David Julius dan Ardem Patapoutian Meneliti Indera Perasa yang Menyelamatkan Manusia
Davis Julius dan Ardem Patapoutian meraih Nobel bidang kedokteran untuk penelitiannya mengenai indera perasa.
Oleh
M Zaid Wahyudi dan Deonisia Arlinta
·5 menit baca
Apa jadinya jika Anda meminum segelas kopi mendidih tapi tidak merasakan sensasi panasnya? Bagaimana jika seseorang menyentuh tanganmu, tetapi Anda tidak merasakan sentuhan itu? Beruntung, tubuh manusia memiliki sistem yang mampu mendeteksi suhu dan merasakan sentuhan dari benda apa pun.
Selama ribuan tahun, kemampuan manusia membedakan suhu dan merasakan sentuhan itu diterima begitu saja. Mekanisme yang menjelaskan bagaimana indera perasa itu bekerja tidak banyak diteliti. Bagaimana suhu dan tekanan di kulit menginduksi sel saraf hingga manusia bisa membedakan sensasi yang nyaman atau menyakitkan, tidak banyak diulas.
Munculnya rasa sakit sebagai respons atas paparan suhu atau sentuhan yang tidak nyaman itu membuat manusia mampu bereaksi dan beradaptasi. Kemampuan merasa inilah yang membuat spesies manusia mampu bertahan hingga kini di tengah kerasnya lingkungan dan persaingan.
Karena itulah temuan David Julius (66), Profesor Fisiologi dari Universitas California San Fransisco, Amerika Serikat; dan Ardem Patapoution (54), Profesor Biologi Molekuler di Scripps Research, La Jolla, California, AS, tentang reseptor dalam tubuh yang mendeteksi suhu dan sentuhan dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2021.
”Penemuan inovatif ini telah mengidentifikasi mata rantai penting yang hilang dalam pemahaman kita tentang interaksi kompleks antara indera manusia dan lingkungan,” kata Sekretaris Komite Nobel Thomas Perlmenn seperti dikutip AFP.
Rendahnya ketertarikan ilmuwan untuk mempelajari sistem indera itu membuat David dan Ardem sama-sama tak percaya jika kerja keras mereka akan berbuah Nobel.
David masih tertidur pulas saat Komite Nobel Fisiologi dan Kedokteran 2021 mengumumkan dirinya menjadi salah satu pemenang anugerah ilmu pengetahuan paling bergengsi tersebut, Senin (4/10/2021) siang waktu Stockholm, Swedia. Saat itu, di San Fransisco memang masih sekitar pukul dua dini hari.
Namun, nada getar teleponnya mengusik tidurnya. Saat bersamaan, pesan singkat dari saudara iparnya di Santa Cruz, AS, dan rekan kerja lainnya memenuhi teleponnya hingga membuat dia bingung apa yang sebenarnya terjadi.
Panggilan telepon itu juga terjadi pada telepon istrinya, Holly Ingraham, hingga dialah yang akhirnya pertama kali menerima telepon dari Komite Nobel. Saat panggilan itu diberikan kepada David, dia masih berupaya menyadari yang sebenarnya terjadi.
Karena itu ketika Komite Nobel meneleponnya untuk meminta tanggapan atas kemenangannya tersebut, David sempat meminta waktu untuk membuat kopi lebih dulu. Kopi itu akan membantunya fokus dan sadar dengan apa yang sedang terjadi.
Setelah menonton siaran langsung pengumuman tersebut melalui Youtube, David berusaha menghubungi rekan kerja dan tentu saja, ibunya. Sang ibu pun berkata, ”Ini sulit dipercaya. Tapi kamu tahu, kamu sudah bekerja keras dan pantas untuk mendapatkannya,” cerita David.
Hal serupa dialami Ardem. Saat Komite Nobel menghubungi telepon selulernya, dia sedang memasang mode tidak ingin diganggu. Namun, Komite Nobel justru bisa menghubungi ayahnya yang berusia 92 tahun dan tinggal di Los Angeles, AS. Dari ayahnya itulah Ardem tahu bahwa dirinya menjadi salah satu pemenang Nobel. ”Pengumuman ini menjadi sangat spesial,” katanya.
Atas keberhasilannya, kedua ilmuwan itu berhak atas sejumlah penghargaan dan hadiah uang sebesar 10 juta kronor atau sekitar Rp 16,3 miliar yang dibagi rata berdua.
Peletak dasar
Upaya memahami sistem indera perasa ini sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa ratus tahun lalu. Namun, kemajuannya belum sepesat sekarang.
Pada abad ke-17, filusuf Rene Descartes membayangkan adanya untaian serabut yang menghubungkan antara kulit manusia dan otak. Serabut itu membuat manusia bisa merasakan panasnya api.
Selanjutnya, pemenang Nobel Fisiologi atau Kedokteran 1944, Joseph Erlanger dan Herbert Gasser, menemukan berbagai jenis serabut sensorik yang memungkinkan manusia bereaksi atas rangsangan yang berbeda. Sejak itu diketahui bahwa sel saraf yang mendeteksi dan mentranduksi berbagai rangsangan itu sangat terspesialisasi. Keragaman sensor itu membuat manusia bisa membedakan tekstur ataupun rasa panas yang nyaman atau menyakitkan.
Namun, riset David dan Ardemlah yang menemukan bagaimana suhu dan sentuhan itu diubah menjadi sinyal listrik di sistem saraf kita.
Pada akhir 1990-an, David dan rekan meneliti jutaan fragmen asam deoksiribonukleat (DNA) yang terkait rasa sakit, panas, dan sentuhan. Hasilnya, ditemukan reseptor TRPV1 yang akan diaktifkan saat mendeteksi panas yang menyakitkan. Diperoleh pula reseptor TRPM8 yang akan merespons suhu dingin.
Namun, di antara kedua reseptor itu, ada saluran ion tambahan yang aktif pada kisaran suhu berbeda. Hasil studi David dan rekan ini mendorong peneliti lain di seluruh dunia untuk mengungkap lebih dalam saluran ion tersebut.
Saat penelitian tentang mekanisme identifikasi suhu berlangsung, mekanisme pengubahan rangsangan mekanis menjadi sensasi sentuhan atau tekanan yang dirasakan oleh indera perasa juga belum jelas. Proses inilah yang kemudian diteliti oleh Ardem dan tim untuk mengidentifikasi garis sel yang mengeluarkan sinyal listrik secara terukur.
Dari studi awal, diperoleh 72 kandidat gen yang mengkode reseptor yang aktif terhadap tekanan mekanis. Dari semua gen itu akhirnya diperoleh satu gen yang ketika dinonaktifkan menjadi peka terhadap rangsangan mekanosensitivitas. Saluran ion mekanosensitivitas itu dinamai Piezo1 dan Piezo2.
Berbagai riset berikutnya menemukan saluran ion Piezo2 yang sangat penting bagi indera peraba, nyatanya juga memainkan peran kunci dalam mendeteksi sensasi proprioseptif yang memungkinkan otak manusia mengetahui posisi, postur, keseimbangan dan kondisi tubuh tanpa perlu melihatnya. Bahkan, Piezo1 dan Piezo2 terbukti turut mengatur proses fisiologis penting dalam tubuh, termasuk tekanan darah, pernapasan, dan kontrol kandung kemih.
”Kerja David Julius dan Ardem Patapoutian ini bagaikan membuka kunci rahasia alam,” kata anggota Komite Nobel Patrik Ernfors seperti dikutip Scientific American. Penemuan keduanya itu bisa menjadi dasar bagi pengembangan sejumlah obat-obatan ataupun metode perawatan berbagai penyakit, termasuk nyeri kronis.
Kedua pemenang Nobel itu sama-sama menyadari, kerja mereka tidak akan berhasil tanpa dukungan orang-orang hebat di sekelilingnya. Lingkungan ilmuwan yang fokus pada pertanyaan-pertanyaan besar memiliki energi besar serta mengerjakan sesuatu secara intens menjadi kunci keberhasilan riset. Tentu, ketersediaan dan dukungan alat-alat riset tak bisa dikesampingkan.
David Julius
Lahir : New York, AS, 4 November 1955
Pekerjaan: Profesor Fisiologi di Universitas California San Farnsisco, AS
Pendidikan:
- Program Doktoral di Universitas California, Berkeley, 1984
- Program Pascadoktoral di Universitas Columbia, New York, AS
Ardem Patapoutian
Lahir: Beirut, Lebanon, 1967
Pekerjaan: Profesor di Scripps Research, La Jolla, California, AS
Pendidikan:
- Program Doktoral di Institut Teknologi California, Pasadena, AS 1996
- Program Pascadoktoral di Universitas California, San Fransisco, AS