Polemik Pengampunan Pajak Jilid Dua
Kebijakan amnesti pajak jilid dua merupakan pilihan yang masuk akal, seirama dengan teori ”economic analysis of law”, yaitu maksimalisasi, keseimbangan, dan efisiensi. Ini jalan keluar yang menguntungkan semua pihak.

Didie SW
Gaung pengampunan pajak (tax amnesty) jilid dua terus mengemuka dan semakin santer diperdebatkan. Pengampunan pajak jilid dua menjadi menarik dalam perbincangan di media sosial ataupun di seminar-seminar ekonomi dan perpajakan saat ini. Pengampunan pajak jilid dua juga menjadi pokok pembicaraan para wajib pajak.
Pengampunan pajak secara umum diartikan sebagai penghapusan pokok pajak, sanksi administrasi, dan pidana pajak atas ketidakpatuhan pembayaran pajak pada masa lalu.
Biasanya pelaksanaan program pengampunan pajak dalam kurun waktu dua bulan sampai dengan satu tahun. Jika berkaca pada pengampunan pajak jilid satu, kurun waktunya mencapai sembilan bulan.
Sejarah pengampunan pajak di Indonesia mencatat, pengampunan pajak sudah beberapa kali dilakukan dengan berbagai istilah, seperti pemutihan pajak, pengampunan pajak dan sunset policy, pengampunan pajak jilid satu.
Sejauh ini, pengampunan pajak telah berlangsung empat kali, yakni tahun 1964, 1984, 2008, dan 2016.
Rencana pengampunan pajak jilid dua telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (19/3/2021). Ia menyebut program amnesti pajak jilid dua ini akan dilakukan seiring dengan revisi paket undang-undang di bidang perpajakan, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pemerintah ingin perubahan aturan ini mengakomodasi rencana perubahan tarif PPN, lalu PPh, baik badan usaha maupun perseorangan.
Selain itu, ada juga revisi UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM), serta UU Pabean. Pemerintah ingin perubahan aturan ini mengakomodasi rencana perubahan tarif PPN, lalu PPh, baik badan usaha maupun perseorangan.
Jadi, bentuk pengampunan pajak jilid dua yang akan diselenggarakan dilakukan dengan merevisi UU KUP yang menjelaskan program pengungkapan harta yang belum dilaporkan tahun 2017.
Model kebijakan seperti ini sebenarnya sudah menjadi model yang banyak digunakan otoritas pajak di taraf internasional, dengan istilah voluntary disclosure programme (VDP).
Dalam program ini, wajib pajak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan harta dan penghasilan yang mereka miliki secara sukarela, tetapi tetap dalam garis ketentuan umum kepatuhan dan penegakan hukum di bidang perpajakan.
Rencana pengampunan pajak jilid dua juga pernah disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa dalam acara Kompas 100 CEO Forum yang diselenggarakan secara virtual beberapa waktu lalu.

Suharso optimistis, kebijakan ini bisa menjadi jalan keluar dari kekurangan (shortfall) penerimaan pajak beberapa tahun terakhir. Tahun 2020, dari target penerimaan pajak Rp 1.198,8 triliun, terealisasi Rp 1.070 triliun.
Tahun ini target pajak Rp 1.229 triliun, sedangkan realisasi kuartal I-2021 baru mencapai Rp 228,1 triliun atau 18,85 persen. Rendahnya realisasi penerimaan pajak 2021 ini terkait dengan lesunya perekonomian sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang memukul hampir semua sektor riil.
Diharapkan penerimaan pajak pada 2021 bisa dicapai karena saat ini negara membutuhkan banyak dana untuk membiayai penanggulangan Covid-19. Diperkirakan peserta pengampunan pajak jilid dua berkisar dua hingga tiga kali lipat dari pengampunan pajak jilid satu. Dari program amnesti pajak jilid dua, diperkirakan bisa diperoleh tambahan penerimaan Rp 200 triliun-Rp 300 triliun.
Pada program amnesti pajak jilid pertama tahun 2016 yang berakhir 31 Maret 2017, pemerintah berhasil menghimpun dana Rp 130 triliun, deklarasi harta Rp 4.813,4 triliun, dan repatriasi Rp 46 triliun. Program itu diikuti oleh sebagian besar wajib pajak yang sangat besar.
Namun, menurut Menteri Keuangan, jumlah peserta yang ikut amnesti pajak jilid pertama tersebut masih kecil dibandingkan dengan potensi wajib pajak di Tanah Air.
Konsep pengampunan pajak jilid dua perlu berbeda dengan konsep pengampunan pajak jilid satu.
Terlalu cepat
Konsep pengampunan pajak jilid dua perlu berbeda dengan konsep pengampunan pajak jilid satu. Harus kreatif dan inovatif, serta ada kebaruan, sehingga mampu menarik wajib pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak ini.
Namun, di tengah keinginan pemerintah untuk melakukan amnesti pajak jilid dua, beberapa pakar perpajakan tidak setuju dengan diadakan program pengampunan pajak jilid dua, karena tenggang waktunya terlalu cepat dengan pengampunan pajak jilid satu.
Pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan juga dapat memberikan efek yang tidak baik bagi wajib pajak, karena mendapatkan pengampunan pajak tanpa perlu memikirkan aspek kepatuhan pajak.
Dalam kenyataannya, banyak negara di dunia yang melakukan pengampunan pajak berkali-kali, seperti Amerika Serikat lebih dari 18 kali di 41 negara bagian dalam kurun waktu 30 tahun. Afrika Selatan memberlakukan tiga kali pengampunan pajak, yakni tahun 1995, 2003, dan 2006. India 12 kali melakukan pengampunan pajak sejak 1951 sampai 2016. Turki bahkan 29 kali melakukan pengampunan pajak, selama kurun 1924 sampai 2016.
Jika kita estimasi dari data tersebut, tenggang waktu rata-rata Amerika Serikat melakukan amnesti pajak adalah satu kali setiap 1,88 tahun. Di Afrika Selatan, jarak dua program amnesti terakhir hanya tiga tahun, yakni 2003 dan 2006.
Di India, rata-rata setiap 4,4 tahun dilakukan sekali pengampunan pajak. Sementara di Turki rata-rata tenggang waktunya 2,8 tahun sekali dilakukan pengampunan pajak.
Baca juga : Reformasi Perpajakan Harus Sejalan dengan Pemulihan Konsumsi Masyarakat
Jika amnesti pajak jilid dua benar-benar dilakukan di Indonesia pada 2022, tenggang waktu enam tahun dari program amnesti pajak jilid pertama tidaklah bisa dikatakan terlalu cepat jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan, amnesti pajak justru berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Dalam hal ini, pengampunan pajak justru sangat baik untuk pembinaan bagi wajib pajak dalam menaati aturan perpajakan ke depan. Dengan demikian, argumen bahwa program pengampunan pajak dapat membuat wajib pajak menjadi tidak patuh menjadi terbantahkan.

Irwan Wisanggeni
Sederhananya, kebijakan pengampunan pajak merupakan pilihan yang masuk akal dan seirama dengan teori economic analysis of law, yaitu maksimalisasi, keseimbangan, dan efisiensi. Kebijakan amnesti pajak jilid dua merupakan jalan keluar yang memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Semoga program pengampunan pajak jilid dua dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan semua pihak, baik pemerintah maupun wajib pajak.
Irwan Wisanggeni, Dosen Trisakti School of Management