Butuh Kesiapan Hulu-Hilir untuk Pacu Ekspor Udang
Ambisi menggenjot produksi dan ekspor udang hingga 250 persen sampai tahun 2024 memerlukan kesiapan dari sisi hulu-hilir. Pasar udang masih terbuka luas.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menargetkan nilai ekspor udang mencapai 4,2 miliar dollar AS atau naik 250 persen dalam lima tahun hingga 2024. Upaya menggenjot ekspor itu membutuhkan kesiapan di sisi hulu dan hilir.
Target peningkatan ekspor udang akan dikejar, antara lain, dengan menggenjot produksi dan meningkatkan nilai tambah produk. Produksi udang ditingkatkan hingga 2 juta ton, antara lain dengan pembukaan kluster udang atau shrimp estate. Volume ekspor udang diproyeksikan naik rata-rata 15,8 persen per tahun, sedangkan nilai ekspor tumbuh 20 persen per tahun.
Founder PT Prima Akuakultur Lestari, Agus Somamihardja, mengemukakan, upaya menggenjot produksi perlu ditopang mulai dari kesiapan sarana produksi, seperti benur (benih udang), hingga sistem logistik benur. Sebagian besar pembenihan udang berada di Jawa sehingga benur harus dikirim ke luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi.
Untuk meningkatkan produksi udang hingga 2024, kebutuhan induk diproyeksikan sebanyak 421.920 pasang induk. Kapasitas pembenihan udang saat ini hanya 40-45 miliar benur per tahun, sedangkan kebutuhan benur mencapai 65 miliar benur per tahun. Fasilitas pembenihan masih sangat terbatas dan sebagian besar sarana pembenihan udang vaname saat ini merupakan eks pembenihan udang windu sehingga hasilnya kurang efektif.
”Produksi benur masih perlu ditingkatkan. Pemerintah harus memperhatikan fasilitas pembenihan karena perannya sangat penting dalam peningkatan produksi. Perlu redesain fasilitas pembenihan udang vaname agar efektif dan efisien,” katanya dalam Webinar ”Optimalisasi Peran Industri, Asosiasi, LSM dan Masyarakat dalam Peningkatan Produksi Udang dan Restorasi Lingkungan Budidaya”, yang diselenggarakan IPB University, Selasa (12/10/2021).
Ketua Umum Forum Udang Indonesia Budhi Wibowo mengemukakan, peningkatan produksi udang memerlukan dukungan pemerintah, mulai dari aspek kemudahan perizinan, hingga pengembangan infrastruktur budidaya, seperti irigasi, listrik, jalan produksi, dan laboratorium. Selain itu, program percontohan tambak udang yang digagas pemerintah harus bisa diadopsi oleh petambak rakyat.
Baca juga : Mengejar Mimpi Produksi
Lahan budidaya udang saat ini didominasi oleh tambak tradisional. Pengembangan kapasitas perlu diutamakan untuk tambak tradisional agar menjadi tambak tradisional plus atau semi-intensif karena melibatkan masyarakat, menggerakkan ekonomi perdesaan, dan meningkatkan produksi secara nasional.
”Program peningkatan produksi udang nasional seharusnya bisa selaras dengan program restorasi mangrove jika fokus pada peningkatan tambak tradisional menjadi tradisional plus. Kami berharap pemerintah tidak membuat tambak percontohan dengan teknologi-teknologi yang amat mahal karena akan percuma, tidak bisa dicontoh masyarakat banyak,” kata Budhi.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tambak tradisional berkisar 247.000 hektar dari total luas tambak sekitar 300.000 hektar. Produktivitas tambak tradisional berkisar 0,4-0,6 ton per hektar per tahun.
Di sisi hilir, industri pengolahan perlu terus berinovasi untuk mendorong nilai tambah produk dan memperluas pasar ekspor. Unit pengolahan ikan yang mampu bertahan pada masa pandemi ialah yang mampu beralih menggarap pasar ritel dengan produk bernilai tambah.
Tahun 2020, nilai ekspor udang sebesar 2,04 miliar dollar AS dengan volume 239.282 ton. Adapun volume ekspor udang olahan sebesar 68.768 ton atau tumbuh 32 persen secara tahunan, dengan nilai ekspor 583,41 juta dollar AS atau tumbuh 40 persen. Indonesia menempati eksportir terbesar udang tepung roti (breaded shrimp) ke AS, atau meningkat dari tahun 2019 di peringkat ke-4.
”Tantangannya adalah (industri pengolahan) menghasilkan produk olahan yang siap masak dan siap makan. Masih banyak varian olahan yang belum bisa dibuat, maka eksportir harus terus meningkatkan kemampuan untuk mengekspor produk bernilai tambah,” kata Budhi.
Dari data Shrimp Market: Global Industry Analisis (2021-2016) and Opportunity Assessment (2017-2027), nilai pasar udang sekitar 40 miliar dollar AS pada 2017 dan akan menjadi 67,5 miliar dollar AS pada 2027. Adapun kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap pasar dunia baru 1,7 miliar dollar AS atau 4,3 persen. Selama ini, ekspor udang masih mengandalkan pasar AS, yakni 70 persen, Jepang 15,96 persen, dan kawasan ASEAN 1,23 persen.
Beberapa pasar potensial, antara lain, adalah China, Jepang, Rusia, Uni Eropa, dan Korea Selatan. Peningkatan ekspor udang perlu ditopang kenaikan produksi. ”Industri udang (harus) tumbuh hulu-hilir. Produksi udang naik dulu sehingga harga bahan baku normal dan bisa bersaing dengan negara produsen lain, maka daya saing ekspor naik dan pangsa pasar bertambah,” katanya.
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri mengemukakan, peluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari tambak udang masih sangat besar. Potensi luas tambak di Indonesia 2,96 juta hektar pada 2018. Peningkatan produksi tambak dilakukan dengan 70 persen revitalisasi, sedangkan 30 persen pembukaan tambak baru yang sebagian besar di luar kawasan mangrove. Intensitas pembangunan tambak udang diharapkan tidak melampaui daya dukung lingkungan.
Baca Juga : Produksi Udang Perlu Ditopang Daya Dukung Lingkungan
Konservasi
Blue Production Policy, Science, and Program Manager Conservation International Indonesia Ateng Supriatna mengemukakan, target menambah produksi udang sebanyak 1,2 juta ton hingga tahun 2024 akan menghadapi tantangan. Sebab, ini berlangsung di tengah dorongan pemerintah untuk restorasi hutan bakau sebesar 600.000 hektar sampai tahun 2024.
Menurut Ateng, sudah terbukti banyak lahan mangrove yang dialihfungsikan untuk budidaya udang di beberapa wilayah. Kegiatan restorasi bakau dan budidaya dinilai harus berjalan beriringan sehingga produksi udang bisa berkelanjutan. Adapun tujuan restorasi mangrove itu, antara lain, ialah guna mengantisipasi dampak perubahan iklim.
”Produksi udang ini menjadi tantangan, masih banyak sekali kontradiksi. Kegiatan usaha budidaya ini merupakan penyumbang dari kegiatan deforestasi lahan-lahan mangrove di Indonesia,” katanya.
Ateng menambahkan, intensifikasi tambak udang untuk peningkatan produktivitas memberikan dampak terhadap ekosistem bakau. Sebaliknya, tantangan merestorasi bakau sangat sulit karena restorasi butuh biaya mahal dan investasi sangat lama karena daya tumbuh mangrove lamban.
Pihaknya saat ini tengah menginisiasi revitalisasi tambak dengan revolusi hijau, yakni menghijaukan kembali tambak-tambak agar tidak ada lagi usaha budidaya sebagai penyumbang deforestasi, di samping peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambak. Rekayasa itu, antara lain, dilakukan di pantura Jawa.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB University Anas M Fauzi mengemukakan, budidaya udang yang berkelanjutan perlu memperhatikan tiga pilar, yakni aspek ekonomi, ekologi, dan manfaat besar bagi masyarakat. ”Peningkatan produksi udang, terutama udang yang dibudidayakan intensif, perlu memerhatikan aspek lingkungan,” katanya.