbahaya.
”Tidak !!!”
Berbalut jas hujan plastik tipis, Yuyun (24) lantang mengatakannya di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jabar, Selasa (30/11/2021). Bersama ribuan orang lainnya, dia berunjuk rasa dan enggan angkat kaki meski diguyur hujan lebat. Yuyun tetap menjawab saat orator bertanya kepada massa aksi.
Salah satu pertanyaannya, apakah setuju jika penetapan UMK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Regulasi turunan UU Cipta Kerja itu dianggap menutup peluang buruh untuk sejahtera.
Demi memperjuangkan upahnya tahun depan, buruh asal Cianjur itu bersusah payah mengendarai sepeda motornya ke Bandung. Jaraknya 65 kilometer atau setara dengan dua jam perjalanan. Berpanas-panasan di jalan, dia dan banyak buruh lainnya tiba saat Bandung dihajar hujan lebat.
”Lebih baik begini daripada menderita selama setahun karena gagal memperjuangkan upah naik,” ujarnya
Dua tahun bekerja di pabrik garmen, Yuyun bertahan dengan upah Rp 2,8 juta per bulan. Selama pandemi Covid-19 melanda 1,5 tahun terakhir, beban hidupnya tidak pernah ringan. Biaya membeli masker dan hand sanitizer, misalnya, sekitar Rp 150.000 per bulan. Ada lagi biaya kuota internet untuk belajar daring anaknya Rp 50.000 per bulan.
”Belum lagi banyak kebutuhan pokok yang naik. Ujung-ujungnya buruh akan berutang dan semakin sengsara,” ujarnya.
Beban itu berpotensi semakin berat karena gajinya terancam tidak naik tahun depan. Kalaupun naik, nilainya tidak signifikan. Ibu dua anak itu berkaca pada penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar 2022 yang hanya naik 1,72 persen atau sekitar Rp 31.000. Dari Rp 1,81 juta menjadi Rp 1,84 juta.
UMP menjadi batas bawah dalam menetapkan UMK. Namun, sejumlah daerah terancam tidak menaikkan UMK 2022. Keputusan ini ditetapkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil sebelum Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil.
”Kebutuhan hidup meningkat, tetapi upah tetap. Bagaimana caranya buruh bisa hidup layak di tengah pandemi saat ini,” katanya.
Baca juga: Buruh Desak Gubernur Jabar Tetapkan UMK Berdasarkan Rekomendasi Daerah

Buruh membawa poster saat berunjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/11/2021).
Dengan pakaian basah habis diguyur hujan, Wawan (35), buruh asal Rancaekek, Kabupaten Bandung, juga memilih bertahan di Gedung Sate hingga Selasa malam. Pulang ke rumah tanpa kepastian kenaikan upah hanya akan membuatnya gelisah.
Selasa malam, ia duduk di aspal bersama sejumlah rekannya. Sesekali badannya direbahkan untuk melepas lelah setelah lebih dari enam jam berunjuk rasa. ”Sudah dua hari kehujanan saat demonstrasi. Besok pasti meriang. Kalau upah naik delapan persen, pengorbanan ini terbayar,” ujarnya.
Gaji Wawan sebagai buruh di salah satu pabrik tekstil di Kabupaten Bandung Rp 3,4 juta. Sudah empat tahun ia bekerja di perusahaan itu.
Penghasilan itu digunakan untuk beragam keperluan, seperti cicilan rumah Rp 1,2 juta per bulan dan angsuran sepeda motor Rp 800.000 per bulan. Sementara sisanya Rp 1,4 juta digunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bapak tiga anak itu mengatakan, tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga menjadi lebih berat selama pandemi. Biaya kuota internet untuk belajar dua anaknya mencapai Rp 100.000 per bulan.
”Belum lagi cicil utang smartphone untuk belajar anak sebesar Rp 150.000 per bulan. Jadi, kalau upah tetap, enggak tahu lagi mau menutup pengeluaran dari mana,” ujarnya.
Wawan berharap, Pemerintah Provinsi Jabar menggunakan kalkulasi rasional dalam menetapkan UMK. Salah satu indikatornya, biaya tambahan yang harus dikeluarkan buruh selama pandemi, mulai dari kelengkapan dalam menerapkan protokol kesehatan dan kuota internet untuk belajar anak.
Oleh sebab itu, kenaikan upah sebesar 8 persen dinilai masuk akal. Dengan persentase tersebut, UMK Kabupaten Bandung akan naik sekitar Rp 250.000 per bulan. ”Kenaikan segitu tidak akan membuat pengusaha bangkrut dan buruh menjadi kaya raya. Kami cuma minta naik gaji setahun sekali,” ujarnya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto Ferianto mengatakan, tidak ada alasan UMK 2022 tidak naik. Sebab, sektor ekonomi mulai bangkit dan buruh pantas merasakan dampaknya.
”Ekonomi Indonesia (kuartal II 2021) tumbuh 7,07 persen. Jabar juga tumbuh 6,13 persen. Jadi aneh kalau kenaikan upah buruh sangat rendah, bahkan ada yang tidak naik,” ujarnya.
Roy menuturkan, pemerintah kabupaten/kota di Jabar telah merekomendasikan kenaikan UMK 2022 sebesar 3-18 persen. Namun, rekomendasi itu dikembalikan karena tidak mengacu pada PP No 36/2021. Padahal, UU Cipta Kerja yang menjadi landasan peraturan tersebut telah dinyatakan inskonstitusional bersyarat.
”Betul UU ini masih berlaku. Tetapi, ada syaratnya. Kalau berbicara kebijakan strategis dan berdampak luas, harus ditangguhkan,” katanya.
Dampak luas

Penjual kacang rebus berjalan di depan buruh yang sedang duduk di sela-sela unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021).
Roy tidak keliru. Ujung dari ramai-ramai di Gedung Sate juga dinantikan pedagang di Pasar Cihaurgeulis, Bandung. Di sana, pedagang di pasar tradisional juga resah jika UMK tidak naik. Sebab, penghasilan mereka sangat bergantung pada belanja dari warga kalangan ekonomi menengah ke bawah, termasuk buruh.
Erick (33), pedagang buah di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung, mengatakan, omzet penjualan menurun lebih dari 50 persen di awal pandemi pada Maret hingga September 2020. Omzetnya mulai membaik selama 2021.
”Kalau upah buruh tidak naik, omzet saya terancam turun lagi. Soalnya buah yang menjadi dagangan saya bukan kebutuhan pokok. Jadi, buruh akan memprioritaskan kebutuhan lain,” ujarnya.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menemui massa di depan Gedung Sate, Kamis (8/10/2020). Di hadapan Gedung Sate, berdiri ribuan orang yang terdiri dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat yang menuntut pembatalan RUU Cipta Kerja.
Hingga Kamis (1/12/2021), kabar baik yang ditunggu buruh hingga pedagang pasar tradisional itu ternyata tidak datang. Nasib mereka buram seperti mendung di bulan Desember.
Mimpi Wawan dan Yuyun, misalnya, bertepuk sebelah tangan. Dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/ Kep.732-Kesra/ 2021 Tanggal 30 November 2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2022, upah di Kabupaten Bandung urung naik, tetap Rp 3.241.929,67. Cianjur pun tetap menerapkan Rp 2.699.814,40.
Dalam keputusan itu, UMK Kota Bekasi menjadi yang tertinggi dengan Rp 4.816.921,17. Jumlah itu naik Rp 33.985,53. Sementara UMK terendah berada di Kota Banjar dengan Rp 1.852.099,52 atau naik Rp 20.214,69.
”Terkait putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus memperbaiki peraturan ini dalam dua tahun. Namun, selama itu, seluruh peraturan terkait UU Cipta Kerja dan seluruh turunannya masih tetap berlaku, termasuk PP No 36/2021 yang mendasari perhitungan UMK,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja.
Setiawan menyebutkan, tugas gubernur hanya menetapkan UMK. Gubernur tidak dapat merevisi bahkan mengoreksi rekomendasi yang disampaikan seluruh bupati/wali kota.
Roy Jinto mengatakan, buruh sangat kecewa dengan keputusan Gubernur Jabar Ridwan Kamil. ”Ini sangat menyakitkan bagi buruh Jabar yang telah berjuang berhari-hari demi secuil kenaikan upah,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, mengatakan, penetapan UMK semestinya dilakukan dengan memperhatikan kondisi upah di setiap daerah. Daerah dengan UMK di bawah Rp 2 juta, misalnya, perlu dinaikkan agar tidak terlalu timpang dengan daerah lainnya yang bisa hingga Rp 4 juta per bulan.
”Kebijakan penetapan upah ini seharusnya tidak dipukul rata. Pemerintah daerah harus berani melakukan diskresi. Sebab, masih ada daerah yang UMK-nya relatif kecil,” katanya.
Menurut Acuviarta, meskipun pandemi Covid-19 menghantam dunia usaha, beberapa sektor masih tumbuh, seperti telekomunikasi, produk berbasis ekspor, dan makan-minum. Oleh sebab itu, upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) perlu diberlakukan.
”UMSK ini bisa menjadi jalan tengah karena terdapat sektor industri yang tumbuh bagus. Jadi, tetap ada kenaikan upah, tetapi terbatas,” ujarnya.
Acuviarta menambahkan, ke depan pemerintah pusat perlu melibatkan pemerintah daerah dalam menetapkan UMK. Sebab, kondisi perekonomian antardaerah berbeda sehingga persentase kenaikan upahnya juga tidak selalu sama.
”Pertumbuhan ekonomi setiap daerah itu berbeda. Kebijakan pusat terlalu prematur karena tidak memperhatikan variasi sektor perekonomian di setiap daerah,” ujarnya.
Harapan sebagian buruh untuk bangkit di tahun 2022 pascapandemi yang melelahkan bisa jadi tidak mulus. Tantangannya bakal kian berat menjauhi kemiskinan yang bisa jadi semakin mendekati hidup mereka.
Baca juga: Ribuan Buruh Jawa Barat Berunjuk Rasa Tuntut Kenaikan Upah