Sobekan karung pada lukisan Antonius Kho menguarkan keartistikan. Seniman asal Klaten itu juga mengaplikasikan benang goni untuk tekstur garisnya. Ia amat terpukau dengan tekstur, warna, bahkan aroma kain kasar tersebut.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Antonius Kho (63) menggelar pameran luring perdananya saat pandemi Covid-19 bertajuk ”Spreading Love” di JHub Art Space, Jimbaran, Bali. Ia mengantarkan pesan untuk menyalakan empati dan semangat dengan media bersahaja, tetapi solid lewat rupa-rupa kubisme.
Begitu memasuki pameran, ”Spreading Love 9 (Mother & Child)” langsung menyambut pengunjung. Lewat pengamatan virtual, Rabu (6/10/2021), lukisan itu tampak tergantung di sebelah kanan pintu JHub Art Space. Aura lukisan segera menautkan tema yang diusung Antonius.
Ia memang berkarya dengan interpretatif, tetapi lukisan paling besar dalam pameran itu mengguratkan simbol-simbol yang lebih terang. Sesosok perempuan tengah berbaring dapat diterjemahkan dari anatominya. Kanvas dengan panjang dan lebar 1 meter dilabur biru dan krem yang teduh.
Beralih ke dinding selanjutnya, giliran seri ”Corona Boy” yang menyongsong tamu. Bocah-bocah dengan wajah menyamping ditorehkan dengan potongan goni bermediakan empat kanvas. Sobekan-sobekan karung justru menguarkan keartistikan dengan cokelat yang khas dan sangat kuat. Antonius juga mengaplikasikan benang goni untuk teksur garisnya. Ia menggoreskan pelbagai warna pastel yang lebih meriah meski kemuraman masih menyembul samar-samar.
Beberapa kreasi itu saja sudah mengekspresikan sensitivitas terhadap kesuraman kontekstual dalam maujud yang likuid. Tak sekadar kegamangan Tanah Air yang dijumput, tetapi juga dunia. Sesuai temanya, ”Spreading Love”, ia hendak menebarkan kasih sayang untuk melipur duka yang dipicu pandemi. Ikhtiar Antonius tak urung mencuatkan persepsi tentang cinta dalam sepotong goni. Mengingatkan akan film Garin Nugroho sekitar tiga dasawarsa lalu, Cinta dalam Sepotong Roti.
Pada lukisan-lukisan lain tampak garis hitam yang sekilas minor, tetapi sebenarnya membubuhkan aksen tegas. Indikasi paling jelas tertera lewat seri ”Spreading Love”, di mana jalinan rambut yang kusut masai menebarkan welas asih lewat helai-helainya.
Ia dikenal sensitif dengan penaung kepala itu dan terpukau karena kehalusannya. Rambut biasa dibuang setelah terlalu panjang, lantas tak bernilai. Namun, Antonius begitu mengaguminya. Bukan sekadar mahkota, pendiri Galeri Wina di Ubud, Bali, tersebut menganggapnya simbol-simbol tertentu yang mempunyai kekuatan sensorik.
Layaknya untaian-untaian legam yang terurai, ia pun mengangkat mimik untuk memvisualisasikan kreativitas. Tampang-tampang semringah, menangis, tertawa, dan membisu mengejawantah dari kesejarahan Antonius yang menggandrungi topeng.
Tercabik-cabik
Peraih Gold Masks, penghargaan tertinggi Art Addiction Annual di Venesia, Italia, lewat kriyanya, ”Mask in Venice”, pada tahun 1998 itu telah berkali-kali melanglang buana. Ia memboyong karya-karyanya antara lain ke Perancis, Jerman, dan Belanda.
Tempaan seni yang berbeda bersenyawa dalam lukisan-lukisan Antonius. Koyakan kain merepresentasikan insan yang tercabik-cabik. Fisik dan jiwa. Lara yang mewabah seiring berjangkitnya Covid-19 membutuhkan kepedulian untuk penawarnya.
Karya-karya lain turut menganyam personifikasi serupa, misalnya ”Corona Girl”, ”We Want to Be Free”, dan ”Love”. Mozaik yang dirangkai Antonius lewat ”We Want to Be Free” paling menyita pandangan di antara 22 lukisannya yang ditampilkan di JHub Art Space.
Mulut-mulut terbungkam lantaran dibekap sontak menerbitkan imaji tentang masker yang telah mengakrabi olfaktori publik selama sekitar 1,5 tahun. Gabungan sembilan muka yang terekspos hanya menyisakan belasan mata dengan pandangan kosong dan nanar.
Antonius menyusun kanvas-kanvas kecil dengan dominasi hijau yang dipisahkan rongga. Ia menyuguhkan wajah-wajah androgini yang spontan memaparkan terpaan kecemasan tanpa memandang jender. Lebih jauh, wabah tentu bisa menjangkiti tua dan muda.
Khusus ”Love”, patung itu merupakan rupa tiga dimensi satu-satunya yang dipajang. Lagi-lagi, Antonius mengusung cipta karya yang tak rigid. Sepasang figur kayu berpostur gempal yang berpelukan ditunjukkan dengan jemari dan tangan saling melingkar.
Ikhtisarnya, ”Spreading Love” mengajukan elemen-elemen semiotik lewat sandang yang simpel, tetapi berani. Acap kali, carikan-carikan yang berpilin diletakkan laiknya basis untuk disemarakkan aneka cat. Bahan kasar berpadu sapuan-sapuan akrilik dapat dimaklumi dengan latar belakang Antonius. Ia kerap terinspirasi alam, berikut asal-usulnya dari pedesaan yang asri di Klaten, Jawa Tengah.
Seperti biasa, Antonius juga meleburkan keeksotikan Timur dengan Barat. Setelah dibimbing pelukis legendaris asal Bandung, Jawa Barat, Barli, ia mengenyam pendidikan di Academy of Fine Art, Fachhochschule Cologne, Jerman, jurusan melukis dengan kaca dan seni tekstil pada tahun 1985-1991.
Eksposisi kali ini dimeriahkan kolase publikasi media cetak tentang sang perupa. Kliping yang menguraikan jalan hidup Antonius itu tak rata dengan sobekan-sobekan di pinggirnya sehingga justru terkesan berseni. ”Spreading Love” berlangsung hingga 16 Oktober 2021.
Menyebarkan optimisme
Antonius menyelenggarakan pameran nondaring karena sejak pandemi merebak, banyak peminat seni yang ingin melihat langsung karya-karyanya. ”Tujuan ’Spreading Love’ menyebarkan optimisme saat pandemi. Banyak orang takut dan panik. Imunitas pun turun,” ucapnya.
Antonius hendak menyulut semangat agar masyarakat tak cemas dengan menggambarkan afeksi lewat berbagai figur. Rambut dinilai media yang amat penting. ”Kalau nyawa tercerabut dari tubuh, bagian terakhir lepasnya dari rambut. Itu indera keenam. Ujung saraf spesifik sebagai pelindung,” ujarnya.
Antonius mengungkapkan pula kesehariannya yang lucu soal rambut. Jika sudah gondrong, ia mengaku tak suka mengunjungi barber. ”Saya potong rambut sendiri di depan kaca. Kalau berantakan, kadang-kadang istri yang merapikan,” katanya sambil tersenyum.
Ia juga memilih goni yang begitu memikatnya. Tekstur yang kasar, warna natural, bahkan aroma pintalan serat tersebut demikian membekas dalam benak Antonius. ”Orangtua saya jualan beras, teh, dan tembakau. Saya sering main karung. Lewat goni, saya menonjolkan unsur tiga dimensi,” katanya.
Sentuhan Antonius merupakan perpaduan seni dan kultur Nusantara. Ia senantiasa mengambil tema manusia, baik masa lampau maupun saat ini, dengan menerapkan beragam teknik melukis. ”Subyeknya kebanyakan mosaik kehidupan dan orang-orang sekitar saya. Seperti perputaran hidup, saya bekerja dengan fase yang bermacam-macam,” katanya.
Marketing JHub Art, Space Rianti Sukma, mengundang dan mengajak masyarakat untuk tetap optimistis dengan merayakan seni yang kekinian. ”Kami mencari karya modern karena pandemi masih terjadi. Yuk, jangan stres. Kami ingin ikut menyemangati sesama,” ucapnya.