Kasus rumah bermasalah terus berulang dan merugikan beragam kalangan konsumen. Ini menjadi tanda adanya mekanisme pengawasan yang masih lemah.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Minimnya mekanisme pengawasan membuat kasus rumah bermasalah terus ada dan merugikan para konsumen. Padahal, amanat regulasi secara rinci telah mengatur wewenang dan kewajiban pengawasan, terutama di pihak pemerintah daerah sebagai penerbit perizinan.
Penelusuran Kompas selama September 2021 menemukan, sejumlah kasus rumah bermasalah terjadi di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekitar ratusan konsumen menjadi korban wanprestasi dengan kerugian berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Sejumlah rumah komersial yang dijanjikan akan serah terima pada 2019 dan 2020 justru tidak terbangun hingga kini. Setelah ditelusuri, pengembang ternyata belum memenuhi syarat legalitas meski sudah memasarkan unit.
Konsumen terjebak dalam kegamangan karena pembangunan rumah yang diinginkan mangkrak, tetapi juga tidak bisa meminta uang kembali. Upaya advokasi perdata pun akhirnya mandek tanpa progres apa-apa.
Situasi semacam itu dialami Sarjono (39), seorang konsumen perumahan Villa Puncak Ciomas, Bogor. Rumah yang dia beli pada 2017 itu tidak kunjung rampung meski pembangunan dijanjikan selesai pada Desember 2019. Dia hanya mendengar dari konsumen lain bahwa ada masalah kepemilikan lahan di perumahan itu. Upaya advokasi konsumen melalui lembaga bantuan hukum di sana juga stagnan. “Kalau memang rumahnya enggak bisa lanjut, saya cuma berharap uangnya bisa kembali,” kata Sarjono, pertengahan September lalu.
Villa Puncak Ciomas kini telah berubah nama menjadi Grand Delima Ciomas. Pengelolanya pun ikut berganti dari PT Mahakarya Almeera Mughnii Development menjadi PT Delima Prima Propertindo.
“Kalau memang rumahnya enggak bisa lanjut, saya cuma berharap uangnya bisa kembali,”
Eks General Manager PT Mahakarya Almeera Mughnii Development, Martinus mengakui jika manajemen sebelumnya salah mengelola keuangan sehingga berujung pada wanprestasi. Proyek ini kemudian dikelola oleh PT Delima Prima Propertindo. Dia menjanjikan konsumen akan menerima pengembalian uang jika seluruh unit rumah baru sudah terjual.
Pengawasan
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda memandang, ada pengawasan yang tidak berjalan sehingga kasus wanprestasi perumahan terus berulang. Kalau sudah ada pengawasan tapi masih bermasalah, patut dicurigai ada mekanisme yang tidak berjalan.
"Tindakan (pengawasan) itu preventif. Jadi itu harus ditekankan juga sehingga tidak hanya menyalahkan konsumen saat terjadi wanprestasi perumahan," ujarnya.
Menurut Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja, pembangunan perumahan komersial saat ini cenderung nirkontrol, tidak seperti terhadap rumah subsidi. Celah pada akhirnya bisa dimanfaatkan oleh penipu bermodus menjual rumah komersial murah dengan harga setara rumah subsidi.
Masyarakat mesti mencurigai penjualan rumah komersial semacam itu karena hampir mustahil pengembangnya bisa meraup keuntungan. Di harga berapa pun, rumah komersial pasti dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan pajak penghasilan (PPn) 5 persen.
Adapun harga rumah subsidi di kawasan Jabodetabek dipatok maksimal Rp 168 juta, dan hanya dikenakan PPh 1 persen. “Kalau dia jual Rp 200 juta (sebagai rumah komersial) ini sudah enggak masuk akal,” ujar Endang.
Ada kemungkinan pengembang rumah komersial murah tidak mendaftar sebagai pengembang rumah subsidi program pemerintah guna menghindari masuk ke sistem registrasi pengembang (Sireng) dari Kementerian PUPR. Padahal, pengembang yang ingin menggarap rumah subsidi wajib terdaftar di Sireng sehingga aktivitasnya terpantau pemerintah.
Pemda
Peraturan Pemerintah 12/2021 tentang Perubahan atas PP 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman mengamanatkan perizinan dan pengawasan pemerintah daerah terhadap proyek perumahan komersial.
Pasal 22C Ayat 8 peraturan itu merinci, Pemda, khususnya perangkat daerah yang membidangi perumahan dan kawasan permukiman, bertugas mengawasi kpeatuhan pengembang terhadap syarat-syarat untuk bisa memasarkan perumahan. Syarat tersebut antara lain, pelaku pembangunan minimal harus memiliki kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah, perizinan pembangunan perumahan atau rumah susun, dan jaminan atas pembangunan dari lembaga penjamin.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor Ajat Rochmat Jatnika menyampaikan, terdapat unit pelaksana teknis (UPT) yang turun ke lapangan mengawasi pembangunan perumahan. Namun, tenaga teknis untuk pengawasan itu terbatas.
Permasalahan lain adalah kanal aduan masalah perumahan yang berada di dinas komunikasi dan informasi. Ajat menyebut selama ini belum pernah menerima laporan masyarakat secara langsung lewat kanal aduan. “Saya belum melihat memang dari kanal pengaduan yang terus langsung dieksekusi. Jadi, itu yang akan saya perbaiki,” ungkapnya.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur menyatakan, sosialisasi masih menjadi tugas besar agar masyarakat paham akan hak dalam membeli rumah. Sosialisasi itu mestinya berjalan secara berjenjang mulai dari provinsi ke tingkat kabupaten atau kota, lalu turun ke masyarakat.
"Jadi jenjang itu enggak cukup berjalan untuk sekarang ini, masih belum. itu PR kami, jadi kita berusaha, upayanya lebih besar," jelas Fitrah.