Utak-atik Mencari Sisi Seram Setan
Dulu hantu digambarkan tinggal dan berada di tempat-tempat seperti kuburan, pohon besar, atau rumah tua. Namun lewat film para hantu dan setan kini “dipindahkan” dan “dihadirkan” ke dalam mal, apartemen, dan rumah sakit.
Masyarakat urban suka ditakut-takuti lewat cerita horor hantu dan setan. Mereka bahkan rela merogoh kocek untuk ditakut-takuti. Salah satunya lewat film horor. Itu yang membuat hantu bertahan menakuti sekaligus menghibur.
Dengan menonton film horor, misalnya, mereka bisa menikmati sensasi bulu kuduk berdiri. Menonton pertunjukan seram sepertinya bisa menjadi salah satu alternatif hiburan pelepas ketegangan sehari-hari akibat beban pekerjaan.
Mengutip situs www.filmsite.org, dari sejarahnya film horor setan pertama dibuat seorang filmmaker Perancis, Georges Melies. Dalam film bisu berdurasi dua menit, Le Manoir Du Diable atau The House of the Devil (1896), Melies menggambarkan sejumlah hal atau sosok menakutkan. Mulai dari iblis (Mephistopheles), kelelawar jadi-jadian, tengkorak, penyihir, hantu, dan juga salib pengusir setan. Alur ceritanya pun masih terbilang sangat sederhana. Akan tetapi, film itu mampu menangkap dan menampilkan simbol-simbol ikonik menyeramkan seputar sosok hantu, yang tentu saja sesuai versi barat.
Film-film bergenre horor disukai dan terus diproduksi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Tanah Air sendiri film horor pertama yang diproduksi berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934). Cerita di film itu bersumber dari kisah klasik asal Negeri China.
Itu disebutkan Karl Heider dalam buku Indonesian Cinema: National Culture on Screen (University of Hawaii Press, 1994), seperti juga disebut dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2015) oleg Garin Nugroho dan Dyna Herlina S.
Sejak itu, film horor sangat diminati. Sekitar tujuh tahun berselang film horor setan berjudul Tengkorak Hidoep (1941) muncul. Film yang disutradarai Tan Tjoei Hock itu dibuat saat Indonesia masih dijajah Belanda. Sekitar tiga dekade berselang saat Republik Indonesia sudah ada, dua film horor Tanah Air diproduksi dan ditayangkan di waktu relatif berdekatan. Film horor berjudul Lisa dan Beranak Dalam Kubur, keduanya sama-sama bertahun produksi 1971.
Dalam tulisannya di situs archive.tabloidbintang.com, ”Tahukah Anda: Apa Film Horor Indonesia Pertama?”, tanggal 30 Oktober 2011, Ade Irwansyah menyebut film Lisa berkisah tentang seorang ibu tiri jahat (Rahayu Effendi). Sang ibu tiri tega merencanakan pembunuhan terhadap anak tirinya, Lisa (Lenny Marlina), demi menguasai harta suaminya sekaligus ayah Lisa.
Sementara film Beranak Dalam Kubur, berkisah tentang seorang perempuan, yang tewas dibunuh akibat perebutan harta warisan. Dia lalu bangkit dari kubur menjadi hantu demi membalas dendamnya. Film ini sekaligus menjadi debut kemunculan artis film horor legendaris Tanah Air, Suzanna.
Film mereduksi hantu
Peneliti hantu, yang juga psikolog sosial, dan Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Risa Permanadeli, Kamis (4/11/2021), menunjukkan hasil penelitiannya mengategorikan setidaknya empat jenis hantu berdasarkan gagasan tentang keberadaan dan awal kemunculannya. Mereka adalah hantu akibat kematian tak sempurna; makhluk supranatural dari mitologi tertentu; hantu hasil efleksi negatif manusia; dan hantu yang dideskripsikan kitab suci seperti jin, setan, dan iblis.
”Sayangnya walau ada banyak kategori hantu di Nusantara orang kurang mengeksplorasi dan mengelaborasinya terutama dalam film. Masalahnya, untuk bisa melakukan dua hal itu orang perlu pengetahuan. Dia juga harus melihat sejarah, konteks, sastra, dan dunia imajiner. Praktis semua itu tak menarik buat orang bisnis,” tambah Risa.
Akibatnya, kata dia, banyak cerita dalam film hantu yang anomali dan kaotik. Beberapa contohnya seperti ketika banyak bermunculan kisah tentang hantu dengan habitat-habitat baru.
Dahulu hantu digambarkan tinggal dan berada di tempat-tempat seperti kuburan, pohon besar, atau rumah tua. Namun lewat film para hantu dan setan kini ”dipindahkan” dan ”dihadirkan” ke dalam mal, apartemen, rumah sakit, atau situs-situs masyarakat urban lainnya.
Bagi Risa, kekayaan khazanah perhantuan tanah air seharusnya juga bisa memperkaya perfilman Indonesia terutama film bergenre horor. Sejumlah filmmaker sudah mencoba untuk menggarap dengan lebih serius potensi-potensi tersebut. Mereka menghadirkan film horor dengan hantu-hantu berkategori makhluk dari cerita dan mitos macam Lampor, Kuyang, dan Banaspati. Beberapa film dianggap telah digarap dengan lumayan, baik secara teknis maupun jalan ceritanya.
Karakter hantu perempuan
Untuk hantu-hantu kategori pertama diakui kebanyakan didominasi karakter perempuan. Mulai dari kuntilanak, sundel bolong, sampai Si Manis Jembatan Ancol. Ada kesan hal itu merendahkan posisi perempuan lantaran dianggap baru punya kekuatan setelah mati lalu menjadi hantu.
Bagi Risa, dalam industri perfilman seperti sekarang siapa saja bisa menjadi hantu asalkan kematiannya tak sempurna. Balas dendam yang dilakukan pun, menurut dia, lebih terkait konteks upaya untuk mengembalikan atau memperbaiki kematian, yang sebelumnya dianggap tak sempurna. ”Dalam kultur kita ketika seseorang mati dengan sempurna maka dia akan menjadi dan diingat sebagai leluhur oleh para keturunannya,” ujar Risa.
Dua sutradara muda yang dikenal lewat karya-karya film horor terbaik mereka, Joko Anwar dan Timo Tjahjanto. Kemunculan hantu, yang didominasi karakter hantu perempuan menurut Joko Anwar dan Timo Tjahjanto kerap diperdebatkan lantaran hal itu sering disebut menjadi bentuk delegitimasi terhadap perempuan itu sendiri. Joko menyebut sosok perempuan biasa diidentikkan dengan sisi kelembutan dan keibuan. Namun, jika mereka disakiti, kondisinya bisa jadi lebih mengancam. Namun, begitu Joko pun juga mulai variatif dan selalu memberi ruang yang besar bagi perempuan dalam film-film garapannya.
Dari sisi lain, sosok protagonis dalam film, yang berjuang dalam kisahnya pun selalu berfokus pada sosok karakter perempuan. Sosok yang menunjukkan keberdayaannya. Secara terpisah, Timo mengakui perspektif sudut pandang laki-laki dalam hal itu perlu untuk dirombak. ”Hal ini memang problematis. Dari male-gazed, ya ngeliatnya, laki-laki ngeliat perempuan itu kalau udah marah nyeremin. Ini pandangan yang sangat juvenile sebenarnya. Makanya gue mikir di (film) Sebelum Iblis Menjemput 2, gue enggak mau lagi perempuan. Gue pengen memutus rantai itu,” ungkap Timo.
Bisa jadi besar
Dalam jumpa pers daring oleh HBO Asia jelang peluncuran musim kedua serial horor Folklore, sang sutradara asal Singapura penggagas Eric Khoo, Rabu (27/10/2021), yakin ada banyak hal masih bisa diangkat dari banyak cerita hantu di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Khoo memuji film Pengabdi Setan atau Satan’s Slave, yang disutradarai Joko Anwar. Film itu dinilainya sukses dan bisa diterima di banyak negara tanpa perlu terlebih dahulu diubah atau diadaptasikan ke dalam versi barat, seperti dilakukan di trilogi hantu Jepang, The Ring.
Kesuksesan Joko terlihat dari jumlah penonton Tanah Air, yang mencapai sedikitnya 4,2 juta orang. Sementara di luar negeri film hasil remake tersebut juga sudah diputar di setidaknya 42 negara.
Kisah-kisah horor, hantu, dan setan di kawasan Asia, baik Asia Timur maupun Asia Tenggara, menurut Khoo, sangat kuat mengakar. Itu cukup menjadi modal untuk cerita film Asia menjadi besar di tingkat internasional. Selain itu, penonton di Asia sangat potensial lantaran kesamaan budaya. Sebab, mereka adalah masyarakat yang memercayai hal-hal berbau supranatural dan mistis. Khoo mencontohkan tradisi dukun pengusir hantu, yang juga terdapat tak hanya di negara-negara kawasan Asia Tenggara, tetapi juga di Korea Selatan dan dalam tradisi Shinto di Jepang.
”Walau trilogi film horor Jepang The Ring sukses setelah digarap ulang oleh Hollywood, menurut saya (sebagai orang Asia) cerita versi aslinya di film pertama justru jauh lebih menyeramkan. Buat saya, film paling seram tentang pengusiran hantu bukanlah The Omen, tapi film, entah produksi Thailand atau Kamboja, yang saya tonton saat kecil. Di film itu ada karakter hantu perempuan berambut ular,” ujar Khoo. (DWA/IAN/BSW/NAW)