Peluang Kewirausahaan Sektor Perikanan Masih Terbuka Luas
Kewirausahaan baru di sektor perikanan perlu berbasis riset dan membaca minat pasar. Peluang masih terbuka luas.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Pengunjung Sentra Ikan Bulak memilih makanan olahan ikan di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (21/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Peluang kewirausahaan sektor perikanan masih terbuka luas. Sumber daya ikan merupakan solusi mengatasi masalah kurang gizi dan protein di Indonesia. Tren pasar kian menghendaki produk perikanan olahan yang praktis.
Founder Berikan Protein Initiative, Yogie Arry, mengemukakan, Indonesia masih menghadapi masalah malnutrisi yang berdampak pada penurunan produktivitas manusia. Sejumlah satu dari tiga anak Indonesia mengidap tengkes, serta 10,2 persen anak balita tergolong kurus dan sangat kurus. Sementara itu, sejumlah satu dari tiga orang dewasa memiliki status obesitas atau kegemukan.
Kerugian yang ditimbulkan akibat malnutrisi di Indonesia ditaksir mencapai 5 miliar dollar AS per tahun atau 2-3 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Malnutrisi tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit. Pada tahun 2020, indeks pembangunan manusia tercatat hanya di peringkat ke-107 dari 189 negara.
”(Malnutrisi) ini sangat menyedihkan karena kita kehilangan produktivitas dari anak-anak atau orang muda yang seharusnya bisa mengangkat PDB. Kondisi ini menghambat pembangunan manusia Indonesia dan menimbulkan kemiskinan terstruktur,” ujar Yogie dalam Kick-Off Event & Executive Keynotes ”Berikan Wirausaha Muda Indonesia”, Selasa (2/11/2021).
Ia mengingatkan, sebagian pemenuhan sumber protein hewani masih bergantung produk impor. Dari data Kementerian Perdagangan, impor susu sapi sekitar 87 persen, daging sapi 32 persen, dan impor kedelai 86,4 persen dari total kebutuhan. Padahal, Indonesia sebagai negara bahari memiliki potensi perikanan lestari sebagai sumber protein.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Rajungan hasil melaut di muara Kali Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (7/10/2021).
Akan tetapi, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih sangat rendah. Tahun 2018, konsumsi ikan sekitar 50,49 kilogram per kapita, atau tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 70 kilogram per kapita, Singapura 80 kg per kapita, dan Jepang 100 kg per kapita. ”Solusi pemenuhan protein harus berkaca pada keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa ini, antara lain sumber daya ikan,” katanya.
Yogie menambahkan, upaya meningkatkan konsumsi ikan nasional perlu melihat tren minat dan perilaku pasar. Dari riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018, sebanyak 58 persen responden tidak suka makan ikan karena berduri dan amis. Sementara itu, data Proteinmeter memperlihatkan, hanya 3 persen dari 15.000 responden yang suka mengonsumsi ikan.
Muncul tren, konsumen semakin mencari produk olahan yang instan dan praktis. Produk daging irisan (filet) atau olahan ikan yang praktis semakin banyak dipilih. ”Perilaku konsumen bergeser, yakni mencari (produk) yang instan dan mudah diaplikasikan. Masyarakat ingin mendapat manfaat dari konsumsi ikan, tetapi enggak mau ribet. Ini peluang bagi pengembangan kewirausahaan untuk menghadirkan produk-produk berkualitas,” katanya.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Artati Widiarti mengemukakan, Indonesia dengan 17.504 pulau memiliki keragaman hayati laut terbesar di dunia. Potensi penangkapan ikan lestari mencapai 12,54 juta ton per tahun. Saat ini, kontribusi perikanan laut untuk PDB Indonesia sekitar 27 miliar dollar AS.
Komoditas perikanan dinilai bisa dikembangkan dalam beragam skala usaha, mulai dari usaha kecil sampai industri skala besar. Dari data KKP, jumlah usaha pengolahan ikan kategori mikro-kecil pada tahun 2018 sebanyak 60.429 unit atau 98,3 persen, dan 1.005 unit (1,64 persen) tergolong skala medium-besar. Sementara jumlah koperasi aktif di sektor perikanan sebanyak 2.046 atau 1,34 persen dari total koperasi di Indonesia.
Namun, diperlukan gerakan nasional untuk menjadikan ikan sebagai sumber kecukupan gizi dan protein masyarakat, serta menekan impor protein hewani.
”Ikan merupakan sumber pangan istimewa dengan kandungan gizi sangat lengkap. Kandungan omega 3 paling tinggi jika dibandingkan dengan sumber protein hewan lainnya. Dengan konsumsi ikan secara optimal, sekitar 50 persen kebutuhan protein hewani masyarakat bisa terpenuhi dan membuka 45 juta lapangan kerja,” tuturnya.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ikan tembang setelah dibuang kepalanya dijemur nelayan di bibir pantai menjadi ikan asin.
Seluruh komponen ikan bisa dimanfaatkan dan diolah untuk pangan, kesehatan dan kecantikan, tanpa menghasilkan limbah (zero waste). Diversifikasi produk perlu terus dilakukan melalui kerja sama riset dan mitra bisnis.Tantangan yang muncul, komoditas ikan mudah rusak sehingga membutuhkan penanganan mutu yang cepat, benar, dan cermat sejak proses hulu hingga hilir.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Supriadi mengemukakan, wirausaha baru dan diversifikasi produk perikanan perlu terus dikembangkan melalui produk olahan kekinian yang digemari, seperti bakso ikan, tempura, dan siomai. Persoalan yang muncul adalah permasalahan distribusi.
Saat ini, produksi perikanan tangkap didominasi di wilayah timur Indonesia, sedangkan pasar konsumsi didominasi di wilayah barat, yakni Jawa dan Sumatera. Untuk menjaga mutu ikan yang mudah busuk, pengolahan ikan harus dilakukan di daerah sentra produksi dan baru didistribusikan ke daerah pemasaran di Jawa. Di sisi lain, sumber bahan baku tidak hanya mengandalkan ikan hasil tangkapan laut, tetapi juga ikan hasil budidaya di perairan darat.
”Pengembangan wirausaha baru untuk pengolahan ikan atau diversifikasi ikan, pemasaran, dan distribusi perlu berbasis teknologi 4.0,” katanya.
Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Amalyos Chan, mengemukakan, kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional masih kecil. Padahal, di masa pandemi, sektor perikanan termasuk tumbuh jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang mengalami pertumbuhan negatif.
Konektivitas menjadi masalah karena sumber daya perikanan tangkap terkonsentrasi di wilayah timur, sedangkan industri pengolahan di wilayah barat. ”Transportasi dan infrastruktur perlu didorong menjadi priorotas nasional untuk mendorong perekonomian di sektor kemaritiman,” katanya. (LKT)