Pajak Karbon Bisa Pengaruhi Biaya Pokok Penyediaan Listrik
Penerapan pajak karbon berpotensi mengerek biaya pokok penyediaan listrik yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pajak karbon berpotensi mengerek biaya pokok penyediaan listrik yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap. Belum dapat dipastikan apakah potensi kenaikan biaya pokok tersebut akan berimbas pada terkereknya tarif dasar listrik.
Agenda pengenaan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Untuk tahap awal, mulai 1 April 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi.
Tarif sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.
Saat dihubungi Kompas, Rabu (13/10/2021), Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Bob Saril mengungkapkan, penerapan pajak karbon berpotensi punya implikasi terhadap kenaikan biaya pokok penyediaan listrik.
”Saat ini yang jelas, PLN berupaya untuk beroperasi lebih efisien serta lebih ramah lingkungan. Langkah tersebut diambil demi mengurangi emisi karbon dari pembangkit,” ujarnya.
Berdasarkan peraturan dalam UU HPP, pajak karbon nantinya akan dibebankan kepada produsen listrik. Dalam hal ini, produsen listrik yang dimaksud adalah PLN ataupun perusahaan pembangkit listrik independen (IPP). Jika biaya produksi naik, IPP juga akan membebankan kepada pihak pembeli listrik, yakni PLN, sehingga biaya yang harus dikeluarkan PLN menjadi lebih besar.
Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam APBN 2021, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik dalam penghitungan subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp 355,58 triliun atau rata-rata Rp 1.334,4 per kilowatt jam (kWh). Dari BPP tersebut, porsi bahan bakar memiliki komposisi terbesar, yakni mencapai Rp 257,04 triliun atau 72 persen.
Bob memastikan PLN akan mendukung seluruh kebijakan pemerintah, termasuk terkait pengenaan pajak karbon mulai 2022. Namun, ia belum dapat memastikan apakah beban kenaikan BPP akan ditanggung PLN, ditanggung pemerintah dalam bentuk subsidi, atau dibebankan kepada pelanggan lewat penyesuaian tarif dasar listrik.
”Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP. Dengan skema tarif saat ini, tentu saja akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi. Namun, sekarang belum ada obrolan dari pemerintah terkait subsidi,” ujarnya.
Efisiensi penggunaan batubara di PLTU terus dilakukan PLN dengan mengombinasikan bahan bakar menggunakan biomassa. Bob mengatakan, selama ini PLTU dioperasikan dengan efisien dan ramah lingkungan.
Upaya PLN dalam menekan emisi karbon, lanjutnya, dilakukan melalui program pemacu energi hijau (green energy booster) dengan membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan hingga konversi pembangkit listrik tenaga diesel menjadi energi berbasis energi baru terbarukan.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai seharusnya upaya pemerintah dalam mengurangi emisi karbon tidak kontraproduktif dengan upaya pemerintah memberikan tarif listrik terjangkau bagi seluruh masyarakat.
”Bagaimanapun, energi listrik adalah infrastruktur dasar yang wajib disediakan oleh negara, dengan mutu dan keandalan yang baik, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat konsumen,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu belum dapat memastikan kebijakan yang akan diambil untuk mengantisipasi potensi kenaikan biaya pokok penyediaan listrik akibat penerapan pajak karbon tahun depan. Namun, ia menegaskan, penerapan pajak karbon sejalan dengan komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon.
”Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030,” katanya.
Dalam rangka mencapai target tersebut, lanjut Febrio, agenda reformasi dalam kebijakan fiskal untuk mempercepat investasi hijau telah dimulai secara intensif. Pemerintah telah memberikan insentif fiskal untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan.
”Dalam lima tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN,” kata Febrio.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, tujuan utama pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
”Pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target pengurangan emisi karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi,” ujar Sri Mulyani.