Presiden gusar terhadap kelembaman birokrasi pemerintahan sehingga harus melibatkan tiga organisasi yang punya karakter berbeda dengan birokrasi, terutama dalam kecepatan mencapai misi.
Oleh
ACHMAD NURMANDI
·4 menit baca
DIDIE SW
Didie SW
Sudah hampir dua tahun sejak Maret 2020, birokrasi pemerintahan ”dipaksa” bekerja pada situasi yang tak menentu dan bahkan menjadi korban dari pandemi itu sendiri.
Birokrasi harus menyesuaikan anggarannya dan memastikan menyelesaikan pandemi dan dampak pandemi. Namun, seperti perkiraan semua pihak, birokrasi pemerintahan kita kelihatan tidak siap dan bahkan melakukan malaadministrasi, seperti korupsi bantuan sosial Covid-19, dan sampai melakukan pembiaran atau terlambat menangani korban Covid-19 yang menyebabkan kematian di banyak daerah di Indonesia.
Dalam ilmu kelembagaan sudah lama dikenal istilah bureaucracy inertia. Suatu istilah yang diambil dari ilmu fisika yang mengacu pada suatu situasi yang stagnan dan statis.
Inertia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kelembaman. Kelembaman organisasi pemerintahan didefinisikan sebagai organisasi yang enggan dan lambat melakukan perubahan dan belajar sehingga menurunkan kemampuan melayani masyarakat dengan efektif dan profesional (EP Purnomo, et al, 2021).
Kita lihat bagaimana Kepala Negara dibuat pusing oleh kelembaman birokrasi dalam percepatan vaksinasi. Pada 16 Juli 2021 Presiden Joko Widodo telah memerintahkan untuk mempercepat vaksinasi massal, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, yang masing-masing baru mencapai 12 persen, 12 persen, dan 14 persen, agar Jawa bisa segera mencapai kekebalan komunitas pada Agustus akhir atau paling lambat pertengahan September.
Dalam rapat Forkominda Jawa Timur, 19 Agustus 2021, Presiden kembali memerintahkan percepatan vaksinasi di Jawa Timur. Tapi, apalah dikata, lain target Kepala Negara, lain lagi fakta di lapangan.
Tapi, apalah dikata, lain target Kepala Negara, lain lagi fakta di lapangan.
Pada situasi lain, walaupun vaksin sudah tersedia, terlihat ketidakmampuan birokrasi melakukan vaksinasi pada masyarakat. Kericuhan terjadi di beberapa daerah, seperti di Pinrang, Sulawesi Selatan, dan Surabaya, Jawa Timur.
Apakah tidak diperkirakan berapa warga yang akan datang? Mengapa tak dibuat sistem registrasi daring sehingga tak menimbulkan badlog pada waktu mengisi aplikasi lindung diri?
Mengapa birokrasi pemda tak memanfaatkan data peserta didik yang sudah ada? Sebagai pengamat dan peneliti birokrasi, saya melihat banyak ”kelucuan” (ugly) yang terjadi.
Dalam kasus pembayaran insentif tenaga kesehatan pun terjadi hal yang sama. Dana sudah ditransfer oleh Menteri Keuangan kepada pemda, tetapi pada kenyataan, banyak keluhan tenaga kesehatan yang telah atau belum menerima insentif.
Apa yang terjadi? Mengapa susah sekali membayar insentif itu, padahal tenaga kesehatan sedang sekarat dan mempertaruhkan nyawanya di garda depan dalam melayani masyarakat?
Kompas
Presiden Joko Widodo meninjau pelaksanaan vaksinasi dari pintu ke pintu di Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (31/8/2021).
Organisasi pemerintahan yang luwes, cepat, adaptif
Marijn Jansen, profesor bidang teknologi informasi dan pemerintahan Delft University of Technology, Belanda, dalam Konferensi Internasional Organisasi Publik (ICONPO) Ke-12, 14 Agustus 2021, menyatakan, pada masa krisis seperti menghadapi Covid-19, organisasi pemerintahan harus adaptif.
Cirinya, mampu menyelesaikan isu-isu kebijakan yang kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan bercirikan dua komponen, yaitu fitting (penyesuaian cepat) dan learning (kemampuan belajar terus-menerus). Pandemi Covid-19 memiliki ciri-ciri tidak kasat mata, cepat, dan tidak terkontrol.
Bukan seperti bencana gempa bumi atau gunung berapi. Organisasi pemerintahan pun harus menyesuaikan dengan gejala tidak kasatmata ini dengan menegakkan protokol kesehatan.
Namun, kita melihat justru kluster-kluster Covid-19 berkembang di kantor-kantor pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh kemampuan menyesuaikan diri dengan bencana tidak kasatmata.
Kedua, pandemi Covid-19 memiliki kecepatan menyebar yang ditunjukkan oleh positivity rate harian. Kemampuan menyebar ini bisa dideteksi dengan tracing dan testing.
Lagi-lagi organisasi pemerintah kita, terutama pemda, ”keteteran” di sini. Akhirnya Presiden memerintahkan kepolisian, TNI, dan BIN membantu melakukan tugas dua T yang sebenarnya bukan keahlian mereka.
Ketiga, pandemi Covid-19 merupakan bencana yang sulit dikontrol karena tidak kasatmata dalam aspek kuantitas dan kualitas. Kemampuan organisasi pemerintahan mengontrol luasan penyebaran terbatas, ditunjukkan oleh grafik dinamis wilayah dari hijau ke status merah.
Kedalaman pandemi juga tidak diantisipasi dengan baik oleh organisasi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, seperti tingkat kematian yang tinggi serta penyebaran pada usia muda dan anak-anak.
Banyak pihak menilai ini ”sekuritisasi politik” kebijakan penanggulangan Covid-19 di Indonesia.
Pertanyaan yang muncul dari para ahli atau pengamat organisasi pemerintahan, mengapa Presiden lebih melibatkan organisasi-organisasi ”penjaga ketertiban atau keamanan atau pertahanan negara”, seperti kepolisian, TNI, dan BIN? Organisasi-organisasi ini didesain memiliki jalur komando dari atas ke bawah secara terpusat sehingga tujuan organisasi mudah dijalankan dan dicapai.
Tampaknya Presiden gusar terhadap kelembaman birokrasi pemerintahan sehingga harus melibatkan tiga organisasi yang punya karakter berbeda dengan birokrasi, terutama dalam kecepatan mencapai misi. Banyak pihak menilai ini ”sekuritisasi politik” kebijakan penanggulangan Covid-19 di Indonesia.
Pelibatan organisasi ”penjaga keamanan” negara ternyata bukan hanya milik Indonesia. Filipina, Malaysia, Thailand, dan bahkan Amerika Serikat pun melibatkan organisasi-organisasi ini.
Krisis pandemi ini menjadi pelajaran berharga bagi birokrasi pemerintahan Indonesia untuk menyesuaikan diri (fitting) dan belajar (learning) terus-menerus dengan cepat.
HTTPS://IP.UMY.AC.ID/
Achmad Nurmandi
Prakondisi ini sangat diperlukan untuk mengatasi bencana yang sedang dan akan dihadapi yang tidak jelas kapan selesainya. Pada masa depan akan muncul bencana baru sebagai dampak perubahan iklim, seperti akan ”tenggelamnya” kota-kota yang berlokasi di pinggir pantai (Kompas, 20/8/2021) atau bentuk pandemi lain sebagai akibat penurunan kualitas lingkungan dunia.
Kata kunci adalah kecepatan, lebih cepat lebih baik, seloroh Pak Jusuf Kalla, sangat penting sebagai ciri khas birokrasi pemerintahan di masa kini dan akan datang. Semoga.
Achmad Nurmandi,Guru Besar Ilmu Pemerintahan dan Direktur JK School of Government, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.